Berbagi Praktik Mengajar Kreatif

Agar para guru bisa saling berbagi inspirasi praktik mengajar yang kreatif. Komunitas Guru belajar (KGB) Probolinggo mengadakan Temu Pendidik Daerah (TPD). Acara diselenggarakan di aula Korwil Dinas Pendidikan Kecamatan Krejengan. Ada tiga kelas di antaranya yang pertama: mencari teman duduk dengan menggunakan kartu bilangan atau kartu benda, kedua: miskonsepsi literasi dan literasi bermakna menumbuhkan empati, dan yang ketiga: Gambar Bercerita – Media Belajar SPOK. TPD kali ini dihadiri oleh kurang lebih 50 guru dari berbagai sekolah yang ada di Kecamatan Krejengan, Kabupaten Probolinggo.  Mengajar Kreatif: Mencari Teman Duduk Silvia Eka Putri, guru kelas 1 di SDN Sumberkerang, Kecamatan Gending berbagi praktik baik mengajar kreatif tentang mencari teman duduk. Setiap ajaran baru, murid kelas 1 di dalam kelas selalu berebut tempat duduk, dan tak jarang pula orang tua mereka rela mengantarkan pagi-pagi sekali hanya untuk mendapatkan kursi baris depan. Para orang tua beranggapan bahwa anak yang duduk di kursi depan cenderung lebih cerdas dan memiliki kompetensi lebih unggul dibandingkan anak yang duduk di belakang. Kejadian ini membuat kelas bu Silvi tidak kondusif. Setelah mendiskusikannya dengan wali kelas yang lain, akhirnya beliau menemukan cara untuk meminimalisir agar kejadian tersebut tidak terulang lagi. Cara ini juga sebagai media pembelajaran untuk anak-anak kelas1 lebih mengerti bilangan dan nama benda sekitar. Caranya setelah bel masuk sekolah berbunyi, anak-anak harus mengambil kartu di depan kelas. Kartu tersebut bisa berupa bilangan atau gambar benda seperti buah, hewan, dan lainnya. Kartu tersebut disesuaikan dengan kebutuhan murid. Jika kebanyakan murid kurang mengerti tentang bilangan, maka bisa menggunakan angka. Sebelum itu, setiap bangku di dalam kelas sudah ada satu kartu yang sama dengan kartu yang ada di depan kelas. Jadi, secara keseluruhan ada 3 kartu yang sama yakni 1 kartu dibangku dan 2 kartu lagi di depan kelas untuk anak-anak menemukan tempat duduk dan teman duduknya secara adil dan tanpa saling iri. Sehingga tercipta kelas yang kondusif. Orang tua pun bisa memahami dan tidak mempermasalahkan tempat duduk anak-anaknya. Media mencari tempat duduk ini juga bisa digunakan para guru untuk membagi kelompok-kelompok dalam kelas.  Literasi Bermakna Menumbuhkan Empati Kelas kedua yang berbagi praktik baik mengajar kreatif adalah bu Yulia yang mengajar di SDN Krejengan. Awalnya beliau menceritakan pengalamannya menjadi guru kelas tinggi, yang menurutnya seorang guru harus bisa memberikan apa yang dibutuhkan oleh murid. Baginya untuk menjadi guru merdeka belajar harus bisa mengaplikasikan 5M. Memahami murid merupakan praktik salah satu 5M yakni memanusiakan hubungan. Ketika di dalam kelas, kita sebagai seorang guru harus bisa memahami apa kebutuhan murid. Hal ini bisa dilakukan dengan membuat kesepakatan kelas. Meskipun untuk bisa menjalani kesepakatan kelas ini butuh ketelatenan dari guru itu sendiri. Dengan begitu rasa empati akan tumbuh, dan suasana pembelajaran akan semakin  menarik. Selain kesepakatan kelas, bisa juga melalui 5 posisi kontrol menjadi seorang guru merdeka belajar. 5M yang berikutnya adalah memahami konsep, membangun keberlanjutan, memilih tantangan dan memberdayakan konteks. Ada juga strategi literasi untuk empati di antaranya berlatih perspektif, identitas moral, kesempatan untuk berempati serta memperluas lingkaran kepedulian. Gambar Bercerita: Media Belajar SPOK Kelas ketiga yang berbagi praktik baik mengajar kreatif adalah bu Iva yang mengajar di SDN Rawan, Kecamatan Krejengan. Awalnya bu Iva menceritakan keresahannya saat mengajar tentang unsur-unsur kalimat. Bahwa tidak semua murid paham akan unsur-unsur yang ada pada kalimat. Padahal di awal pembelajaran bu Iva sudah menjelaskan definisi dari kalimat dan unsur-unsur yang terdapat di dalamnya yakni subjek, predikat, objek dan keterangan. Akan tetapi mereka masih saja kesulitan dalam menulis sebuah kalimat yang benar. Oleh karenanya, beliau berinisiatif membuat media SPOK guna memudahkan murid dalam memahami materi yang diterima. Bu Iva menggunakan media gambar pada masing-masing unsur kalimat. Misal untuk subjek menggunakan gambar kucing, untuk predikat menggunakan kartu bertuliskan