Memetakan Potensi ABK dengan Asesmen

Apa jadinya seorang ahli bedah yang dikenal hebat, terlempar ke masa di mana alat-alat bedah tidak ada. Apakah ia masih bisa melakukan praktik membedahnya?  Namanya Jyin Hyuk, seorang dokter bedah yang hidup dan tinggal di masa modern yang mengalami kejadian aneh, yang membuatnya harus terlempar jauh ke masa Dinasti Joseon. Dalam masa itu, teknologi medis masih dalam tahap awal. Banyak kasus yang dialami Jyin Hyuk ketika ia terlempar ke waktu yang berbeda. Salah satunya adalah ketika ia menemui seorang anak yang sakit perut, mual, mata tampak cekung, dan juga kulit kering.  Dari sekilas melihat kondisi anak tersebut, Jyin Hyuk meminta warga untuk menjaga kebersihan dan melakukan beberapa tindakan. Namun tak disangka, wabah melebar, ada beberapa warga yang meninggal karena penyakit tersebut. Di masa belum ada peralatan medis tersebut, Jyin Hyuk membuat alat alternatif, obat alternatif dan melakukan beberapa keputusan agar virus tersebut tidak tersebar. Asesmen, saya melihat apa yang Jyin Hyuk sebagai seorang dokter melakukan asesmen, dia memperkirakan apa yang sedang dialami si anak dari mengobservasinya, seringnya mual, sakit perut hingga kulit kering membuatnya mendiagnosis bahwa si anak terkena kolera. Ia pun tahu kalau virus itu akan cepat menyebar dan mengambil beberapa keputusan sampai membuat beberapa obat dan alat untuk mengobati yang sudah terkena dampak. Sebagai seorang guru, salah satu yang perlu dimiliki adalah kemampuan seperti dokter Jyin Hyuk, yaitu melakukan asesmen. Oleh karena itulah dalam program Pengembangan Murid Penyandang Disabilitas pelatihan pertama difokuskan mengajak guru peserta program untuk bisa melakukan asesmen. Pelatihan bertema  “Pemetaan Potensi ABK Pasca Pendidikan Menengah” ini diikuti sekitar 40 guru pembimbing khusus dari SMALB, dan guru BK dari  SMA/SMK/Madrasah Inklusi di Jawa Tengah. Pelatihan yang berlangsung selama 3 hari ini (5-7 Agustus 2019) bertujuan untuk peserta memiliki persepsi yang sama mengenai tujuan pendidikan inklusi, dan mampu melakukan asesmen untuk mengidentifikasi ABK. “Sering banget terjadi miskonsepsi diantara guru mengenai pendidikan inklusi”, ujar Vitriani Sumarlis salah satu pelatih dari Kampus Guru Cikal. Oleh karena itulah di bagian awal pelatihan, peserta diajak untuk berpikir dan berdiskusi mengenai miskonsepsi pendidikan inklusi, seperti : Murid dengan disabilitas/ berkebutuhan khusus tidak akan mampu mengikuti kurikulum yang sama seperti anak-anak pada umumnya  Kurikulum khusus perlu dirancang untuk anak-anak dengan disabilitas/ kebutuhan khusus Menerima murid disabilitas/berkebutuhan khusus dalam kelas reguler hanya akan menghambat pencapaian murid-murid yang lain di kelas tersebut  Pernyataan-pernyataan tersebut membawa peserta berbeda pendapat, ada yang setuju ada pula yang tidak setuju. Dari proses inilah, kami melihat beberapa guru memang masih kebingungan mengenai tujuan pendidikan inklusi. Untuk lebih memberikan gambaran mengenai pendidikan inklusi, pelatih memutarkan sebuah video tentang praktik pendidikan inklusi di negara-negara eropa. Peserta kemudian diajak berdiskusi antarkelompok. “Saya jadi mulai memiliki gambaran sebagai guru BK menerapkan pendidikan inklusi di sekolah saya. Kalau memang pendidikan untuk semua, mengapa perlu kurikulum khusus. Saya mulai memahami bahwa untuk mencapai itu, salah satu yang perlu