Tiga pelajaran dari Nusantarun untuk Komunitas Guru Belajar

Mengubah hobi menjadi kontribusi adalah pelajaran terpenting yang saya dapatkan dari Nusantarun. Bagaimana ceritanya?  Nusantarun sebenarnya sudah tidak asing lagi. Saya mengenalnya sejak 2 tahun yang lalu dalam kerjasama program pengembangan guru sekolah inklusi SMP Permata Hati Purwokerto, bagian dari program donasi Nusantarun ke-4. Meski begitu, saya sendiri lebih banyak berkutat dalam pengelolaan program sehingga tidak banyak berinteraksi dengan tim Nusantarun.  Tahun 2018 ini berbeda, saya selaku Ketua Kampus Guru Cikal berinteraksi lebih intens dengan tim Nusantarun untuk mengembangkan program pengembangan murid disabilitas. Interaksi mulai pertemuan, siaran langsung hingga pada awal Desember 2018 yang lalu, saya hadir bersama tim Kampus Guru Cikal dalam kegiatan inti, berlari 169 km dari Wonosobo menuju Gunung Kidul. Nusantarun tahun ingin memasang target menggalang donasi sebesar 2,5 milyar untuk membiayai pengembangan murid disabilitas di Jawa Tengah dan Yogya. Dan luar biasa, target tersebut tercapai berkat perjuangan para pelari melakukan penggalangan dana. Informasi penggalangan dana Nusantarun bisa dilihat di halaman KitaBisa.com. View this post on Instagram Para Pelari, Relawan, Rekan Guru Belajar menggaungkan Lagu Indonesia Raya dipimpin rekan SLBN Temanggung _______ Malam ini, 210 Pelari NusantaRun memulai perjuangan berlari 169 km dari Wonosobo, Wates hingga Gunungkidul! Mari kita beri doa dan dukungan untuk para pelari! Serentakkan langkah demi #PendidikanUntukSemua dengan cara: 1. Posting foto selfie sendiri atau bersama murid membawa kertas/poster bertuliskan #PendidikanUntukSemua di sosial media 2. Tag akun sosial media Kampus Guru Cikal dan NusantaRun 3. Tag dan tantang minimal 3 teman untuk berpartisipasi di #PendidikanUntukSemua A post shared by Kampus Guru Cikal (@kampusgurucikal) on Dec 7, 2018 at 5:24am PST Tim Kampus Guru Cikal bersama Komunitas Guru Belajar dan murid-murid penyandang disabilitas hadir pada titik pemberangkatan, titik tengah dan titik akhir. Kami sampai di titik pemberangkatan di Wonosobo pada Kamis malam dengan mengendarai kereta sampai di Pekalongan dan dilanjutkan dengan mobil. Seusai pemberangkatan pelari, kami masih menginap di Wonosobo. Sabtu pagi meluncur ke titik tengah untuk ikut pada penerimaan dan pelepasan pelari pada titik tengah. Sabtu sore meluncur ke Gunung Kidul untuk menyambut pelari di titik akhir di Pantai Sepanjang.  Tiga hari petualangan seru bersama tim Nusatarun, para pelari, panitia, dari relawan dari berbagai komunitas. Capek pastinya, tidak terbayanng capeknya pelari, panitia dan relawan yang menyusuri sepanjang perjalanan. Senang pastinya, bisa terlibat bukan sekedar kegiatan lari, tapi kegiatan pendidikan. Tapi lebih dari itu semua, saya belajar banyak hal dari keseluruhan kegiatan Nusantarun.  Memahami kebutuhan dan aspirasi komunitas. Setiap komunitas tentu punya kebutuhan dan aspirasinya sendiri. Setiap kegiatan tentu harus berpihak pada kebutuhan dan aspirasi dari komunitas yang mengikuti kegiatan tersebut. Dari kegiatan Nusantarun, saya belajar menyiapkan kegiatan yang bisa memenuhi kebutuhan dan aspirasi komunitas guru. Bukan sekedar diangankan atau kebutuhan yang bersifat umum, tapi ditulis secara rinci. Bukan sekedar menyiapkan, tapi juga menata alur penggunaannya secara sistematis. Semuanya akan berujung pada pengalaman pengguna yang memuaskan. Melibatkan pemangku kepentingan dalam kegiatan berlari. Sama sekali tidak menduga, ternyata banyak sekali pemangku kepentingan yang terlibat dalam kegiatan Nusantarun. Ada banyak peran yang disediakan untuk para pemangku kepentingan. Siapa saja pemangku kepentingan? Ada komunitas, perusahaan, dan lembaga lokal. Kuncinya pada memberi peran yang tepat pada pemangku kepentingan. Saya membayangkan bahwa panitia tidak menyiapkan penawaran standar yang berlaku umum. Penawaran selalu mengacu pada kekuatan dari pemangku kepentingan.  Mengubah hobi menjadi berkontribusi. Ini pelajaran paling penting. Nusantarun berangkat dari sekelompok pelari yang peduli pada pendidikan. Mereka berpikir bagaimana dari hobi berlari bisa menjadi kontribusi terhadap pendidikan. Lahirlah format lari Nusantarun yang menggabungkan berlari dengan kontribusi. Para pelari memasang target donasi untuk dipenuhi sebagai syarat mengikuti Nusantarun. Bayangkan, mereka menggalang donasi untuk bisa berlari 169 Km. Luar biasa! Dan Nusantarun berhasil mengubah kegiatan berlari menjadi kegiatan berkontribusi. Dari hobi menjadi kontribusi. Itulah 3 pelajaran yang saya dapatkan dari Nusantarun. Dalam konteks pekerjaan, harapannya pelajaran tersebut bisa digunakan oleh Komunitas Guru Belajar dalam menyelenggarakan konferensi tahunan, Temu Pendidik Nusantara 2019. Dalam konteks personal, jadi tantangan buat saya bagaimana mengubah hobi bisa menjadi kontribusi terhadap pendidikan. Terima kasih Nusantarun untuk pelajarannya. Bagaimana hobi Anda bisa diubah menjadi kontribusi terhadap pendidikan?

