Pembelajaran Jarak Jauh Menyenangkan

Apakah murid dapat merasakan pembelajaran jarak jauh yang menyenangkan? Apakah benar pembelajaran jarak jauh yang guru lakukan sudah menyenangkan? Pertanyaan memang kerap membuat guru resah, karena murid banyak mengeluh mengenai pembelajaran jarak jauh. Selain karena adanya jarak, beban tugas juga ikut andil memberikan beban psikologis pada murid. Ihwal ini, guru sepertinya memang harus putar strategi untuk melakukan Pembelajaran jarak jauh yang menyenangkan dan bermakna bagi murid. Alih-alih murid belajar, justru kadang murid tertekan karena satu-satunya tolak ukur keberhasilan hanya ketika murid mengerjakan banyak tugas yang kadang tidak disadari tujuanya oleh guru.  Nah, kali ini kita akan mendengar cerita dari anak-anak yang menjalani PJJ selama pandemi ini. Di Ransel 4 ini, KGB Pekalongan mengadakan Kelas Murid yang bertujuan untuk mendengar cerita murid dari berbagai sekolah mengenai pembelajaran jarak jauh.    Sebagai kelas pembuka, Ransel 4 ini dipandu oleh Lilik Nur Indah Sari dari KGB Pekalongan, tiga narasumber yakni Ayunda Damai Fatmarani. M. Fedrik Manzela yang ditemani wali kelasnya Bu Badriyah, dan Maryam Adelia saling berbagi cerita mengenai Pembelajaran Jarak Jauh (PJJ) yang sedang mereka hadapi.  Pagi itu Guru Lilik membuka cerita dengan dengan bertanya pada 3 narasumber.  “Gimana sih perasaan kalian saat menghadapi PJJ ini?” Zela dan Damai kompak menjawab bahwa mereka lebih suka belajar dirumah, karena selain belajar mereka juga dapat menjalankan hobi. Zela yang hobi menggambar, selama PJJ ini ia makin rajin menggambar dan membuat komik. Sambil tersenyum, Damai pun menuturkan hal hampir serupa. “Saya merasa senang, soalnya dari belajar dirumah ini lama-lama bisa belajar untuk jadi lebih mandiri untuk membuat prioritas tugas dan kegiatan-kegiatan lainya”. Saat ditanyai lebih lanjut mengenai PJJ yang sedang mereka jalani, murid di Sekolah Cikal Surabaya ini menuturkan jika ia lebih tahu mana yang harus ia dahulukan sehingga dapat memanfaatkan waktu sebaik mungkin untuk melakoni agenda yang sudah ia susun. “Yang pertama tugas-tugas sekolah. mungkin do date atau pengumpulanya yang paling cepat sampai yang paling terakhir. Selain itu, saya sendiri juga punya blog, sehingga saya menyempatkan waktu untuk menulis disitu (blog) dan untuk selingan-selingan ada hobi yang lainya juga.” imbuh Damai. Namun, lain halnya dengan Maryam Adelia atau yang akrab disapa Adel. Murid di SMK Karangdadap ini mengaku justru sedih saat belajar dirumah. “Karena kalau misalnya belajar dirumah kayak sendiri belajarnya. Kemudian juga merasa ada yang kurang, suasananya juga lebih beda” ungkap Adel. Diakui Adel, bahwa ia lebih suka belajar bersama teman-temannya di kelas. Untuk mengusir rasa jenuh ia melakukan hal disukai, seperti menyanyi.  Di kolom komentar, akun Nur Muzdalifatul Ummiyah menuturkan bahwa ia lebih suka belajar dirumah, karena lebih leluasa dan enjoy mengerjakan tugas, dan bisa memiliki lebih banyak waktu untuk belajar lebih produktif. Kemudian, pemilik akun Marsiha Daily mengungkapkan, “Tadinya senang, jadi lebih punya banyak waktu dengan mama-papa masak bareng buat kreasi. Tapi sekarang sudah agak bosan jadinya.”    