dilakukan adalah kolaborasi..” ujar salah satu peserta guru BK. Setelah itu pelatihan yang berlangsung di Gedung BP-Diksus, Semarang ini mengajak peserta untuk mengenali keragaman ABK (Anak Berkebutuhan Khusus). Karena jika guru mengetahui tentang keragaman ABK, guru bisa lebih mudah memberikan tindakan yang tepat sesuai ragam ABK-nya. Dalam sesi ini, peserta diajak bermain kartu Murid Istimewaku, kartu permainan yang bertujuan mengajak peserta tahu dan mengerti ragam ABK. Melalui permainan, ragam ABK yang berjumlah banyak memudahkan untuk dimengerti oleh peserta dan kemudian mengelompokkannya ke dalam area-area disabilitas, mana ragam disabilitas yang masuk area disabilitas fisik, mana yang masuk disabilitas sensori, mental, dan intelektual. “Permainannya seru, mengasah peserta untuk bisa merancang strategi agar mendapat skor banyak. Selain itu, penggunaan perbedaan warna memudahkan kami memetakan area disabilitas murid..” ujar salah satu peserta program. Harapannya setelah mengetahui tujuan pendidikan inklusi dan ragam ABK, guru bisa melakukan asesmen yang tepat untuk murid. Oleh karena itulah sesi selanjutnya yang berlangsung di hari kedua membahas tentang prinsip, tujuan dan cara asesmen.  Jika diandaikan seorang dokter Jyin Hyuk yang terlempar ke masa belum mengenal peralatan medis, dan menggunakan apa yang ada di lingkungannya untuk membantu mengobati pasien, maka sebenarnya tantangan guru adalah itu. Tidak bergantung asesmen-asesmen dari lembaga lain yang biasanya berharga tinggi melalui serangkaian tes. “Tantangannya adalah mengajak guru menggunakan apa yang ada untuk melakukan asesmen. Dari sesederhana melakukan pengamatan kepada murid, melakukan wawancara. Karena selama ini yang terjadi di kalangan guru adalah cara melakukan asesmen menggunakan alat berupa tes, yang terkadang berbiaya..” ujar Rizqy salah satu pelatih dalam tahap ini. Lewat berbagai simulasi permainan, peserta diajak untuk saling mengamati satu sama lain. Mencatat apa yang dilakukan, bagaimana perilakunya, menanyainya untuk mendapat gambaran orang tersebut.  “Memang tantangannya dalam asesmen, bagaimana melakukan asesmen tidak secara langsung dan murid mengetahui bahwa mereka sedang diamati/diwawancarai.” ujar Vitriani Sumarlis kepada peserta setelah melakukan simulasi observasi dan wawancara. Di hari terakhir, peserta diajak mengenali bakat dan minat murid melalui teori Holland. Di sesi ini peserta antusias sekali mempelajari mengenai Teori Holland, yang membagi minat menjadi 6 yaitu realistik (sang pekerja), investigatif (sang pemikir), artistik (sang kreator), sosial (sang penolong), wirausaha (sang pembujuk), dan konvensional (sang pengatur). Harapannya, para peserta memiliki pengetahuan mengenai minat sehingga bisa menumbuhkan minat-minat yang murid miliki. “Pelatihan yang berbeda dari pelatihan lainnya. Tiap hari hampir 8 jam pelatihan namun tidak terasa.” Ujar Nanik Qomariyah, salah satu peserta 

Udinus Berdayakan Teknologi untuk Mahasiswa Penyandang Disabilitas