Memang Beda, Tapi Kami Memilih Jalan Bersama

Berangkat dari arah berbeda, kami berkumpul di Stasiun Rawa Buntu, menuju satu tujuan, melakukan refleksi bersama. Saya berangkat dari Kantor Pusat Cikal di Cilandak. Amel, anggota terbaru kami, berangkat dari kos seusai penerbangan Lombok – Jakarta. Empat anggota tim yang lain, Baja, Rizqy, Mahayu dan Maman berangkat dari kantor kami. Lengkap lah enam orang tim Kampus Guru Cikal. Kami berenam merasakan terik siang yang sama, terik yang menusuk kulit kepala. Kami menantikan kereta yang sama, kereta yang akan membawa kami ke Ujungkulon, menuju Honje Ecoledge.  Kami berenam memang berasal dari daerah yang berbeda, dua berasal dari Jawa Timur, dua berasal dari Jawa Tengah, satu dari Jakarta dan satu dari Sumatera. Kami berbeda pula masa bergabungnya di Kampus Guru Cikal. Baja dan saya adalah anggota terlama, disusul oleh Rizqy. Awal tahun ini bergabung Mahayu, dan semester ini, Maman dan Amel baru saja bergabung. Meski bekerja di kantor yang sama, kami menjalankan peran yang berbeda. Saya dan Amel di Manajemen Belajar, Mahayu dan Baja di Pelibatan Komunitas, sementara Rizqy dan Maman di Manajemen Pengetahuan. Bila mau mencari perbedaan kami, sama sekali tidak susah. Dari hal-hal yang kasat mata saja sudah berbeda, belum lagi bicara keterampilan, minat, aspirasi, kepribadian dan cita-cita. Kami memang beda. Tapi Jumat siang itu, kami bersepakat melakukan perjalanan, tujuan dan cara yang sama. Perjalanan refleksi akhir tahun.  Di dunia perhotelan dikenal istilah peak season. Begitu kiranya akhir tahun bagi kami, lembaga pengembangan karier guru. Selepas Temu Pendidik Nusantara, kami sudah dihadapkan dengan berbagai proyek, di luar misi utama kami menemani Komunitas Guru Belajar. Proyek literasi Pesisir Selatan dan proyek bersama IniBudi di ujung selesai. Kami sudah dinanti proyek literasi di Jawa Timur (2 daerah), proyek pengembangan guru PAUD di NTB (2 daerah), proyek pengembangan murid penyandang disabilitas bersama Nusantarun (2 – 3 daerah), proyek Foundation Program untuk penyiapan guru baru Cikal (1 daerah) dan proyek Temu Pendidik Nusantara 2019 (9 daerah). Satu tim, enam orang, tujuh proyek dan banyak daerah 🙂 Apa yang harus kami lakukan? Alih-alih ngebut mengerjakan proyek, kami memilih berhenti, karena sadar jalan masih panjang. Perjalanan panjang butuh banyak bekal. Bekal sebagai tim berupa pengalaman positif bersama, pengalaman yang layak diperbincangkan bertahun-tahun kemudian.  Dua hari sebelumnya, kami memutuskan menggunakan voting untuk menentukan moda transportasi. Empat dari kami memilih moda transportasi kereta kemudian baru memikirkan di tempat tujuan antara. Pilihan nekat karena perjalanan panjang yang menuntut berganti moda transportasi. Itulah kenapa di siang yang terik ini justru kami berkumpul di stasiun Rawa Buntu menuju stasiun terakhir di Rangkas Bitung.  Tantangan pertama berdiri di kereta hampir dua jam. Sudah dihajar panas terik, lanjut berdiri pula. Lima dari kami ngobrol iseng, satu yang lain membaca buku dari penulis favoritnya. Sampai di Rangkas Bitung, kami keluar dari stasiun dan mulai mencari kendaraan untuk melanjutkan perjalanan 4 jam menuju Ujungkulon. Kami menuju terminal, mencari mobil bak terbuka atau angkutan umum yang mau disewa. Cari sana sini, akhirnya kami memilih seorang sopir angkutan umum untuk menemani perjalanan kami. Awalnya kami mau diantar ke terminal Mandala untuk mencari kendaraan ke arah Ujung Kulon, tapi di sepanjang perjalanan terjadi obrolan disertai tawar menawar. Akhirnya sang bapak bersedia mengantar sampai ke tempat tujuan.  