Merancang Pembelajaran yang Bermakna

Moderator : Abdurakhman Hardiyanto (Unikal – KGB Pekalongan)Narasumber : Rizqy Rahmat Hani (Kampus Guru Cikal – KGB Pekalongan) Rizqy : Three Idiots adalah salah satu film favoritku, ada sebuah adegan yang membuatku terinspirsi yaitu adegan  Pia, dan teman-temannya sedang mencari Rancho yang lama telah menghilang. Setelah mencari ke bebrapa tempat, akhirnya mereka sampai  di sebuah sekolah. Ketika mereka turun, yang mereka lihat pertama adalah seorang anak dengan sebuah mesin sederhana mencampurkan bahan-bahan membuat kue, kemudian mata mereka tertuju kepada seorang anak yang memutar pedal sepeda sebagai daya pencukur  bulu domba, dan di samping mereka ada dinding sekolah yang nerwarna-warni. Adegan itulah yang membuat pandanganku mengenai pendidikan berubah. Suara jangkrik malam itu menemaniku yang sedang mempersiapkan materi ajar untuk esok hari. Aku  buka-buka lagi buku kuliahku tentang karya ilmiah. Aku buka-buka lagi Karya ilmiah yang pernah aku buat dan kirimkan untuk lomba sewaktu aku kuliah. “Baiklah, besok aku akan menjelaskan tentang apa itu karya ilmiah dan bagian-bagiannya.” Keesokan harinya, karena sudah mempersiapkannya, aku dengan kepercayaan diri masuk ke kelas. Langsung kubagikan karya ilmiah yang pernah kubuat kepada anak-anak. Kemudian kutulis sebuah kalimat di papan tulis. “Apa itu karya ilmiah?” Sengaja kutulis besar agar bisa terlihat oleh siswa yangpaling belakang. “Halo, nah coba Kalian baca sebentar mengenai karya ilmiah yang bapak berikan ya?” “Bapak beri waktu 5 menit untuk kemudian setiap anak wajib memaparkan pengertian seperti yang diketahuinya. Nanti jawaban yang paling keren Bapak kasih hadiah”. Saya yakin dengan hadiah anak akan lebih aktif, lebih senang belajar. Semua tampak senang dan berlomba-lomba menemukan arti dari karya ilmiah. Aku tersenyum karena merasa sudah menjadi guru yang keren, yang membuat anak-anak senang belajar. Belum ada lima menit ada seorang anak yang maju dan menuliskan jawaban di papan tulis. Dilanjutkan anak-anak yang lainnya. Dan semua antusias menuliskannya di papan tulis “pengertian dari karya ilmiah’. “Terima kasih, jawaban Kalian keren-keren!” Kemudian dari jawaban-jawaban tersebut, akhirnya kami saring menjadi jawaban yang paling benar. “Sekarang coba ada yang bisa menuliskan bagian karya ilmiah apa saja?” Semua diam. Kelas menjadi hening. Aku melupakan sesuatu. Hadiah. Maka dengan cekatan, aku langsung menawari hadiah kepada anak-anak. “Ehmm, kali ini bapak punya sesuatu bagi yang mau menyebutkan” Belum ada beberapa menit, seorang anak berdiri dan menyebutkan apa yang aku perintahkan. “Latar belakang, rumusan masalah, …. metode penelitian …, pembahasan… daftar pustaka” jawab saah satu siswa. Hari itu aku sangat yakin, kalau metodeku ini adalah metode keren. Anak-anak pasti bisa menjawab soal Ujian Nasional dengan baik. -Itulah yang aku lakukan 3 tahun di awal-awal menjadi guru. Mengajarkan anak menghafal. Senang, karena saat ulangan, anak-anak berhasil menjawab soal-soal pilihan ganda yang memuat materi-materi tersebut. Senang  karena nilai anak-anak selalu bagus di pelajaran Bahasa Indonesia yang artinya aku sebagai guru berhasil dan pastinya akan dipandang oleh pihak sekolah. Pemahamanku waktu itu mengenai sekolah adalah tempat mendapatkan nilai. Sampai akhirnya suatu hari saat tidak sengaja membaca tulisan siswaku. Bahwa selepas pulang sekolah, ia sering membantu ayahnya membuat batu bata. Maka ia tak suka jika gurunya memberikan PR, yang itu artinya ia harus meninggalkan bapaknya sendirian bekerja. Kejadian itu yang membuat aku merenung. “Apa benar, sekolah hanya mengejar nilai?” “Lalu mendapat ijazah” “Apa benar nilai-nilai di ijazah itu akan berguna bagi kehidupan mereka” Aku mulai merasa bahwa apa yang aku lakukan selama ini menjadi guru salah. Guru yang masih berorientasi nilai, guru