“Sepuluh tahun yang lalu, ada salah satu orangtua mahasiswa yang meminta anaknya yang notabennya penyandang disabilitas untuk bisa mengenyam pendidikan di Udinus. Kami belum punya pengalaman untuk mendampingi anak berkebutuhan khusus belajar, namun bagi kami ini tantangan. Akhirnya kami terima, dan kami kemudian mencari cara agar anak tersebut bisa belajar dengan maksimal.” , tutur Prof Dr Ir Edi Noersasongko M.Kom Rektor Universitas Dian Nuswantoro Semarang (Udinus) yang kami temui Kamis (16 Mei 2019) di Gedung rektorat Udinus, Semarang. Dalam pertemuan bertajuk audiensi program Pengembangan Murid Penyandang Disabilitas untuk NusantaRun 6 ini rektor Udinus menceritakan bagaimana Udinus memulai kepeduliannya dengan mahasiswa penyandang disabilitas. Seperti cerita di atas, untuk menghadapi tantangan tersebut pak Edi meminta beberapa dosennya untuk belajar, membuat riset mengenai penyandang disabilitas. Ternyata, usahanya tidak sia-sia, banyak dosen yang akhirnya tergerak membuat riset mengenai penyandang disabilitas. Misalnya Muljono S.Si, M.Kom dosen Fakultas Ilmu Komputer (Fasilkom) Universitas Dian Nuswantoro (Udinus) yang mengembangkan Sistem Sintesis Ujaran Audio-Visual (SSUAV) untuk Bahasa Indonesia yaitu sebuah sistem yang dapat membangkitkan ujaran audiio visual secara simultan dari teks yang diinputkan, sistem tersebut memanfaatkan alat bernama Job Access With Speech (JAWS). Sistem dan alat ini mampu membantu para tunanetra untuk menggunakan komputer. Dalam kerjanya aplikasi tersebut membaca layar komputer dan mampu melafalkan teks. Selain Muljono, mahasiswa Teknik Biomedis Udinus juga menciptakan kursi roda berteknologi modern yaitu bisa berjalan hanya dengan kendali jari. Dari riset tersebut banyak mahasiswa penyandang disabilitas terbantu, salah satunya adalah Eka Pratiwi Taufanti, mahasiswa jurusan S1 Sastra Inggris Udinus ini berhasil menemukan jalan kariernya sebagai penulis saat belajar di Udinus. Berikut salah satu tulisan Eka : “Aku tentu bangga dan bahagia dengan apa yang kudapat sekarang ini. Memang yang kudapat ini belum apa-apa jika dibandingkan dengan teman-teman lainnya, namun aku tetap bersyukur karena meskipun aku harus tinggal berpisah dengan orang tuaku yang berjualan pecel serta nasi di luar jawa, namun aku bisa tetap melanjutkan pendidikanku. Pelita di kedua mataku kini memang telah tiada , terganti gulita yang sesakkan dada. Namun berkat rasa syukur dan mimpi yang berpijar dalam jiwa, gulita itu seolah bukan apa-apa. Pelita lain, pelita baru yang lebih benderang dari cahaya optic pada indera penglihatanku kini berpijar, menyinari kehidupan seorang anak manusia yang dianugerahi sebuah ketunanetraan, seorang anak manusia yang meski memiliki keterbatasan namun tetap memiliki mimpi sebesar bahkan lebih besar dari mereka; individu-individu yang sempurna secara fisik. Seseorang dengan keterbatasan nyatanya dapat menembus keterbatasan tanpa batas, berlari mengejar mimpi dengan keyakinan penuh dalam hati. Bagiku hidup adalah berawal dari mimpi, maka jangan takut bermimpi karena ketika kita takut bermimpi, kehidupan ini tak akan ada untuk kita. Kuncinya, ikhlas dengan takdir yang ada and do believe that God will give a hand for us!!” Udinus memang tak main-main dengan apa yang mereka lakukan untuk penyandang disabilitas, pada tahun 2017 Udinus mengundang perwakilan organisasi dan komunitas difabel untuk mengikuti Focuss Group Discussion (FGD) untuk menyusun bahan ajar yang aksesibel bagi mahasiswa difabel netra. Dalam audiensi tersebut, Kampus Guru Cikal yang diwakili Bukik Setiawan dan Rizqy Rahmat Hani ini mengajak Udinus menjadi salah satu perguruan tinggi tujuan calon mahasiswa penyandang disabilitas untuk program Pengembangan Murid Disabilitas. Gayung bersambut, pak rektor menyambut hangat ajakan kami.

