Media Ajar Matematika dengan GPS

Apakah Bapak dan Ibu guru merasa sedih saat mengajar matematika? Karena seperti yang kita tahu, banyak murid yang tidak suka dengan mata pelajaran matematika. Ingin membuat pembelajaran menjadi lebih menyenangkan, tapi bagaimana caranya? Ingin menggunakan media ajar? Tapi media ajar seperti apa yang selain menyenangkan juga bisa berdampak bagi murid dan masih relevan di masa sekarang maupun di masa depan? Jangan khawatir Bapak Ibu, karena pada tulisan kali ini kita akan membahas kisah dari seorang guru yang juga mengalami hal serupa. Guru ini mengajar matematika kelas 7. Namun guru ini mampu membuat pembelajaran matematika menjadi lebih menyenangkan sekaligus berdampak bagi murid dengan media ajar yang digunakannya. Nah kira-kira, siapa guru ini dan media ajar matematika apa yang digunakannya ya? Penasaran? Yuk langsung simak kisah selengkapnya di bawah ini! Guru ini bernama Febriandrini dari SMP Lazuardi Al Falah GIS Depok. Awalnya Guru Febri merasa dengan menyisipkan permainan atau menggunakan alat peraga saat beliau mengajar dulu, dirasa sudah cukup untuk membuat pembelajarannya menjadi lebih menyenangkan. Namun tidak untuk sekarang. Melihat pesatnya perkembangan zaman dan teknologi, Guru Febri sadar jika hampir separuh ilmu yang diajarkan saat ini bakal hilang ditelan zaman sekian tahun mendatang. Sudah banyak profesi baru yang membutuhkan ilmu baru yang bahkan belum diajarkan di sekolah. Karena itu Guru Febri juga mencoba hal baru dalam mengajar. yakni mencoba media ajar matematika menggunakan aplikasi peta dengan fitur GPS. Kebetulan waktu itu materi yang diajarkan tentang bilangan dan operasi dasar matematika. Guru Febri mengaitkan materi bilangan dengan aplikasi peta dengan fitur GPS. Di awal pembelajaran Guru Febri biasa memberikan sesi inkuiri dan bertanya apa gunanya angka atau bilangan dalam kehidupan manusia. Ada yang menjawab untuk mengetahui seberapa banyak barang yang kita miliki, seberapa tinggi sebuah gedung dan sebagainya. Lalu Guru Febri lanjutkan dengan bertanya, “Kalian tahu tidak kalau angka itu bisa menyelamatkan nyawa manusia?” “Masa? Kok angka bisa menyelamatkan manusia, Teacher?” sahut nurid-muridnya. “Iya, bisa. Ada yang tahu tentang GPS?” tanya Guru Febri. “Saya tahu. Itu biasanya yang ada di Google Maps, untuk menunjukkan lokasi kita,” sahut salah satu murid. “Betul, sekali. GPS atau  Global Positioning System menggunakan satelit yang mengirim data tentang lokasi kita di bumi. Jika kita tersesat di hutan dan sinyal smartphone masih aktif, kita bisa mengirimkan data lokasi dan meminta pertolongan untuk datang ke lokasi tersebut,” kata Guru Febri. “Data lokasi itu koordinat GPS, kan ya, Teacher?” murid lain menimpali. “Yep, betul. Nah, ada yang pernah tahu jenis bilangan apa yang digunakan untuk menuliskan koordinat GPS?” Guru Febri lanjut bertanya. Murid diam. “Ada yang tahu bagaimana kita bisa mendapat koordinat GPS dari Google Maps?” Guru Febri bertanya lagi. Murid saling melirik satu sama lain, lalu menggelengkan kepalanya. Di sini, Guru Febri akan menerapkan media ajar matematika yang telah ditentukannya. Guru Febri mulai mengajak murid mengeksplorasi bilangan desimal dalam koordinat GPS, mengaitkan pengetahuan mereka tentang posisi berdasarkan lintang dan bujur, serta kuadran dalam koordinat Kartesius. Baca juga: Membuat Asesmen yang Menyenangkan dengan Ekshibisi Mini Digital “Oke, sekarang Teacher akan tunjukkan caranya. Kita buka Google Maps, pastikan tombol Location atau GPS dalam keadaan aktif ya. Nanti akan terlihat titik biru seperti in, kita zoom hingga makimal, lalu tekan