Selanjutnya, Guru Lilik melempar pertanyaan kepada 3 narasumber, “Apakah kalian rindu dengan teman-teman di sekolah?”  “Saya rindu sekali sama teman-teman, sahabat, kangen sama kantin, kangen sama pelajaran, kangen sama semuanya yang ada disekolah.” Jawab murid di MI Kranji 1 Kedungwuni ini. Meski ia mengaku rindu belajar di sekolah, ia tetap lebih menyukai belajar di rumah.  Terakhir, Guru Lilik bertanya pada Bu Badriyah, “Ibu pernah gak memasukan hobinya anak-anak ke dalam rancangan pembelajaran?” “Sering bu, misalnya seperti pembelajaran umum ketika belum pandemi itu biasa saya masukan. Misalkan, saya kasih materi tentang otot manusia dan manfaatnya itu anak saya kelompokkan jadi beberapa kelompok untuk membuat gubahan lagu biar anak-anak (ingat). Otomatis ketika anak-anak membuat gubahan lagu kan sering baca materinya terus dinyanyikan lagi-dinyanyikan lagi otomatis dia (murid) akan teringat terus dan hafal dengan sendirinya. Terus juga membuat tampilan drama, kadang juga  membuat komik.” Ungkap Bu Badriyah. Hal ini dilakukan untuk menghadapi hobi anak yang sangat bermacam-macam, jadi anak-anak merasa senang di kelas dan tidak monoton.    “Kalau yang akhir-akhir ini di pelajaran bahasa diminta untuk analisis dan review literatur. Nha dari sini, saya dan teman-teman saya bisa memilih karya sastra favorit. Dari situ dibuat analisis literaturnya, jadi gak Cuma memilih karya sastra yang disukai. Akhirnya saya sendiri biasa menulis resensi buku jadi dari pelajaran ini bisa belajar bagaimana bisa improve dalam review buku itu.” Meski hal tersebut hanya kebetulan, namun menurut penuturan Damai bahwa di pelajaran lain ada guru yang membebaskan muridnya untuk membuat apapun yang mereka sukai.”Biasanya setiap 3 bulan sekali ada refleksi akhir pembelajaran gitu, dan disitu karena murid kan beda-beda. ada yang suka menulis, ada yang suka menggambar. Jadi dari situ dibebaskan untuk cerita  selama 3 atau 6 bulan itu belajar apa aja dan dirangkum. Karena saya suka menulis jadi saya membuat esai, teman saya ada yang bikin komik, bikin poster  jadi beda-beda sih tiap muridnya. memang diberikan  kebebasan.  “Kalau di pembelajaran biasanya sih, ada beberapa kayak olahraga saya juga ada sedikit hobi di olahraga sering jadi materi. Kalau di seni budaya kelas X juga pernah masuk dalam materi. Untuk akhir-akhir ini, kemarin beberapa pelajaran mengenai hobi. Disitu kami diminta merencanakan suatu usaha dari hobi yang kita punya.” Ketika ditanya oleh Guru Lilik mengenai sekolah setelah pandemi, Zela menjawab bahwa ia ingin sekolah seperti biasa namun juga diimbangi dengan pembelajaran online.  Lebih suka balance soalnya kalau misalnya di sekolah itu bisa belajar bareng. Diskusi juga lebih lancar bertanya dengan guru juga lebih enak, karena bisa tatap muka. Cuma memang kalau belajar di rumah sendiri juga enaknya bisa lebih fleksibel  terkait pengaturan prioritas pribadi jadi suka kalau misalnya ada balance dari keduanya.  Menutup kelas murid ini, sepertinya kita masih perlu mengingat bahwa makna belajar bukan berarti mengerjakan tugas sebanyak mungkin. Cerita Zela, Damai, dan Adel  memberikan guru sedikit gambaran bagaimana PJJ membuat murid justru lebih menikmati waktu belajarnya atau justru PJJ membuat murid merasa jenuh? 