memakan, objek dengan gambar ikan, dan untuk keterangan menggunakan gambar dapur. Sehingga jika digabungkan akan terbentuk kalimat “Kucing memakan ikan di dapur”. Dan ternyata dengan penggunaan media SPOK, murid menjadi lebih mudah memahami materi, lebih aktif dan berani menjawab pertanyaan. Selain  itu, suasana belajar jadi lebih menyenangkan. Sebagai penutup, bu Iva juga menyampaikan bahwa media yang digunakan memang dibuat sederhana jadi dipersilakan jika ada yang memodifikasinya atau ingin mempraktekkan media yang sama di sekolah masing-masing. Di sesi akhir dibuka sesi tanya jawab dan sharing antar sesama guru. Anda ingin mempelajari praktik mengajar yang Merdeka Belajar? Yuk ikuti pelatihan daring (online)Klik link di bawah ini

Petikan Pelajaran Kolaborasi Literasi Bermakna

Setahun sudah kami bersama menjalankan program Kolaborasi Bermakna. Ada banyak kegiatan, tapi lebih banyak lagi pelajaran. Setiap anggota tim dan peserta program mempunyai banyak pemaknaan personal yang beragam terhadap perjalanan ini. Kami mencoba merangkum petikan pelajaran yang didapatkan dari program Kolaborasi Literasi Bermakna. Pelajaran yang akan kami bawa dalam program yang lain, dan menurut kami penting juga dipelajari oleh penggiat pendidikan di seluruh penjuru negeri. Dari Sendiri Menuju Kolaborasi  Tantangan pertama dan utama dari Kolaborasi Literasi Bermakna adalah mengubah pola kerja dari yang biasanya asyik sendiri menjadi seru berkolaborasi. Kolaborasi itu indah diucapkan. Begitu mudah disampaikan dalam pidato-pidato, tapi kenyataannya begitu menantang.  Kolaborasi Literasi Bermakna digawangi empat organisasi yang mempunyai bidang fokus yang berbeda. Kampus Guru Cikal yang menangani guru. Keluarga Kita yang menangani orangtua. Pusat Studi Pendidikan dan Kebijakan yang menangani riset dan advokasi kebijakan. Inibudi yang menangani pembuatan konten belajar. Masing-masing organisasi mempunyai keahlian tersendiri. Setiap organisasi melayani segmen dengan agendanya sendiri. Melalui program Kolaborasi Literasi Bermakna, kami belajar mensinergikan agenda dan prioritas sekaligus membangun relasi saling percaya. Banyak gesekan dan perdebatan untuk menentukan pilihan yang bisa mengakomodasi semua. Pelajaran penting yang kami dapatkan adalah berpihak kepada anak. Menjadikan kepentingan anak sebagai kriteria untuk mengambil keputusan. Bila antar-organisasi sulit mengalah, tapi ketika berpihak kepada anak menjadi kriteria, maka organisasi bisa lebih melonggarkan agenda dan menerima kesepakatan.  Kolaborasi Literasi Bermakna bisa berjalan jauh dan mengerjakan banyak kegiatan semata-mata karena mengedepankan kepentingan anak. Cita-cita menyaksikan anak-anak Batu dan Probolinggo bisa belajar karena cinta, bukan karena terpaksa. Bila ada perbedaan, pemersatunya adalah anak.  Dari Penunjukan Menuju Partisipasi  Pada sebagian besar program, keterlibatan orangtua dan guru sering kali ditentukan melalui jalur penunjukan. Dinas Pendidikan menunjuk kepala sekolah. Kepala sekolah menunjuk guru dan orangtua untuk mengikuti program. Kebanyakan guru dan orangtua akan terlibat program karena takut melanggar penunjukan tersebut. Takut mendapat sanksi.  Kampus Guru Cikal dan Keluarga Kita punya pengalaman berbeda. Jalur penunjukan memang membuat orang terlibat program, tetapi bukan karena kesadaran sendiri, sering kali karena terpaksa. Oleh karena itu, kami mencoba jalur partisipasi dalam melibatkan guru dan orangtua dalam program pengembangan. Kami percaya bahwa guru dan orangtua yang berniat belajar pasti mencari cara agar bisa mendapat kesempatan belajar. Dalam lima tahun, kami membangun komunitas guru dan orangtua berdasarkan prinsip partisipasi dan kerelawanan dengan segala dinamikanya.  Pada Kolaborasi Literasi Bermakna, keyakinan tersebut kami praktikkan dalam sebuah program yang terukur dan terencana secara ketat. Sebuah pilihan yang mengandung risiko tentunya. Apakah dengan kesibukan orangtua dan guru mau meluangkan waktu terlibat dalam program yang tanpa memberi imbalan apa-apa? Bagaimana kalau yang awalnya sukarela mengikuti program kemudian punya kesibukan lain? Apakah guru dan orangtua yang menjadi peserta program akan menjalankannya dengan sungguh-sungguh? Berdasarkan bukti dari pengalaman sebelumnya, kami memilih untuk mengambil risiko dari jalan partisipasi.  