di titik biru itu sampai keluar pin merah. Nah, akan muncul deretan angka yang merupakan koordinat GPS. Yuk, yang bawa smartphone, bisa di coba.” Murid yang membawa smartphone pun mulai mencoba dan mereka heran ternyata mereka mendapatkan angka yang berbeda. Guru Febri pun meminta dua murid membacakan deretan angka tersebut dan Guru Febri menuliskan di papan tulis. Lalu Guru Febri bertanya, “Menurut kalian, ini angka apa?” “Desimal ya, Teacher?” jawab salah satu murid. “Betul, ada dua angka desimal di sini dan Kalian lihat dari dua koordinat yang Teacher tulis di sini, ada angka yang berbeda. Ini menunjukkan bahwa teman kalian tadi berada pada posisi yang berbeda. Nah, sekarang yang mau Teacher tanyakan adalah mengapa angka bulatnya –6 dan 106? Ada yang tahu?” “Apa ya? Tidak tahu,” jawab murid yang lain. “Coba masih ingat, Indonesia berada di bujur dan lintang berapa?” Guru Febri bertanya lagi. Sambil menunggu jawaban murid, Guru Febri menggambar sumbu koordinat di papan tulis. “Ingat, 6o lintang utara –11o lintang selatan kan?” jawab salah satu murid. “95o—141o bujur timur!” teriak murid yang di belakang. “Good. Coba sekarang lihat ke sini. Masih ingat empat arah mata angin, apa saja?” “Betul. Barat, Timur, Selatan, dan Utara.” Guru Febri dan murid-muridnya bersama-sama meletakkan nama mata angin di gambar. “Kalau gambar ini melambangkan posisi di bumi, kira-kira sumbu X ini menunjukkan apa?” sambil menggerakkan tangan Guru Febri di sepanjang sumbu X. “Khatulistiwa?” seorang murid menjawab dengan ragu-ragu. “Yak betul khatulistiwa. Selanjutnya, kalau batas Indonesia terletak di 6o lintang utara –11o lintang selatan, 95o—141o bujur timur. Bagaimana kita menggambarkannya di sini?” Guru Febri dan muridnya lalu meletakkan posisi batas-batas dan mereka sepakat tentang letak Indonesia. “Nah, sekarang kalau tadi Depok berada di (-6, 106), yang -6 menunjukkan lintang utara atau selatan?” Guru Febri bertanya. Ada yang menjawab utara, ada yang menjawab selatan. “Coba perhatikan baik-baik, tanda negatif di bagian utara apa selatan?” “Berarti lintang selatan, Teacher.” “Betul, berarti 106 menunjukkan bujur timur karena tanda positif ya.” Guru Febri dan muridnya lalu menggambar letak titik (-6, 106). “Sekarang, lihat dua pasangan koordinat yang tadi Teacher tulis. Kalau titik ini adalah A, kira-kira titik B di sebelah mana A? Perhatikan baik-baik angka desimalnya, ya.” Guru Febri dan muridnya lalu menggambar letak titik A dan B. “Nah, sekarang kalian sudah paham tentang koordinat GPS dan cara mendapatkannya. Teacher akan bagi kalian menjadi grup kecil. Satu orang dari setiap grup akan menempati sebuah posisi di sekitar sekolah, seakan menjadi orang yang harus kita selamatkan. Orang tersebut nanti akan mengirim data GPS lokasi ke kelompoknya supaya yang hilang sampai ketemu. Kalau sudah ketemu, langsung kembali ke tempat Teacher menunggu. Siap?” Berbekal alat tulis dan smartphone, setiap grup bersemangat keliling sekitar sekolah, mencari anggota mereka yang hilang.  Mereka melihat peta dan membangdingkn dengan data GPS yang dikirim dengan lokasi mereka. Akhirnya, semua grup berhasil menemukan anggota kelompoknya. Dari kegiatan ini, murid bisa merasakan kegunaan angka sebagai data GPS yang bisa digunakan … Read more

Praktik Literasi Merdeka Belajar: “Menulis Surat ke Moro”