Membangun Madrasah Inklusi – Guru Belajar Pekalongan

“Anak gila kok diterima di sekolah,” Kata-kata teror melalui SMS ini kami terima pada tahun 2012 di awal-awal tahun perjuangan membangun sekolah/madrasah inklusi.  Guru Niam, Kepala Madrasah akan bercerita bagaimana ia jatuh bangun membangun madrasah inklusi. Apa saja yang perlu dipersiapkan untuk membangun sekolah inklusi? Mengapa perlu menjadi sekolah inklusi? Yuk temukan jawabanya dalam Temu Pendidik Mingguan ke-23 Komunitas Guru Belajar Pekalongan “Membangun Madrasah Inklusi” Anifah  Assalamualaikum, selamat malam Bapak Ibu. Apa kabarnya hari ini? Yuk yang jauh mendekat, yang dekat merapat. Bahagia rasanya dapat menyapa guru-guru luar biasa malam ini, guru-guru yang memiliki semangat tinggi untuk terus belajar. Perkenalkan nama saya Anif dari KGB Pekalongan. Malam ini akan berperan sebagai moderator diskusi. Jangan lupa siapkan tenaga lebih dan cemilan untuk menyimak materi kece malam ini. Tema diskusi kita kali ini yaitu Membangun Madrasah Inklusi Bersama Pak Niamil Hida dari MI Kranji 1 Kedungwuni M. Niamil Hida Perkenalkan Nama saya Muhammad Niamil Hida biasa dipanggil Niam atau Hida. Pada kali ini saya akan sharing pengalaman proses merintis dan menumbuhkan madrasah Inklusi di MI Kranji 1 Kedungwuni Pekalongan Muhammad Niamil Hida Materi: “Anak gila kok diterima di sekolah,” kata-kata teror melalui SMS ini kami terima pada tahun 2012 di awal-awal tahun perjuangan membangun sekolah/madrasah inklusi. MI Walisongo Kranji 01 Pekalongan pada awalnya adalah sekolah/madrasah biasa seperti pada umumnya, sekolah/madrasah setingkat SD yang di bawah Kementrerian Agama. Awal mula munculnya ide menerapkan sistem inklusi karena keresahan beberapa guru melihat anak yang kami duga termasuk berkebutuhan khusus di sekitar sekolah tidak dapat kesempatan belajar yang baik, jikapun diterima di SD/MI hampir bisa dipastikan tidak mendapatkan pelayanan yang layak. “Terus anak-anak spesial ini tanggung jawab siapa?” Kata-kata itu yang akhirnya membuat tekad kami semua untuk memulai langkah awal menerima anak terindikasi berkebutuhan khusus di MI kami dengan modal “nekat”. Modal tekad dan nekat memang kata yang pas untuk menggambarkan kondisi saat itu saat memulai merintis madrasah inklusi. Banyak sekali tantangan yang harus dilalui baik faktor internal maupun faktor eksternal. Dilihat dari faktor internal kondisi guru-guru di MI Kranji 01 tidak ada satupun dari jurusan yang berkompeten dalam penangan ABK, bahkan mayoritas guru di MI Kranji 01 adalah dari lulusan PAI (Pendidikan Agama Islam) dan beberapa bukan jurusan pendidikan. Faktor internal lain yaitu kondisi sarana prasarana yang belum memenuhi dan belum ideal. Faktor eksternal juga sangat mempengaruhi tingkat tantangan dalam upaya menerapkan madarasah inklusi saat itu. Pada tahun 2012, di Kementerian Agama belum ada peraturan yang mengatur tentang pendidikan untuk anak berkebutuhan khusus. Di tahun berikutnya ada MI Kranji seperti mendapat angin segar karena Kementerian Agama mengeluarkan PMA No. 90 tahun 2013 tentang penyelenggaraan pendidikan madrasah, yang di salah satu pasalnya menyebutkan pendidikan untuk anak berkebutuhan khusus, tepatnya pada pasal 14 ayat 6 yang berbunyi “MI wajib menyediakan akses bagi peserta didik berkebutuhan khusus”. Dengan modal peraturan ini kami menjadi lebih yakin bahwa madrasah juga mendapat dukungan yang baik dari pemerintah.Membangun kesadaran lingkungan sekolah akan pentingnya