yang tidak memperhatikan siswa yang diajarnya, guru yang tidak melibatkan siswa. “Bukan pengertian Karya Ilmiah yang siswa butuhkan” “Bukan mengetahui bagian-bagian Karya Ilmiah yang siswa butuhkan” “Lebih dari itu. Siswa Harus tahu bahwa ada sesuatu yang bisa dilakukan dari karya ilmiah bagi kehidupannya” Aku mencoba berefleksi dari kejadian di atas. Mencoba menjadi guru yang lebih baik. Karena aku sadar, bahwa menjadi guru adalah perjalanan, tidak ada garis finisnya. Perjalananya adalah proses belajarnya. – Di tahun berikutnya, aku mencoba mengubah konsep pembelajaran Karya Ilmiah. Kali ini mencoba melibatkan anak dalam prosesnya. “Di sekolah ada tempat-tempat apa aja sih?” tanyaku di depan kelas. “Toilet Pak” “Tempat Parkir Pak” “Ruang Guru” “Hutan sekolah” “Musala” “Kantin” Daftar tempat yang disebutkan siswa aku tulis di papan tulis, kemudian aku meminta siswa untuk mengurutkan tempat-tempat tersebut jika dilalui mulai dari ruang kelas dan kembali lagi ke ruang kelasnya. Akhirnya didapatkan rute untuk penjelajahan sekolah. “Jika kita seorang detektif yang mau meneliti tempat di sekolah, apa aja yang akan Kalian teliti?” “Kegunaanya Pak?” “Maksudnya Kegunaanya” tanyaku “Misalnya Perpustakaan Pak, perpustakaan pada dasarnya adalah tempat baca, jika digunakan untuk tempat mengobrol, tempat menonton televisi kan tidak digunakan semestinya” “Yang lain?” tanyaku lagi. “Kelengkapan Pak” “Apa lagi itu?” “Di tempat parkir misalnya Pak, sering terjadi pencurian helm. Itu karena CCTV yang belum ada Pak” Dari obrolan reflektif itu akhirnya kami mendapatkan rubrik-rubrik yang akan diteliti. Rubrik-rubrik tersebut yang akan digunakan siswa untuk melakukan penjelajahan sekolah secara berkelompok. Penjelajahan Sekolah pun berlangsung. Saat penjelajahan sekolah ada banyak diskusi di setiap kelompok. Misalnya saat di Perpustakaan, ada kelompok yang mendiskusikan penempatan kursi Perpustakaan yang masih kurang, hingga mendiskusikan peminjaman buku yang belum maksimal dilakukan, masih banyak siswa yang tidak mengembalikan buku. Kelompok lain saat melewati musala dan mengamati seorang guru yang berwudhu, mereka melihat banyak air wudhu yang terbuang sia-sia saat guru tersebut berwudhu. Lainnya melihat banyak tanaman yang mati di hutan sekolah dan tanaman yang berada di pot depan kelas. Dan masih banyak masalah yang mereka temui. (Padahal tiap hari mereka lewati, dan baru sadar setelah menjelajahi sekolah dengan rubrik). Sesampainya di kelas, akhirnya kami mendata bersama permasalahan yang ditemukan di sekolah. Dari permasalahan yang sudah didata, akhirnya kami sekelas mencoba mem-brainstroming ide-ide kami. “Saya yakin, Kalian adalah orang-orang keren di masa depan. Nah jika kalian mendapati masalah seperti ini (sambil menunjuk papan tulis) apa yang akan Kalian lakukan, ayo berikan kontribusi Kalian!” tantangku di depan kelas. “Saya akan mencoba membuat sistem barcode untuk perpustakaan Pak, agar peminjaman buku semakin mudah” “Aku akan mencoba meneliti, kenapa masih banyak anak pergi ke Kantin daripada ke Perpustakaan Pak saat jam kosong dan istirahat” “Aku akan mencoba membuat alat agar tumbuhan-tumbuhan di hutan sekolah atau depan kelas tidak layu Pak” Ide-ide yang tidak pernah aku bayangkan sebelumnya. … Read more

Cikal PYP Exhibition : Proyek Murid yang Bermakna

