“Anak gila kok diterima di sekolah,” Kata-kata teror melalui SMS ini kami terima pada tahun 2012 di awal-awal tahun perjuangan membangun sekolah/madrasah inklusi. Guru Niam, Kepala Madrasah akan bercerita bagaimana ia jatuh bangun membangun madrasah inklusi. Apa saja yang perlu dipersiapkan untuk membangun sekolah inklusi? Mengapa perlu menjadi sekolah inklusi? Yuk temukan jawabanya dalam Temu Pendidik Mingguan ke-23 Komunitas Guru Belajar Pekalongan “Membangun Madrasah Inklusi” Anifah Assalamualaikum, selamat malam Bapak Ibu. Apa kabarnya hari ini? Yuk yang jauh mendekat, yang dekat merapat. Bahagia rasanya dapat menyapa guru-guru luar biasa malam ini, guru-guru yang memiliki semangat tinggi untuk terus belajar. Perkenalkan nama saya Anif dari KGB Pekalongan. Malam ini akan berperan sebagai moderator diskusi. Jangan lupa siapkan tenaga lebih dan cemilan untuk menyimak materi kece malam ini. Tema diskusi kita kali ini yaitu Membangun Madrasah Inklusi Bersama Pak Niamil Hida dari MI Kranji 1 Kedungwuni M. Niamil Hida Perkenalkan Nama saya Muhammad Niamil Hida biasa dipanggil Niam atau Hida. Pada kali ini saya akan sharing pengalaman proses merintis dan menumbuhkan madrasah Inklusi di MI Kranji 1 Kedungwuni Pekalongan Muhammad Niamil Hida Materi: “Anak gila kok diterima di sekolah,” kata-kata teror melalui SMS ini kami terima pada tahun 2012 di awal-awal tahun perjuangan membangun sekolah/madrasah inklusi. MI Walisongo Kranji 01 Pekalongan pada awalnya adalah sekolah/madrasah biasa seperti pada umumnya, sekolah/madrasah setingkat SD yang di bawah Kementrerian Agama. Awal mula munculnya ide menerapkan sistem inklusi karena keresahan beberapa guru melihat anak yang kami duga termasuk berkebutuhan khusus di sekitar sekolah tidak dapat kesempatan belajar yang baik, jikapun diterima di SD/MI hampir bisa dipastikan tidak mendapatkan pelayanan yang layak. “Terus anak-anak spesial ini tanggung jawab siapa?” Kata-kata itu yang akhirnya membuat tekad kami semua untuk memulai langkah awal menerima anak terindikasi berkebutuhan khusus di MI kami dengan modal “nekat”. Modal tekad dan nekat memang kata yang pas untuk menggambarkan kondisi saat itu saat memulai merintis madrasah inklusi. Banyak sekali tantangan yang harus dilalui baik faktor internal maupun faktor eksternal. Dilihat dari faktor internal kondisi guru-guru di MI Kranji 01 tidak ada satupun dari jurusan yang berkompeten dalam penangan ABK, bahkan mayoritas guru di MI Kranji 01 adalah dari lulusan PAI (Pendidikan Agama Islam) dan beberapa bukan jurusan pendidikan. Faktor internal lain yaitu kondisi sarana prasarana yang belum memenuhi dan belum ideal. Faktor eksternal juga sangat mempengaruhi tingkat tantangan dalam upaya menerapkan madarasah inklusi saat itu. Pada tahun 2012, di Kementerian Agama belum ada peraturan yang mengatur tentang pendidikan untuk anak berkebutuhan khusus. Di tahun berikutnya ada MI Kranji seperti mendapat angin segar karena Kementerian Agama mengeluarkan PMA No. 90 tahun 2013 tentang penyelenggaraan pendidikan madrasah, yang di salah satu pasalnya menyebutkan pendidikan untuk anak berkebutuhan khusus, tepatnya pada pasal 14 ayat 6 yang berbunyi “MI wajib menyediakan akses bagi peserta didik berkebutuhan khusus”. Dengan modal peraturan ini kami menjadi lebih yakin bahwa madrasah juga mendapat dukungan yang baik dari pemerintah.Membangun kesadaran lingkungan sekolah akan pentingnya pendidikan inklusi di daerah yang sangat minim informasi tentang inklusi menjadi hal penting, stempel jelek masih banyak diterima anak berkebutuhan khusus, anak autis dianggap gila, anak ADHD dianggap tidak layak belajar bareng sebayanya di sekolah karena sering mengganggu. Melihat hambatan atau tantangan memang perlu untuk menyiapkan aksi apa yang pas untuk menjawab tantangan-tantangan. Seperti tantangan untuk menumbuhkan kesadaran pentingnya sistem inklusi kepada masyarakat, dan tugas sekolah/madrasah adalah memberikan edukasi dan bukti. Usaha untuk memberikan edukasi dan bukti kami lakukan melalui tindakan P3K, bukan Pertolongan Pertama Pada Kecelakaan, tetapi P3K yang kepanjangannya : Program Solutif, Pembelajaran Efektif, Promosi Simpatik dan Komitmen Energik. 