pendidikan inklusi di daerah yang sangat minim informasi tentang inklusi menjadi hal penting, stempel jelek masih banyak diterima anak berkebutuhan khusus, anak autis dianggap gila, anak ADHD dianggap tidak layak belajar bareng sebayanya di sekolah karena sering mengganggu. Melihat hambatan atau tantangan memang perlu untuk menyiapkan aksi apa yang pas untuk menjawab tantangan-tantangan. Seperti tantangan untuk menumbuhkan kesadaran pentingnya sistem inklusi kepada masyarakat, dan tugas sekolah/madrasah adalah memberikan edukasi dan bukti. Usaha untuk memberikan edukasi dan bukti kami lakukan melalui tindakan P3K, bukan Pertolongan Pertama Pada Kecelakaan, tetapi P3K yang kepanjangannya : Program Solutif, Pembelajaran Efektif, Promosi Simpatik dan Komitmen Energik. 1. Program Solutif Program-program yang didesain berusaha memberikan solusi atas permasalahan- permasalahan yang muncul di sekolah, seperti masalah kesempatan yang sama dalam berekspresi; sekolah/madrasah memberikan kesempatan kepada semua murid untuk tampil sebagai pengibar bendera, walau tubuh mereka sangat mencolok berbeda. Memberikan anak berkebutuhan khusus juga ikut berperan tentunya disesuaikan dengan potensinya. Tidak hanya itu, juga memberikan kesempatan anak kelas 1 MI untuk tampil dengan menjadi petugas upacara. Contoh-contoh program lain seperti parenting untuk memanusiakan hubungan dengan wali murid, program tentang pemahaman toleransi dengan hari tanpa seragam dan lain sebagainya. 2. Pembelajaran Efektif Belajar efektif yang kami percaya bukan sekadar mahir menjawab soal, tetapi belajar yang mendekatkan dengan realita kehidupan sehari-hari, seperti belajar tentang perpindahan panas dengan memasak dan latihan menyetrika baju, belajar perubahan zat benda dengan mencuci baju dan lain sebagainya. Jika murid didekatkan dengan hal yang bukan abstrak akan mempermudah pemahaman, salah satunya kehadiran anak berkebutuhan khusus sangat membatu guru mendekatkan realita ketika membahas toleransi, mencegah terjadinya bulliying dengan buddy system dan lain sebagainya. 3. Promosi Simpatik Kalau 2 hal di atas adalah usaha untuk memberikan bukti pentingnya pendidikan inklusi, promosi simpatik adalah upaya untuk mengedukasi masyarakat. Promosi yang dilakukan di MI kami saya yakin juga sudah dilakukan oleh sekolah lain, yaitu promosi melalui berbagai hal, seperti menyebar brosur dan promosi melalui media sosial. Cara tersebut bisa efektif jika sekolah kita sudah dipandang, kami sadar akan hal itu, maka yang kami lakukan adalah berbagi ilmu tentang apa yang guru-guru kami miliki kepada guru dan orangtua di sekitar, baik praktik baik maupun kompetensi yang dibutuhkan oleh mereka. Kegiatan promosi simpatik dengan kolaborasi ini sangat efektif untuk mengedukasi masyarakat. 4. Komitmen “Energik” Bagi saya yang terakhir ini faktor penentu keberhasilan dalam usaha meningkatkan sesuatu termasuk membangun madrasah inklusi. Dalam menjalankan 3 usaha sebelumnya pasti muncul beberapa masalah, tanpa komitmen yang kuat tidak mungkin kita bisa bertahan dengan tujuan mulianya, dengan komitmen masalah apapun bisa diminimalisir selama selalu mencari cara untuk menyelesaikan masalah. Untuk menjaga komitmen guru, yang kami lakukan adalah dengan membuat program diskusi rutin dengan program obsesi (obrolan senin santai) di forum inilah kami merefleksi program-program yang sudah dijalankan dan mencari program baru atau memodifikasi program program lama jika dibutuhkan. Melalui refleksi bersama program-program untuk memberikan pelayanan bisa bertumbuh lebih baik, seperti awal menerapkan inklusi program awal hanya klinik baca, akhirnya berkembang dengan PPI (program pembelajaran individual) dan lain sebagainya Melalui cara P3K ini yang di dalamnya ada kegiatan refleksi alhmadulillah sedikit demi sedikit apa yang kami lakukan untuk menumbuhkan kesadaran tentang pentingnya pendidikan inklusi menuai hasil. … Read more