“Melihat proses belajar di Cikal PYP Exhibition ini dekat sekali dengan kehidupan. Latar belakang murid membuat sebuah proyek tidak jauh dengan kehidupan mereka” ujar Ahdiyat seorang guru dari SMP Fitrah Insani yang datang bersama murid-muridnya. PYP (Primary Years Program) Exhibition adalah kegiatan tahunan bagi kelas 5 Sekolah Cikal dalam bentuk pameran. Sebelum pameran ada tahap penelitian yang dilakukan murid kelas 5. Dimulai dari menemukan isu dan masalah dalam kehidupan sehari-hari dan memikirkan solusi untuk kontribusi kepada masyarakat. Bagaimana agar murid kelas 5 SD bisa menemukan isu yang ada dalam kehidupan sehari-hari? Serunya di sini, isu yang diangkat murid tidak tiba-tiba muncul, ada tahapan bernama Tuning In. Dalam #CikalPYPX tahun ini yang bertema sains, guru-guru mengajak murid untuk berkunjung ke museum IPTEK. Dengan pertanyaan-pertanyaan esensial, guru mencoba menggali inkuiri murid. Setelah Tuning In, ada tahapan Finding Out, murid mencari informasi awal berdasar pertanyaan esensial. Sorting Out, memikirkan, menganalisis, dan memvisualkan hasil observasi. Dan terakhir adalah Going Futher, tahapan di mana murid memikirkan dan merencanakan tindakan dari hasil olahan informasi. Sampai akhirnya karya bisa dilihat dalam pameran. Karena bertema sains, maka karya-karya yang ditampilkan pada Rabu dan Kamis (13 dan 14 Februari 2019) ini memiliki konsep sains. Dari proyek membuat alat untuk menurunkan kecemasan murid, kertas yang terbuat dari ubi kuning, robot yang bisa diajak latihan anggar, tangan elektronik yang dibuat karena terinspirasi atlet disabilitas, sarung tangan yang berfungsi sebagai remote control mobil, es krim yang terbuat dari sayuran dan masih banyak yang lainnya. Murid yang mengerjakan proyek ini dengan antusias menjelaskan bagaimana karya ini bisa jadi kepada pengunjung yang notabennya dari berbagai kalangan. Di sini terlihat murid memang menguasai apa yang ia lakukan. Selain itu murid tak canggung menyampaikan kegagalan yang ia lakukan selama mengerjakan proyek. Dan menuliskannya dalam kolom refleksi. Dan juga meminta umpan balik kepada para pengunjung. “Saya berharap kalau hari ini sekedar prototipe, maka suatu hari nanti apa yang dibuat anak-anak ini bisa diteruskan menjadi karya yang berdampak” ujar Emil, salah satu orangtua murid Sekolah Cikal. Apa yang saya lihat hari ini mengingatkanku kepada dua hal. Satu, teringat adegan terakhir film 3 Idiots, di mana murid-murid di sekolah yang Rancho buat, berkarya membuat alat-alat yang berguna bagi kehidupan. Kedua, teringat akan puisi karangan WS Rendra berjudul “Seonggok Jagung”. Seonggok JagungWS Rendra Seonggok jagung di kamar Dan seorang pemuda Yang kurang sekolahan Memandang jagung itu Sang pemuda melihat ladang Ia melihat petani Ia melihat panen Dan suatu hari subuh Para wanita dengan gendongan Pergi ke pasar Dan ia juga melihat Suatu pagi hari Di dekat sumur Gadis-gadis bercanda Sambil menumbuk jagung Menjadi maisena Sedang di dalam dapur Tungku-tungku menyala Di dalam udara murni Tercium bau kue jagung Seonggok jagung di kamar Dan seorang pemuda Ia siap menggarap jagung Ia melihat menggarap jagung Ia melihat kemungkinan Otak dan tangan Siap bekerja Tetapi ini Seonggok jagung di kamar Dan seorang pemuda tamat S.L.A Tak ada uang, tak bisa jadi mahasiswa Hanya ada seonggok jagung di kamarnya Ia memandang jagung itu Dan ia melihat dirinya terlunta-lunta Ia melihat dirinya ditendang dari discotheque Ia melihat sepasang sepatu kenes di balik etalase Ia melihat sainganya naik sepeda motor Ia melihat nomer-nomer lotere Ia melihat dirinya sendiri miskin dan gagal Seonggok jagung ia di kamar Tidak menyangkut pada akal Tidak akan menolongnya Seonggok jagung di kamar Tak akan menolong seorang pemuda Yang pandangan hidupnya berasal dari buku Dan tidak dari kehidupan Yang tidak terlatih dalam metode Dan hanya penuh hafalan kesimpulan Yang hanya terlatih sebagai pemakai Tetapi kurang latihan bebas berkarya Pendidikan telah memisahkanya dari kehidupanya Aku bertanya : Apakah gunanya pendidikan Bila hanya akan membuat seseorang menjadi asing Di tengah kenyataan persoalanya?? Apakah gunanya pendidikan Bila hanya mendorong seseorang Menjadi layang-layang di ibukota Kikuk pulang ke daerahnya?? Apakah gunanya seseorang Belajar filsafat,teknologi,ilmu kedokteran,atau apa saja. Ketika ia pulang ke daerahnya,lalu berkata : “disini aku merasa asing dan sepi”