Sebagaimana mendukung kegiatan literasi, banyak sekolah yang sudah membuat program literasi dan menerapkan praktik literasi ini. Kegiatan rutin ini dilaksanakan untuk menumbuhkan minat baca murid serta meningkatkan keterampilan membaca. Mayoritas fokus kegiatan ini adalah meminta murid untuk membaca buku, membuat sebuah rangkuman dari buku yang dibaca, dan membacakan ulang secara singkat tentang buku yang dibaca. Apakah bapak dan ibu guru banyak yang memiliki keresahan yang sama di mana tetap saja murid sudah membaca buku tetapi belum bisa memahami isinya, atau murid sudah memiliki kemampuan literasi tetapi kurang melakukan berbagai kegiatan yang bermakna? Ya, ternyata praktik literasi banyak dianggap tidak memberikan insight pada murid hingga akhirnya karena dianggap tidak ada kemajuan dalam program kegiatan ini, program kegiatan literasi pun terpaksa berhenti di tengah jalan.  “Literasi adalah kemampuan menalar yang berkait dengan kemampuan analisa, sintesa, dan evaluasi informasi yang bisa ditumbuhkan dengan terintegrasi dalam pelajaran.” (Shihab, 2019). Namun apakah bapak dan ibu guru pernah memikirkan untuk memahami karakter murid sebelum menerapkan program literasi ini? Apakah bapak dan ibu guru memikirkan bagaimana konsep penerapan literasi yang sesuai dengan karakter setiap murid? Karena apa pentingnya literasi bagi murid jika murid sendiri tidak paham akan makna literasi dan tidak menawarkan perubahan bagi mereka. Nah, dari sini kita akan membahas lebih lanjut cerita tentang praktik literasi ini, yaitu Menulis Surat ke Moro. Baca juga Literasi adalah Cara Menggerakkan Negeri Awalnya saat setiap hari Sabtu di sekolah tempat Ibu Titik mengajar yaitu di SD Muhammadiyah 1 Muntilan memiliki kegiatan literasi sesuai jadwal yang sudah dibentuk di sekolah, yang mana merupakan hasil diskusi para guru. Kegiatan literasi 15 menit ini disertai jargon “Menggalakkan Literasi”membuat para guru pun sangat antusias dan berekspektasi jika siswa-siswa akan menikmati dan menyukainya. Tidak hanya itu saja, para guru juga mencanangkan kegiatan literasi mingguan yang disusun perbulannya. Pada minggu-minggu pertama pelaksanaan kegiatan literasi ini, Ibu Titik mengamati jika ekspresi murid seperti merasa kagok dan kurang menikmati, namun beliau mencoba untuk berprasangka baik, “Mungkin para murid belum terbiasa”. Namun berdasar hasil pengamatan beliau setelah beberapa minggu kemudian, kegiatan literasi seolah menjadi beban tersendiri bagi murid. Hal ini dilihat dari ekspresi murid ketika jam kegiatan literasi berlangsung dengan mengatakan, “Yah, literasi lagi..”. Contoh lainnya adalah ketika diminta untuk merangkum buku dari perpustakaan, beberapa murid melangkan malas dan hanya membuat ringkasan ala kadarnya. Di sini Ibu Titik merasa ada yang salah dengan kegiatan ini. Beliau berekspektasi jika literasi akan menjadi suatu gerakan yang membudaya, namun praktiknya ternyata masih sebuah istilah. Hal inilah yang menjadi tantangan dalam menjalankan program literasi ini. Akhirnya Bu Titik pun melakukan survey ketertarikan pada program literasi sekolah ini. ternyata program literasi yang gagal diminati oleh siswa yaitu kegiatan membaca, bercerita di depan kelas, dan menulis di buku diary. Dan faktanya, beberapa anak merasa literasi ini adalah paksaan, bahkan ada murid yang mengatakan “Karena saya tidak suka menulis dan saya merasa terpaksa setiap diminta menulis dan bercerita”. Hal inilah yang menjadi tantangan dalam menjalankan program literasi ini.  Akhirnya Ibu Titik pun mengetahui sebab kegagalan dari goals literasi ini. Beliau merasa perlu belajar lagi untuk memahami murid. Ternyata selama ini beliau merasa belum memenuhi hak mereka untuk tahu dan paham tujuan dari kegiatan literasi ini. Beliau menambahkan jika kesalahan kegiatan ini bukan pada rancangan programnya, melainkan pada penerapannya. Beliau menyadari jika tidak menyukai menulis, membaca, atau nyaman saat diminta bercerita kepada orang lain. Namun Ibu Titik memiliki keyakinan yang kuat jika suatu hari nanti mereka akan enjoy menjalankan kegiatan literasi ini dan sebagai seorang pendidik, beliau berkewajiban menumbuhkan keyakinan itu kepada muridnya.  