Guru Belajar Pekalongan Membangun Pembelajaran Mengasyikkan

Menjemukan, mungkin itu yang sering murid rasakan saat mengikuti mata pelajaran tertentu di kelas, atau menjelang jam-jam kritis yakni jam terakhir saat murid sudah tidak lagi kondusif. Pikiran mereka sudah tertuju pada rumah dan tempat mereka biasa  bermain. Hal demikian tentu pernah dialami oleh kita semua sebagai seorang guru. Lantas apa yang seharusnya kita lakukan agar belajar lebih mengasyikan dan tidak lagi menjemukan? Dalam Temu Pendidik 19 ini, Komunitas Guru Belajar Pekalongan berbagai ilmu seputar pembelajaran yang menyenangkan namun tidak mengubah esensi dari belajar itu sendiri. Dengan mengusung 3 pemateri, yakni dua Guru dari SMK 1 Karangdadap, Guru Alan seorang guru Fisika dan Guru Musyafiah yang merupakan guru Bahasa Inggris, serta Guru Eki seorang dosen dari Stikes Muhammadiyah Pekalongan. Masing-masing Guru menyampaikan parktik cerdasnya dengan tema yang berbeda-beda. Guru Alan menyampaikan praktiknya yang diadopsi dari TPN Oktober lalu. Guru Eki dengan Brain Academy dan terakhir Guru Musyaifah yang juga mengadopsi ide belajarnya dari Sekolah Kembang Jakarta. Acara tersebut dimulai pukul 09.30 dengan dibuka oleh Ketua KGB Pekalongan yang baru yaitu Guru Hida. Dalam sambutanya beliau mengajak agar semua guru berdaya, sebab adanya KGB ini diharapkan setiap anggota berperan untuk membagikan praktik cerdasnya agar dapat menjadi inspirasi bagi guru-guru lain. Lebih jauh beliau menuturkan, “Komunitas ini ada untuk kita dan semua jenjang ada disini, sehingga kita bisa belajar bersama”. Di akhir sambutan, guru MI Kranji 1 Kedungwuni ini juga menakankan bahwa anggota yang ikut berperan aktif di KGB Pekalongan memperoleh kesempatan untuk menerima beasiswa di TPN mendatang. Sesi pertama TPD 19 ini diawali dengan materi mengenai sains yang menyenangkan. Jika murid biasanya anti dengan pelajaran eksak terutama fisika dan kimia, Guru Alan justru memberikan hal yang berbeda. Mengadopsi materi TPN Oktober lalu, ia mencoba menerapkan pembelajaran dengan metode window shopping. ”Saya ibaratkan cara ini dengan ibu-ibu yang ingin membeli kosmetik. Biasanya ibu-ibu akan menanyakan hal yang mendetail jika memilih kosmetik dan penjual harus mampu menjelaskan produk yang ia jual” tuturnya. Guru Alan sendiri awalnya sering merasa gelisah lantaran materi yang ia ajarkan hanya sekadar ceramah yang membosankan sehingga ia mencoba window shopping sebagai cara agar antusiasme murid dalam belajar makin tinggi. Dalam praktiknya ini, ia membagi satu kelas menjadi 6 kelompok. Sebagain kelompok berperan menjadi penjual dan kelompok lain berperan sebagai pembeli. Tema yang diusung pun menarik, yakni mengenai Mitigasi Bencana. Murid membuat poster sebagai katalog barang yang akan mereka jual. Jika jual beli biasanya berupa barang, namun dalam window shopping ini murid melakukan jual beli informasi mengenai mitigasi bencana. Cara ini menjadi lebih menarik karena setiap penjual diharuskan untuk mengatur strategi agar murid lain tertarik