Praktik Kolaborasi di Sekolah Inklusi
Senang sekali sore ini saya berkesempatan berbagi dan berdiskusi dengan teman-teman guru-guru dan pendidik di Rembang. Di ECCD RC saya sebagai Direktur, dan yang nanti akan coba saya bagikan adalah pengalaman-pengalaman kami di Labschool Rumah Citta dan juga pengalaman kami mendampingi PAUD-PAUD berbasis masyarakat (baik di Jawa maupun saat ini kami sedang melakukan pendampingan di Papua Barat). Jadi ayook nanti kita lebih banyak berdiskusi saja yaaa 😃 Pertanyaan 1 : Guru Nisa : Dalam sebuah Sekolah Inklusi pastinya butuh keterlibatan dari beberapa hal salah satunya tadi ada di slide orangtua. Pertanyaannya seberapa besar keterlibatan orangtua dalam menjalankan praktik-praktik kegiatan di kelas inklusi? Dan kolaborasi yang bagaimana yang kiranya bisa memfasilitasi setiap keragaman di kelas-kelas tersebut, terutama kelas yang ada ABKnya? Jawaban : Narasumber : Baik, terima kasih pertanyaannya Mbak Nisa. Ketika orangtua mendaftarkan anaknya untuk sekolah di sekolah inklusi, pada saat yang sama pihak sekolah perlu menjalin Kesepakatan berkaitan dengan visi misi lembaga. Kalau di Rumah Citta, di awal pendaftaran, orangtua menandatangani lembar kesepakatan tentang visi misi lembaga yang salah satunya adalah mengusung nilai keberagaman. Untuk itu ke depannya, kesepakatan ini dijadikan pegangan dan dasar dalam menjalin kerjasama dengan orangtua. Proses komunikasi dengan orangtua dijalin tidak saja melewati parents meeting, parenting, namun juga dari komunikasi harian pada saat mengantar maupun menjemput anak di sekolah. Selain itu, keterlibatan orangtua di kelas juga bisa diwujudkan dengan menjadi guru tamu untuk topik yang sekiranya berkaitan dengan orangtua bersedia menjadi resource person. Menariknya, tentu ketika ada permasalahan atau konflik yang awalnya melibatkan anak saja, namun terbawa ke orangtua. Untuk kelas yang beragam, hal ini menjadi situasi yang tidak bisa dihindari. Anak-anak tentu sedang belajar mengenal temannya yang berbeda termasuk ABK. Sehingga kadang muncul konflik diantara anak-anak di kelas, yang dalam beberapa kasus bisa diselesaikan antar anak di kelas, namun tak jarang perlu melibatkan orangtua. Poin penting Kolaborasinya adalah Edukator perlu cermat menempatkan diri bahwa edu adalah pendamping di sekolah (atau bisa dikatakan ahlinya di sekolah) namun tetap menghargai bahwa orangtua adalah pendamping utama di rumah (atau ahlinya di rumah). Saya rasa di situ poin pentingnya. Tanggapan : Guru Nisa : Untuk kesepakatan yang berkaitan dengan keberagaman ini apakah hanya diperuntukkan untuk wali murid ABK atau menyeluruh kepada semua wali murid? Narasumber : Media untuk kolaborasi bisa berupa Gambaran Program Mingguan yang dikomunikasikan kepada anak. Kesepakatan berkaitan dengan visi misi (terutama tentang nilai inklusi di dalamnya) wajib ditandatangani oleh semua Orangtua Mbak Nisa..jadi tidak hanya wali murid ABK saja. Karena di situlah letak peranan anggota kelas dalam mewujudkan dan mendukung kelas inklusi nantinya. Guru Nisa : Oke…siap maturnuwun sanget Mbak Ganis 😊🙏🏼 Pertanyaan 2 : Guru Lailia SM: Melihat komponen pendidikan inklusi dalam hal Kurikulum, penasaran banget nih bagaimana cara merancang kurikulum di sekolah citta dengan keragaman peserta didiknya. Selain dengan cara observasi apakah ada cara lainnya?? Dan bagaimana penerapannya antara murid ABK dengan murid reguler. Pengalaman saya di kelas TK A dengan 2 anak ABK dan 25 anak reguler, selesai proses pengobservasian