Lalu Ibu Titik memiliki ide untuk merubah konsep kegiatan ini. Ia melibatkan siswanya untuk mencari tahu tentang Moro melalui gambar dan video, beliau juga bercerita tentang kehidupan temannya yang mengajar di SD Negeri 005 Moro, Kecamatan Moro, di Kabupaten Karimun. Awalnya murid-murid Ibu Titik ini heran mengapa tidak melaksanakan rutinitas literasi seperti biasanya. Namun lama-kelamaan, mereka mulai menikmati hal tersebut. Kemudian beliau meminta siswanya untuk menganalisis gambar tentang keberadaan di sana. Lalu, muncullah pertanyaan-pertanyaan dari siswanya ini. Mereka sangat antusias menanyakan pertanyaan tentang kehidupan dan pembelajaran murid-murid di Moro. Kemudian sesuai kesepakatan, Ibu Titik membuat sebuah kegiatan bernama “Menulis Surat ke Moro”.  Sesuai kesepakatan, murid-murid akan mendapatkan waktu satu minggu untuk menuliskan apa saja yang ingin mereka tanyakan kepada murid-murid di SDN 005 Moro. siswa pun menuliskan pertanyaan mereka kepada siswa di Moro. Tak terasa waktu seminggu tersebut benar-benar mereka gunakan untuk membuat surat sebaik-baiknya. Banyak dari para murid yang berkonsultasi dengan Ibu Titik tentang penyampaian bahasa yang sesuai di dalam suratnya, bahkan banyak dari murid yang menyertakan hadiah di dalam surat tersebut.  Di sini Ibu Titik merasa terharu, karena ketika belajar tentang bagian surat dahulu, muridnya tidak pernah seantusias ini. Dan yang membuat Ibu Titik hampir menangis adalah ketika muridnya yang dahulu menyatakan bahwa dirinya tidak suka menulis dan merasa terpaksa setiap diminta menulis dan bercerita, ternyata menyerahkan sebuah surat yang dibuatnya sepanjang dua lembar folio.  Akhirnya setelah semua surat terkumpul, Ibu Titik mengemasnya dalam satu kardus besar dan mengirimkannya melalui POS. Setelah surat dikirimkan, Ibu Titik merasa kewalahan oleh muridnya yang menanyakan kapan surat-surat tersebut dibalas. Hingga akhirnya satu bulan kemudian, surat-surat balasan yang ditunggu pun tiba. Ibu Titik lagi-lagi dibuat haru ketika melihat ekspresi murid-muridnya berebut balasan surat yang mereka kirim. Mereka merasa bahagia ketika mengetahui bahwa mereka bisa mendapat jawaban dari apa yang mereka tanyakan melalui surat ini, Ibu Titik dapat melihat ekspresi muridnya yang begitu puas ketika rasa ingin tahunya tersalurkan, dan betapa senangnya mereka ketika hadiah yang dikirimkan ternyata dibalas dengan hadiah juga dari teman barunya. Terakhir, yang membuat Ibu Titik Bahagia adalah ketika refleksi muridnya dalam kegiatan ini adalah mengungkapkan jika metode pengajaran tentang surat merupakan yang terbaik yang mereka pernah lakukan, dan tanpa harus memaksakan siswa. Ibu Titik pun menemukan kesepakatan jika literasi lebih luas maknanya daripada sekadar kegiatan rutinan untuk memenuhi kewajiban melaksanakan perintah dari pemerintah. Sebagai penutup, Ibu Titik menyampaikan jika kebahagiaan hakiki bagi seorang pendidik adalah ketika melihat murid-muridnya bisa merdeka dalam belajar karena semangat yang tumbuh dalam dirinya sendiri. Saat melihat raut wajah dan ekspresi bahagia murid-murid, beliau merasa menjadi … Read more

Literasi, Senjata Melawan Berita Hoax