menyambangi “warungnya”. Banyak murid mengaku senang dengan pembelajaran tersebut, menjadi lebih percaya diri karena dapat menjawab pertanyaan temanya, dan dapat berkreasi membuat poster yang menarik. Namun, Guru Alan juga mengakui jika metodenya kali ini masih memiliki banyak kekurangan. “Banyak murid yang merasa kuang kurang puas karena tidak bisa menyambangi warung teman-temanya. Mereka juga mengeluhkan pada saya, sebab tidak ada tambahan informasi dari saya sendiri sebagai guru dan saya masih sedikit bingung untuk aspek penilaian” jelas pria berkacamata ini. Setelah Guru Alan selesai menyampaikan materi, di sesi ke dua Guru Eki menyampaikan materi mengenai Brain Academy. Materi ini penting dipelajari oleh guru untuk mengatasi murid yang jenuh dalam balajar. Jenuh sendiri dapat dipahami karena otak bekerja tidak maksimal.  Guru Eki mengemas materi begitu apik dan komunikatif dengan melibatkan semua peseta melakukan gerakan kecil yang befungsi untuk membantu melakukan aktivasi otak. Gerakan tersebut berupa tangan saling mengepal dan kaki bersila, membentuk angka delapan dimulai dari kanan ke kiri dan yang terakhir menempelkan siku tangan kanan kekaki kiri atau sebaliknya. Seluruh peserta yang mencoba gerakan tersebut tampak riang. “Walaupun gerakannya cuma ditempat dan sedikit, tapi kita bisa memahami bagian otak yang dominan digunakan anak. Dengan begitu maka kita bisa melakukan aktivasi” tambahnya. Materi tersebut tentunya sangat membantu terutama saat mengelola kelas dimana muridnya sudah mengalami kejenuhan. “Kalo kita sadar, kunci utama dalam proses pembelajaran itu adalah otak yang bekerja. Untuk itu kita perlu memahami bagaimana cara otak bekerja, dan apa saja yang bisa memaksimalkan fungsi kerjanya” tukasnya diakhir sesi saat ia berbagi cerita. Sesi terakhir, Guru Fiah menyampaikan materi mengenai mengelola perpustakaan sekolah. ia mengawali materi dengan perkenalan menggunakan human bingo. Peserta dibawa berpetualang dalam perkenalan dan swafoto bersama. Disinilah peserta TPD 19 suasana ceria dan hangat. Selepas bermain human bingo Guru Fiah mulai memberikan materi. Ia mengungkapkan keprihatinanya pada perpustakaan sekolah yang saat ini  tidak lagi menarik, Guru Fiah mencoba mengadopsi ide dari Guru Sekar yang merupakan guru dari Sekolah Kembang Jakarta. Guru Sekar adalah sosok yang mampu menghidupkan perpustakaan seperti pada zaman Cinta dan Rangga. Guru Fiah menyampaikan pengembangan perpustakaan ini memiliki banyak manfaat diantaranya dapat membantu tugas murid terutama yang berhubungan dengan literasi. Manfaat lain yaitu literasi mampu menjadikan kita tidak termakan isu hoax, apalagi sekarang merupakan era digital di mana berita palsu menyebar begitu masif melalui media. Dalam memberdayakan perpustakaan sekolah pertama kali yang kita perlu lakukan yaitu kurasi buku bacaan. “Kurasi buku ini penting, jangan sampai buku untuk dewasa ditaruh di perpustakaan SD. Tentu hal ini tidak sesuai dengan jenjangya” tambah Guru Fiah. Tidak hanya murid yang bisa belajar melalui perpustakaan, guru juga dapat ikut belajar. Di akhir sesi Guru Fiah mengungkapkan bahwa guru juga dapat mengembangkan diri terutama kemampuan menulis. Misal jika ada buku bacaan tertentu, kemudian guru bantu resensi buku tersebut. Hasil resensi bisa ditempel di perpustakaan, sebagai kail yang membuat murid penasaran dengan isi buku tersebut. Jadi dari perpustakaan guru dan murid bersama-sama belajar. Oleh Anifah, Komunitas Guru Belajar Pekalongan