Dua jam pertama perjalanan penuh semangat. Mobil angkot yang kami tumpangi melaju pada kecepatan rata-rata 50 km/jam, kecuali di 1 – 2 titik tertentu. Kami pun masih penuh semangat, obrolan ringan disertai karaoke tembang kenangan *eh. Satu jam berikutnya, keadaan sudah mulai sunyi. Pak sopirnya pun sesekali lepas konsentrasi yang mengakibatkan angkotnya melompat sekali dua kali di jalan dan jembatan yang memberi kejutan. Mulai bertanya, apakah masih jauh? Mana tujuan sebenarnya? Pertanyaan yang mengusik di perjalanan yang semakin banyak diwarnai tanjakan dan turunan curam.  Satu jam terakhir, suasana terus menurun. Pak sopir mulai bicara ditunggu temannya. Jalan semakin sempit. Dan banyak sekali bagian badan jalan yang rusak parah. Kecepatan maksimal 30 km/jam, kecepatan rata-rata turun menjadi 15 km/jam, karena seringkali kendaraan terpaksa berjalan 5 – 10 km/jam karena jalan yang rusak. Saya sudah berpikir apa jadinya bila Pak Sopir menolak melanjutkan perjalanan. Akankah kami jalan kaki menembus hutan yang gelap? Pak Sopirnya sendiri sudah mengeluh tidak berani balik pulang sendiri. Bukan takut pada orang, tapi takut pada penghuni hutan. Entah apa  Setelah menempuh satu jam menegangkan, kami pun tiba di Honje Ecoledge sekitar pukul 8 malam. Legaaaaaa……… Kami disambut makan malam yang nikmat. Atau karena kami lapar setelah bergoncang di angkot selama 4 jam?  Setelah sebagian mandi (tebak siapa?), sebagian lagi tetap duduk santai. Malam itu, acara tidak sesuai rencana. Kami memilih duduk di beranda rumah penginapan. Topik obrolan tentang fiml dan serba-serbinya. Tanpa terasa sudah hampir tengah malam. Kami pun masuk ke tiga kamar di rumah penginapan.  Apa artinya waktu berhenti? Itu lah yang saya rasakan pada hari Sabtu di Honje. Pagi subuh sebagian dari kami sudah di tepi pantai yang sepelemparan batu dari rumah penginapan. Tepat sesuai jadwal, Baja memimpin kami untuk senam pagi. Senam sebentar dan kemudian lanjut melakukan aktivitas pantai bagi yang mau. Sebentar saja, ketua panitia sudah memanggil. Kami pun makan dan mandi pagi untuk memulai sesi refleksi personal.  Kami diminta untuk berburu dua foto yang menggambarkan perubahan positif yang kami alami dan harapan di masa mendatang. Waktunya satu jam. Saya memanfaatkan waktu dengan berburu foto ke area pantai yang belum saya kunjungi pada dua kunjungan sebelumnya. Area pantai yang ditumbuhi pohon, sebagian diantaranya pohon bakau. Saya dibuat kagum oleh sejumlah pohon. Ada satu pohon yang tegak lurus berdiri meski sendiri dikelilingi air laut. Ada tiga pohon yang berdiri sejajar, seolah bergandengan tangan menghadang ombak. Keduanya saya foto dan ceritakan di sesi refleksi personal.  Saya punya banyak teman sepemikiran. Saya pun dulu mendidik mahasiswa untuk memenuhi panggilan hidup, mengaktualkan potensi dan mengejar cita. Tidak banyak yang bertahan. Lebih banyak memilih bekerja semata mendapatkan uang. Ketika muda, mahasiswa saya bertanya tentang idealisme. Semakin lama, semakin jarang dan memilih jalan kompromi. Awalnya kompromi untuk tetap jadi idealis, makin lama kompromi hanya demi kompromi, menjadi satu. Teman dari masa lalu menjadi semakin sedikit yang sejalan. Terlebih masuk dunia pendidikan. Pendidikan menumbuhkan adalah jalan yang sepi. Mayoritas masyarakat, bukan saja … Read more