Apa anda tahu bahwa beberapa waktu belakangan ini grup-grup pendidik diramaikan oleh berita hoax tentang kebijakan menteri? Apa Anda tahu siapa penyebar berita hoax tersebut? Jawabannya adalah pendidik itu sendiri. Ketika banyak pendidik sibuk menyebarkan hoax tentang kebijakan pendidikan. KGB Bandung, Cimahi, Pekalongan dan Kampus Guru Cikal, justru sibuk meningkatkan literasi dengan Bedah Buku Literasi Menggerakkan Negeri bersama Pak Bukik dan Pak Suhud di SMKN 5 Bandung. Perilaku pendidik yang kontradiktif sekali bukan? Apa yang menyebabkannya? Apakah karena  literasi yang menyebabkan perilakunya menjadi berbeda? Tak Sekadar Membaca Buku Kelas TPD Karier Bedah Buku kali ini diawali oleh Pak Suhud. Ia menyampaikan bahwa literasi tidak hanya sekadar membaca buku, dengan menunjukkan banyaknya praktik baik dalam meningkatkan literasi, seperti literasi dengan berjalan-jalan, bermain game, bercerita, dll. Diakhir pemaparan, ia bertanya, “Lantas, apa itu literasi?”. Mendengarnya membuat peserta menjadi bertanya-tanya. Selagi peserta bertanya-tanya dalam hati, kelas pun berlanjut dengan pemaparan Pak Bukik. Ia menyampaikan bahwa karya buku kolaborasi KGB dan KGC seperti ini, dapat mendorong berbagai pihak agar menjadi lebih peduli dengan pendidikan. Itulah kekuatan buku ini. “Wow, iya juga ya, dengan begini perubahan kondisi pendidikan bisa menjadi lebih cepat,” bisik salah seorang peserta. Sesi pemaparan berakhir, sesi bertanya pun dimulai. Kelas ini pun menjadi semakin seru dengan pertanyaan yang dilontarkan. Pertanyaan pertama datang dari Bu Nining. Ia menyampaikan bahwa di awal buku ini, Pak Bukik langsung menghujam tentang program membaca senyap 15 menit, hal tersebut membuatnya terkejut. Pak Bukik pun menanggapinya. Ia berkata bahwa di Permendikbud, kegiatan membaca 15 menit memang diwajibkan, namun berdasarkan kenyataan, ketika kita tidak melaksanakannya pun, tidak ada sanksi yang diberikan, terlebih bila kita bisa menunjukkan pengganti kegiatan literasi yang lebih bermakna. Hal seperti itu ia beliau sampaikan dengan maksud membuka besi-besi penjara yang rasanya telah memenjarakan guru selama ini. Ia berharap sebagai guru, kita bisa merdeka, fokus pada tujuan literasi, serta mandiri dan kreatif mencari cara yang tepat untuk murid-murid kita, yang bisa jadi caranya tidak dengan membaca senyap selama 15 menit. Cara Meningkatkan Literasi Pertanyaan berlanjut dengan pertanyaan Pak Yoga, bila bukan dengan membaca senyap 15 menit, lalu bagaimana caranya kita bisa meningkatkan literasi? Pertanyaan tersebut sebenarnya sudah terjawab oleh paparan Pak Suhud di awal kegiatan ini. Pak Bukik menanggapi bahwa akan lebih bermakna apabila murid diberikan kemerdekaan memilih buku yang disukainya dan setiap anak diizinkan memiliki target membaca yang berbeda sesuai kemampuannya. Hal tersebut sesuai dengan 5M yakni memahami konsep, memanusiakan hubungan, membangun keberlanjutan, memilih tantangan dan memberdayakan konteks. Ruangan pun menjadi ramai karena seorang guru menyatakan bahwa faktanya ada anak yang membaca UUD dan ada juga anak yang berulang-ulang membaca buku yang sama dalam satu tahun. Kuat dugaan, hal tersebut terjadi karena kegiatan membaca senyap 15 menit dipandang tidak bermakna oleh murid-murid. Pak Bukik pun menambahkan contoh lain sebagai tanggapan dari pertanyaan Pak Yoga, “Anak dapat diajak berjalan-jalan ke taman, lalu ditanya tentang warna bunga dan jumlah bunga, lalu esok harinya diajak kembali ke taman, lalu ditanya pertanyaan yang sama, dan ditanya tentang perbedaan jumlah bunga hari ini dengan hari kemarin. Ini adalah literasi matematika.” Diskusi mengalir hingga menjawab pertanyaan Pak Suhud di awal tentang “Apa itu literasi?”