Kerja Barengan untuk Pengembangan Murid Penyandang Disabilitas

“Saya sangat senang sekali dengan program ini. Bahwa benar seorang guru harus belajar dan belajar terus, karena saya ingin sekali mengoptimalkan kembali potensi yang dimiliki oleh anak, biar anak-anak itu bisa.” ungkap Septi Mardianti seorang guru dari SLBN Kota Tegal yang mengikuti kegiatan Sosialisasi Program Pengembangan Murid Disabilitas oleh Kampus Guru Cikal, Jumat 3 April 2019 di Gedung B Aula Ki Hajar Dewantara Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Jawa Tengah yang dihadiri 120 Kepala Sekolah SMA, SMK, MA Inklusi serta SLB di Jawa Tengah Kegiatan sosialisasi ini merupakan kegiatan awal dari serangkaian kegiatan dalam program Pengembangan Murid Disabilitas yang dilakukan oleh Kampus Guru Cikal. Pendanaan dari program ini didapatkan dari donasi yang digalang melalui lari ultra marathon yang diadakan NusantaRun pada 7-9 Desember 2018 lalu. Upaya penggalangan dana oleh para pelari tersebut berhasil mengumpulkan dana sejumlah 2,65 miliar. Hasil donasi tersebut yang digunakan untuk membiayai Program Pengembangan Murid Penyandang Disabilitas di Jawa Tengah dan DIY. Ada 3 subjek yang menjadi sasaran dalam program ini, yaitu murid penyandang disabilitas, guru BK dan orangtua. Murid penyandang disabilitas selain mendapatkan beasiswa untuk melanjutkan ke perguruan tinggi, juga mendapat pelatihan keterampilan belajar untuk melanjutkan ke jenjang pendidikan tinggi. Guru BK mendapatkan pelatihan pendidikan inklusi dan pelatihan bimbingan karier. Harapannya dari pelatihan tersebut guru BK memiliki keterampilan dalam mendampingi murid penyandang disabilitas untuk melanjutkan ke jenjang pendidikan tinggi. Orangtua juga menjadi sasaran program karena dukungan orangtua penting bagi keberhasilan pendidikan murid penyandang disabilitas. Dalam sosialisasi program pengembangan murid disabilitas, Bukik Setiawan selaku ketua Kampus Guru Cikal menyatakan bahwa ekosistem pendidikan kita membutuhkan murid penyandang disabilitas yang melanjutkan pendidikan tinggi sebagai kisah sukses agar semakin banyak dukungan bagi pendidikan inklusi. “Layaknya seorang petani yang menanam bibit tanaman dengan metode yang ia gunakan, maka jika berhasil akan bisa ditiru oleh petani lainnya. Program ini akan berjalan jika ada keterlibatan banyak pihak, baik dinas, sekolah, guru, dan juga masyarakat” ujar Bukik dalam acara tersebut. Sejalan dengan Bukik Setiawan, wakil gubernur Jawa Tengah Taj Yasin yang hadir dalam acara tersebut mengatakan bahwa perlu jangkauan yang lebih luas untuk pendidikan inklusi, jika pemerintah provinsi saja jangkauannya kecil. Program yang digagas NusantaRun merupakan dukungan nyata dari masyarakat dalam mendukung cita-cita pendidikan untuk semua.

Mengelola Keragaman Dalam Kelas Inklusi

Moderator: Guru Filla Nova Mariyana (Sekolah Islam Umar Harun, Rembang) Narasumber : Guru Yanuar Khaldun (Sekolah Cikal Surabaya) Profil Narasumber : Anggota KGB Surabaya, mengajar di Sekolah Cikal Surabaya sebagai guru SSC ( student support center),  memberikan pelayanan kepada anak anak yang membutuhkan layanan khusus. Kegiatan : Diskusi Online Hari / Tanggal : Minggu, 10 Februari 2019 Pukul : 15.30 – 17.30 WIB PEMBUKAAN Narasumber : Sebelumnya saya ke materi, gambaran  pendidikan inklusi menurut bapak dan ibu itu seperti apa sih? TANGGAPAN PESERTA Bu Lia : Pendidikan Inklusi adalah pendidikan untuk semuaBu Shaumi : Pendidikan yang bebas untuk siapa sajaPak Shoffa: Kalau saya, pendidikan inklusi itu yang semua model latar belakang anak bisa sekolah. Fisik, ekonomi, ras, suku, agamaPak Joko : Pendidikan Inklusi menurut hemat saya adalah pendidikan yang tidak memandang beda pada muridnya. Semuanya tetep mendapatkan jatah pendidikan yang sama, namun dengan cara yang beda-beda karena semua anak memiliki tahapan perkembangannya masing-masingBu