anak ABK, kami guru kelas mulai merancang RPI dengan mengkomunikasikan kepada orang tua. Tapi dalam pelaksanaannya, kami masih sering fokus di kegiatan bersama anak reguler. Jawaban : Narasumber : Sebelumnya kami ingin menyampaikan bahwa Rumah Citta selama ini menggunakan Kurikulum Rumah Citta (Kuruci) yang kami bangun sejak awal berdirinya Rumah Citta. Secara ruhnya, sebenarnya, Kurtilas PAUD juga sejalan dalam hal menghargai setiap keunikan anak dan pendekatan saintifik. Pertama, mindset yang perlu dikuatkan adalah bahwa setiap anak adalah unik (mereka memiliki keunikan dalam minat, cara atau gaya belajar, dan juga mempunyai keunikan dalam mencapai setiap tugas perkembangannya). Kedua, Berangkat dari poin 1, maka edukator akan melihat setiap anak di kelasnya memiliki keunikan, untuk itu pada 1-3 bulan pertama Tahun Ajaran, adalah proses bagi edukatornya untuk melakukan asessment kepada setiap murid. Baik ABK maupun anak yang tidak ABK, kami biasa menyebut dengan anak saja, mendapatkan porsi asessment yang sama. yang membedakan antara ABK dan anak lainnya, adalah minat, cara belajar dan juga capaian tugas perkembangan). Misalnya di kelas ada anak 15 anak maka akan muncul 15 keunikan dari 3 aspek tadi. Sebagai gambaran, di kelas TK B yang berisi 14 anak, dengan 2 ABK, akan muncul “profil” gambaran 14 minat anak, 14 gaya belajar anak, dan mungkin ada 10 anak yang capaian Aspek perkembangan Bahasa sesuai dengan usia 5 tahun, dan 2 anak sesuai aspek perkembangan bahasa 4 tahun, dan 2 anak aspek perkembangan bahasanya sesuai dengan usia 6 tahun. hal yang sama juga berlaku untuk aspek kognitif, motorik dan sosial emosi. Ketiga, Nah dari hasil gambaran rentang capaian aspek perkembangan anak di kelas, maka Edukator akan meramu indikator capaian perkembangan di kelasnya yang akan dijadikan acuan dalam pembuatan program dan kegiatan sesuai tema kelas. Oh iya di Rumah Citta, tema, kegiatan dan aturan kelas semuanya berangkat dari usulan serta ide dari anak-anak sehingga mereka merasa dihargai dan dilibatkan dalam pembuatan maupuan pelaksanaanya. Taggapan : Guru Lailia SM: Kereeen. Banget Pak penjelasannya Bu Nindyah Rengganis Yogya 👍🏼👏🏻😊 Jadi peran guru sebagai fasilitator benar-benar harus teliti dengan beragam keunikan anak dikelas yang tidak lupa melihat tahapan perkembangannya untuk dikaitkan dengan indikator-indikator dari tema yang sudah melibatkan anak didalamnya 🤩😘😘😉 Pertanyaan 3 : Guru Chorid: Di pesantren itukan bisa dikatakan inklusi juga karena di dalamnya ada banyak sekali anak yang berbeda background sosial, pola pikir, lifestyle, gaya bicara, dsb. Ada anak yang sudah remaja, menurut kami dia agak kesulitan membangun interaksi dengan orang lain. Hampir setiap kali dimasukkan pesantren, pasti ada aja alasan untuk keluar. Dia merasa kalo teman-temannya itu tidak suka dan menganggapnya berbeda dari anak pada umumnya. Setelah dicari alasannya ternyata anak ini pendiam dan mudah tersinggung saat diajak bercanda atau saat diingatkan. Sudah diajak bicara, tapi malah merasa tidak didukung, bahkan sampai nangis terkadang. Bagaimana ya Bu Ganis cara yang lebih baik mengajak bicara anak yang demikian ini? Jawaban : Narasumber : Saya bisa membayangkan, tentu tantangan yang dihadapi anak (remaja) yang masuk boarding school atau pesantren jadi dobel…. tantangan menghadapi kehidupan dan rutinitas yang jauh dari keluarga dan pertemanan yang sudah dibangun sebelumnya. tantangan kedua adalah membangun pertemanan baru di lingkungan … Read more