1. Program Solutif Program-program yang didesain berusaha memberikan solusi atas permasalahan- permasalahan yang muncul di sekolah, seperti masalah kesempatan yang sama dalam berekspresi; sekolah/madrasah memberikan kesempatan kepada semua murid untuk tampil sebagai pengibar bendera, walau tubuh mereka sangat mencolok berbeda. Memberikan anak berkebutuhan khusus juga ikut berperan tentunya disesuaikan dengan potensinya. Tidak hanya itu, juga memberikan kesempatan anak kelas 1 MI untuk tampil dengan menjadi petugas upacara. Contoh-contoh program lain seperti parenting untuk memanusiakan hubungan dengan wali murid, program tentang pemahaman toleransi dengan hari tanpa seragam dan lain sebagainya. 2. Pembelajaran Efektif Belajar efektif yang kami percaya bukan sekadar mahir menjawab soal, tetapi belajar yang mendekatkan dengan realita kehidupan sehari-hari, seperti belajar tentang perpindahan panas dengan memasak dan latihan menyetrika baju, belajar perubahan zat benda dengan mencuci baju dan lain sebagainya. Jika murid didekatkan dengan hal yang bukan abstrak akan mempermudah pemahaman, salah satunya kehadiran anak berkebutuhan khusus sangat membatu guru mendekatkan realita ketika membahas toleransi, mencegah terjadinya bulliying dengan buddy system dan lain sebagainya. 3. Promosi Simpatik Kalau 2 hal di atas adalah usaha untuk memberikan bukti pentingnya pendidikan inklusi, promosi simpatik adalah upaya untuk mengedukasi masyarakat. Promosi yang dilakukan di MI kami saya yakin juga sudah dilakukan oleh sekolah lain, yaitu promosi melalui berbagai hal, seperti menyebar brosur dan promosi melalui media sosial. Cara tersebut bisa efektif jika sekolah kita sudah dipandang, kami sadar akan hal itu, maka yang kami lakukan adalah berbagi ilmu tentang apa yang guru-guru kami miliki kepada guru dan orangtua di sekitar, baik praktik baik maupun kompetensi yang dibutuhkan oleh mereka. Kegiatan promosi simpatik dengan kolaborasi ini sangat efektif untuk mengedukasi masyarakat. 4. Komitmen “Energik” Bagi saya yang terakhir ini faktor penentu keberhasilan dalam usaha meningkatkan sesuatu termasuk membangun madrasah inklusi. Dalam menjalankan 3 usaha sebelumnya pasti muncul beberapa masalah, tanpa komitmen yang kuat tidak mungkin kita bisa bertahan dengan tujuan mulianya, dengan komitmen masalah apapun bisa diminimalisir selama selalu mencari cara untuk menyelesaikan masalah. Untuk menjaga komitmen guru, yang kami lakukan adalah dengan membuat program diskusi rutin dengan program obsesi (obrolan senin santai) di forum inilah kami merefleksi program-program yang sudah dijalankan dan mencari program baru atau memodifikasi program program lama jika dibutuhkan. Melalui refleksi bersama program-program untuk memberikan pelayanan bisa bertumbuh lebih baik, seperti awal menerapkan inklusi program awal hanya klinik baca, akhirnya berkembang dengan PPI (program pembelajaran individual) dan lain sebagainya Melalui cara P3K ini yang di dalamnya ada kegiatan refleksi alhmadulillah sedikit demi sedikit apa yang kami lakukan untuk menumbuhkan kesadaran tentang pentingnya pendidikan inklusi menuai hasil. … Read more