Setelah membereskan hati sendiri, langkah kami berikutnya adalah meyakinkan pemangku kepentingan dari program Kolaborasi Literasi Bermakna. Tidak mudah karena pemangku kepentingan punya pengalaman yang berbeda. Tidak percaya bahwa ada guru dan orangtua yang sukarela mau belajar. ‘Dipaksa saja susah, kok, diminta sukarela,’ mungkin itu pikiran yang terlintas. Namun, setelah dengan sejumlah argumentasi dan cerita pengalaman kami sebelumnya, jalur partisipasi diterima dengan sejumlah catatan. Di akhir program Kolaborasi Literasi Bermakna, kami sungguh bahagia bisa menunjukkan bahwa guru dan orangtua belajar banyak dengan semangat sukarela, bukan dipaksa. Dari Hadiah dan Hukuman Menuju Kesempatan dan Dukungan Keterlibatan dalam program yang berdurasi satu tahun tidaklah mudah. Menjaga konsentrasi dalam hitungan menit saja susah. Karena itu, pengelola program mempunyai sejumlah strategi untuk memotivasi peserta program terlibat secara penuh mulai dari awal hingga akhir. Meski ada banyak strategi, secara umum kesemuanya berdasarkan prinsip hadiah dan hukuman. Hadiah untuk yang menunjukkan perilaku baik, hukuman bagi yang menyimpang.  Tantangan bagi Kolaborasi Literasi Bermakna adalah menemukan strategi yang tidak menggunakan prinsip hadiah dan hukuman yang biasa dipakai. Pelibatan dalam program dimulai dari partisipasi, kesadaran dari dalam diri, tentu kami butuh mencari strategi memotivasi yang selaras.  Tantangan terbesar bukan mencari strategi memotivasi yang tepat, tetapi pengelolaan diri dari keseluruhan kami, seluruh anggota tim Kolaborasi Literasi Bermakna, baik yang bertugas di Jakarta maupun daerah. Sering kali yang terjadi adalah khawatir gagal yang berlebihan. Semua pengelola program pasti ingin berhasil mencapai target. Keinginan yang wajar, tetapi bila berlebihan akan menggoda kami menggunakan strategi memotivasi berdasarkan hadiah dan hukuman.  Bersikap empati terhadap orangtua dan guru yang menjadi peserta program membantu kami keluar dari tekanan menggunakan hadiah dan hukuman. Kami menempatkan diri menjadi peserta program dan berpikir apa yang kami butuhkan untuk berubah lebih baik. Lahir kesadaran bahwa peserta program lebih butuh kesempatan dan dukungan untuk berubah. Kesempatan berbagi praktik baik, kesempatan untuk unjuk diri, dukungan berupa umpan balik, pengakuan terhadap apa yang sudah baik dan koreksi mana yang perlu diperbaiki. Kesadaran yang membuat kami melakukan tambahan kegiatan berupa pendampingan sesuai kebutuhan guru dan orangtua. Dari Penyeragaman Menuju Berjenjang  Dalam program yang terukur dan direncanakan secara ketat, sering kali fokus pengelola program adalah pada pelaksanaan kegiatan dan pencapaian target. Program yang sudah direncanakan sejak awal dilaksanakan sebagaimana pakemnya. Persoalannya kemudian, apakah yang sudah direncanakan di awal sesuai dengan tantangan di lapangan dan kebutuhan peserta program?  Kolaborasi Literasi Bermakna sedari awal sebenarnya sudah melakukan sejumlah kegiatan untuk memahami tantangan di lapangan dan kebutuhan peserta program. Pemahaman yang kami gunakan untuk melakukan penyesuaian rancangan program agar lebih efektif. Namun, pemahaman awal pun ternyata masih belum cukup kaya dibandingkan dengan pemahaman yang didapatkan selama pelaksanaan program. Intensitas interaksi dan percakapan bermakna menghasilkan pemahaman baru yang lebih luas. Jangankan antar-personel, kemajuan program antar-daerah pun tidak sama. Pelaksanaan program Kolaborasi Literasi Bermakna yang berawal dari pendekatan yang seragam pada perjalanannya disesuaikan. Penyesuaian strategi menjadi lebih personalisasi pada tujuan, cara, dan alat bantu refleksi. Peserta program yang lebih dahulu menguasai sasaran program mendapat kesempatan lebih luas. Sementara, peserta program yang butuh waktu tambahan mendapat dukungan sesuai kebutuhan mereka untuk berkembang.  Dengan memfasilitasi proses refleksi, kami mengajak orangtua dan guru memahami kemampuan dan kecepatan belajarnya. Jadi, bukan kami yang menentukan kebutuhan belajar, tapi peserta program sendiri yang melakukan penilaian diri untuk menyusun agenda belajarnya. Partisipasi bukan hanya saat pelibatan awal, tapi juga hingga menentukan intensitas belajar. Dari Berbasis Sekolah Menuju Berbasis … Read more