. Literasi dapat dimaknai sebagai cita, cara, dan cakupan. Sebagai cita, literasi dimaknai sebagai kompetensi. Sedangkan sebagai cara, literasi dicontohkan dengan membaca buku untuk menyelesaikan masalah. Sebagai cakupan, dicontohkan dengan kegiatan membaca senyap 15 menit. Hal-hal yang kedudukannya cakupan, sebenarnya dapat mudah berubah sesuai konteks. Masalah Dalam Praktik Literasi Sekolah Bedah buku kali ini rasanya benar-benar menunjukkan bahwa masalah literasi seperti kegiatan membaca senyap 15 menit itu merupakan masalah nasional yang penting untuk diselesaikan. Kegiatan tersebut mestinya dapat berubah sesuai konteks. Namun mengapa kegiatan tersebut justru diwajibkan? Sebagai guru, apa yang perlu kita lakukan? Jawabannya adalah guru merdeka belajar. Guru yang fokus pada tujuan, mandiri pada cara, dan reflektif. Bicara tentang refleksi, kegiatan tersebut ditutup oleh refleksi salah seorang peserta, dan ditutup oleh moderator. Pak Iwan selaku moderator menyampaikan bahwa praktiknya, “literasi pun dapat dimaknai sebagai ritual”. Mendengarnya, tiba-tiba terasa sesak di dada, karena pemaknaan tersebut nyata ada, namun faktanya kebanyakan ritual yang ada justru membodohkan. Pak Iwan pun mengingatkan, jangan sampai buku ini pun membuat kita terjebak dalam miskonsepsi literasi. Potensi tersebut memang ada. Terima kasih telah diingatkan. Karenanya literasi menjadi sangat penting dimiliki oleh guru, murid, dan semua orang, apalagi di era digital seperti ini. Agar tidak ada lagi realita seperti yang sekilas disampaikan di awal, agar tidak ada lagi pendidik yang dengan mudah membagikan berita hoax. Dapatkah Anda bayangkan bagaimana literasi muridnya, bila pendidiknya mudah termakan hoax? Penasaran Bagaimana Menerapkan Literasi Numerasi di Sekolah Dasar? Yuk ikuti pelatihan online klik tombol di bawah ini

Program Literasi di Sekolah yang Bermakna

Sudah membuat program literasi sekolah, namun nyatanya kegiatan tidak meninggalkan jejak pada murid. Murid sudah membaca buku tapi masih tetap saja tidak paham isinya. Atau sudah paham tentang literasi tetapi minim ragam kegiatan yang bermakna. Ternyata memang masih banyak kerikil  miskonsepsi tentang literasi. Termasuk di dalamnya bahwa literasi hanya berkutat pada buku, teks, kegiatan membaca atau menulis. Lalu apa pentingnya literasi untuk murid jika tidak memberikan perubahan bahkan tidak memberikan daya. Karena seharusnya literasi yang bermakna akan menjadikan murid semakin berdaya. Nah, dari persepsi inilah kita akan mengurai tentang miskonsepsi literasi yang nyatanya telah membudaya berakar bertahun tahun dalam persepsi pendidik. Temu Pendidik Daerah Kegiatan Temu Pendidik Daerah (TPD) adalah sebuah pertemuan antarpendidik di daerah Tulungagung. Peserta dari berbagai jenjang mulai PAUD, TK, SD, SMP, SMA maupun perguruan tinggi. Dalam pertemuan ini kami saling berkolaborasi membahas tentang tema yang kami angkat yaitu Literasi untuk Berdaya. Tema ini kami angkat berkaitan dengan masih banyak miskonsepsi tentang apa itu literasi? Bagaimana program literasi? TPD dilaksanakan pada hari minggu tanggal 6 Oktober 2019. Bertempat di Omah Dolan Pelangi, Jln. Teuku Umar, Dusun, Gluduk, Desa Ariyojeding, Kec. Rejotangan. Kab.Tulungagung. Pemantik diskusi adalah Bunda Ilmi yang merupakan Penggerak KBG Blitar dan Bunda Pelangi Penggerak KGB Tulunggagung. Peserta yang hadir ada 7 orang. Di antara mereka memiliki motivasi ikut karena memang belum pernah mendengar adanya Komunitas Guru Belajar. Adapula yang sudah dengar tetapi belum pernah mengikuti kegiatannya. Maka menjadi lumrah saat baru datang di lokasi peserta masih malu-malu untuk berinteraksi dan komunikasi. Untuk mencairkan suasana Bunda Ilmi