Partilah : Pendidikan yang melayani anak berkebutuhan khususBu Shaha: Sekolah dengan anak yang memiliki kebutuhan berbeda dari biasa sampai luar biasa, dari khusus sampai sangat khususBu Ulya : Pendidikan yang menghargai keberagamanBu Nisa : Pendidikan yang menfasilitasi berbagai keragaman.Bu Fiqoh : Pendidikan inklusi adalah pendidikan untuk semua tanpa pilih kasihBu Muflihah : Pendidikan inklusi adalah  pendidikan yang tidak membeda-bedakan keadaan (kondisi) anak, baik ABK atau non ABK.Bu Riroh : pendidikan untuk siapa sajaBu Mufidah : Semua murid diperlakukan samaBu Zahro : Menurut saya pendidikan inklusi adalah pendidikan yang tidak membatasi keberagaman peserta didiknya.Bu Hani’ : Sebuah pendekatan untuk membangun dan mengembangkan sebuah lingkungan yg semakin terbuka, mengajak masuk dan mengikutsertakan semua orang dgn berbagai perbedaan latar belakang MATERINarasumber : Wah, keren keren jawabannya. Pendidikan inklusi menerapkan model diferensiasi  dalam pembelajaran. Jadi pendidikan inklusi juga menerima anak anak yang berkebutuhan khusus. Ketika sekolah menjadi sebuah sekolah inklusi, maka secara tidak langsung sekolah tersebut harus siap dengan kedatangan ABK di sekolah tersebut. Namun banyak kejadian di lapangan sekolah umum masih bingung dengan model pelayanan di sekolah inklusi seperti apa. Banyak guru juga masih  kesulitan bagaimana memodifikasi kurikulum, menentukan bagaimana model penilaian yang akan digunakan dan cara mengajar bagi anak berkebutuhan khusus yang bersekolah di sekolah inklusi. Di SKGB 18 saya menceritakan tentang bagaimana saya menghandle siswa ADHD di kelas inklusi. Dia berusia 3 tahun pada saat itu sangat aktif sekali. Setiap hari ada kejadian temannya yang tertarik, terdorong dan tertendang. Saya mempelajari pola siswa saya. Dengan mengidentifikasi permasalahan siswa saya terlebih dahulu, merancang program, melibatkan orang tua untuk program dirumah, dan monitoring di tiap tengah semester. Prosesnya cukup panjang. Hampir satu tahun, saya juga mencari taktik untuk meyakinkan orang tua. Dikarenakan siswa saya anak tunggal, jadi perilaku tersebut tidak muncul di rumah. Munculnya ketika di sekolah. Hasilnya memang tidak instant, perlu proses. Saya juga berusaha mengkondisikan teman-temannya agar selalu berfikiran positif pada siswa dampingan saya. Orang tua cukup kooperatif jadi dari rekomendasi yang saya berikan dillakukan. Nah ini tugas dasar dari seorang guru :1. Memperoleh kerja sama dengan siswa 2. Mencapai keteraturan dengan melakukan kerja sama dengan siswa dan memeliharanya dalam kegiatan pembelajaran 3. Tidak sekedar menangani “perilaku mengganggu” secara efektif, namun juga : – Membuat tuntutan perilaku dan akademis yang sesuai dengan siswa– Memberikan petunjuk yang jelas bagi siswa – Memperlancar peralihan pelajaran – Memprediksikan permasalahan dan mencegahnya – Memilihkan & mengurutkan kegiatan sehingga tercapai keteraturan & kelancaran belajar, dll  4. Kegiatan berbeda membutuhkan keterampilan pengelolaan kelas yang berbeda DISKUSIBu Rodliyah : Di kelas saya ( kelas 1 SD), ada 20 anak dengan 1 anak berkebutuhan khusus ( dulu diagnosanya autis). Saya ingin tanya bagaimana perencanaan kegiatan pada ABK, apakah ada rencana B dan C, mengingat apa yang kita rencanakan ternyata anak tersebut belum siap  mengikuti kegiatan? Mengingat juga kebutuhan yang berbeda, seringnya bentuk kegiatan juga berbeda dari mayoritas anak2 di kelas, meski beberapa kali juga terlihat bisa bergabung Narasumber : Dalam memberikan materi pembelajaran ke anak ABK kita perlu melihat usia mental anak. Jika anak kelas 1 dengan usia 7 tahun, tetapi kemampuannya seperti anak usia 5 tahun berarti kita menyiapkan materi sesuai dengan anak usia 5 tahun. Kita merencanakan program sesuai dengan apa yang dibutuhkan oleh anak. Misalnya anak sudah bagus di berbahasa tetapi kemandirian, berhitung