mengajak peserta untuk memperkenalkan diri. Kemudian peserta diajak saling bertukar informasi tentang aktivitas dan motivasi mengikuti agenda TPD. “Motivasi saya ikut adalah tertarik pada tema yang diangkat, karena kebetulan di sekolah saya belum ada program literasi.” Ungkap Bu  Gilang yang merupakan guru SD Sentul Blitar. “Saya sebelumnya belum pernah mendengar ada KGB makanya saya datang karena saya penasaran.” Kata Bu Nur yang rumah dan tempat mengajarnya cukup dekat dengan lokasi TPD. Miskonsepsi Literasi Sebelum pemantik diskusi menyampaikan pemaparan tentang praktik baik literasi yang berdaya, para peserta diajak mengemukakan pendapatnya tentang apa itu literasi Jawabannya pun beragam seperti kata pak Satrio Guru SD di Buntaran “Literasi itu ya kegiatan membaca buku.” Berbeda dengan Pak Denny mengungkapkan “Literasi itu adalah kegiatan belajar yang tidak hanya dari buku tetapi juga dalam aktivitas berkreasi.” Setelah  merangkum pendapat peserta, bu Ilmi kemudian memulai mengurai tentang miskonsepsi literasi. Bahwa literasi bukan hanya berkutat pada diktat, buka selalu dengan buku, bukan tentang kegiatan membaca dan menulis saja. Tetapi semua aktivitas mencari informasi, mengolah informasi kemudian mengkomunikasikannya kembali dalam bentuk yang lebih bermakna. Dari pemaparan bu Ilmi sedikit terbukalah paradigm peserta. Ada yang kaget juga karena konsep tentang literasi yang mereka pahami selama ini masih keliru. Ada juga yang kemudian tersenyum lega karena ternyata kegiatan literasi bukan hanya membaca buku. Maklum ternyata ada beberapa peserta yang tidak menyukai kegiatan membaca. Setelah Bu Ilmi memantik diskusi tentang Miskonsepsi Literasi, Bunda Pelangi yang merupakan pemilik Omah Dolan Pelangi memaparkan tentang Praktik baik Literasi yang bermakna di jenjang dasar ( PAUD, TK,SD ). Salah satunya adalah dengan sosiodrama. Kemudian permainan Board Game karakter baik, belajar cerita dan dongeng. Literasi yang berbasis eksplorasi sains. Mengaitkan pembiasaan atau kegiatan sehari hari dengan literasi. Baca Juga: Miskonsepsi Literasi Refleksi Kegiatan Dari hasil diskusi peserta mulai ada ide baru untuk membuat ragam kegiatan literasi yang bermakna. Semuanya dimulai dari pemahaman pendidiknya terlebih dahulu, pada sesi penutupan bu Ilmi menyampaikan “Keterampilan yang harus dimiliki baik pendidik maupun murid di era 4.0 adalah keterampilan berkomunikasi dan berpikir kritis dan inilah bagian dari sebuah literasi yang berdaya.” Sementara Bunda Pelangi menyampaikan “Bukan bagaimana anak itu bisa membaca akan tetapi bagaimana anak itu suka membaca, untuk kegiatan literasi yang bermakna perlu adanya kegiatan pasca membaca.” Sebuah refleksi juga diberikan salah satu peserta TPD yaitu Bu Reza “Kegiatan siang hari ini sangat bermanfaat, membuka pikiran yang selama ini literasi saya anggap hanya tentang membaca. Sangat santai sehingga bisa lebih enjoy dalam memahami. Semoga bulan depan ada agenda lagi dengan teman yang lebih banyak.” Kami tawarkan kepada peserta tentang tema pada pertemuan TPD yang selanjutnya. Dari berbagai masukan dan pendapat ternyata banyak diantara peserta yang ingin berbagai praktik baik pembelajaran literasi. Maka Call to Action nya adalah peserta TPD akan mendapatkan tantangan membuat skenario pembelajaran literasi yang bermakna . Tidak lupa juga kami agendakan awal  bulan depan untuk TPD lagi dengan bahasan Ragam Kegiatan Literasi yang Bermakna, kami rencanakan akan berbagi praktek baik tentang literasi dari semua jenjang sekolah. Penasaran Bagaimana Menerapkan Literasi Numerasi di Sekolah Dasar? Yuk ikuti pelatihan online klik