dan sosial masih kurang baik. Maka kita harus buat program untuk berhitung, kemadirian dan sosial. Bu Rodliyah : Menurut bapak, apakah dalam kelas itu, memungkinkan kegiatan ABK butuh pendampingan khusus? Sebenarnya dari saya, perencanaan pembelajaran ABK belum begitu optimal, tapi kami juga mempertimbangkan usia tahap perkembangannya pak. Narasumber : Tidak semua ABK perlu didampingi. Kita melihat kondisi dan karakteristik siswa. Jika anak memiliki perilaku yang masih tiba-tiba marah dan bisa melukai teman-teman lainnya maka dia perlu didampingi. Tetapi jika siswa tersebut memiliki masalah akademik, kita lihat yang perlu pendampingan di mata pelajaran apa. Bu Rodliyah : Memang observasi anak itu penting untuk merencanakan programnya hingga tercapai tujuan dan tahapan perkembangan. Terima kasih banyak, pak Bu Khoridah : Di kelas kami ada ABK. Sudah ada program yg didiskusikan bersama orangtua, tapi kami merasa program tersebut sulit tercapai karena seakan-akan hampir tidak ada effort dari si anak. Dan pernah kami berkunjung ke rumahnya, ternyata program yang sudah disepakati bersama itu kurang diindahkan oleh pihak keluarga di rumah. Dari situ kami berpikir, mungkin karena program sekolah dan rumah ini tidak berjalan beriringan jadi sulit perkembangannya. Bagaimana kami sebagai guru menyikapi ini pak? 🙏🏼 Narasumber : Orang tua memang terkadang kurang kooperatif. Membebankan kepada guru pembelajaran anak-anaknya. Nah, untuk menyiasati seperti ini, saya biasanya membuat checklist tugas untuk di rumah dan mana yang di sekolah. Dari checklist tersebut kita dapat mengevaluasi kenapa perkembangan anak stagnan. Jika dari checklist ternyata pihak ortu yang tidak melakukan dengan baik, kita bisa merefleksikan. Mengundang orang tua  ke sekolah, apa kesulitan yang di hadapi di rumah. Bu Lia : Terimakasih atas kesempatan berharga sore ini. Menarik sekali materi sore ini tentang keragaman. Sungguh indah sekali apabila kita bisa memahami keragaman yang ada di kelas. Di kelas saya ada 2 anak ABK (sama-sama linguistiknya yang masih perlu ditingkatkan) apabila diajak berbicara keduanya sudah memahaminya. Dari keseharian bersama mereka saya … Read more

Di Jalan Sepi, tapi Selalu Ada Teman

“Kulakukan itu dalam waktu berbulan-bulan, mondar-mandir kesana-kemari cari informasi dan partisipasi dari banyak orang yang kiranya memiliki kepedulian kepada kaum difabel. Saat itu, aku hampir saja putus asa. Karena kegiatan itu sedikit banyak memakan jadwal kuliahku. Ditambah lagi tidak banyak orang yang ternyata sulit untuk bekerjasama denganku. Bahkan sebagian memberi syarat yang bagiku berat agar aku bisa mendirikan organisasi difabel.” tulis Cindy Ayu Anggraini, mahasiswa tuna rungu di Universitas  Negeri Sebelas Maret Surakarta​ (UNS), Jurusan Pendidikan Luar Biasa (PLB) dalam esai yang ia tulis. Tulisan Cindy mengenai perjuangannya mengaktifkan kembali Gerakan Peduli Indonesia Inklusi (GAPAI) di UNS berhasil menyentuh banyak orang. GAPAI yang ia aktifkan kembali adalah sebuah komunitas mahasiswa yang membantu, memantau, mengidentifikasi mahasiswa difabel di UNS. Misalnya ada mahasiswa difabel yang kesulitan dalam membaca, relawan GAPAI yang akan membantunya dalam membaca. Di jalan yang sepi, UNS terus berjalan untuk pendidikan untuk semua. Selain mendirikan  Pusat Layanan Difabel (PLD) yang kemudian mendirikan Gerakan Peduli Indonesia Inklusi (GAPAI), kiprah UNS dalam mewujudkan pendidikan inklusi tidak main-main. Setiap mahasiswa di  Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan (FKIP) mendapatkan 2 SKS mata kuliah pendidikan inklusi. Harapannya calon-calon guru dari UNS memiliki bekal pendidikan inklusi ketika menjadi guru nanti dan menerapkan inklusivitas yang didapatkan saat berkuliah. Keinklusivitasan UNS itulah menjadi salah satu alasan kami untuk menjajaki kerjasama program #PendidikanUntukSemua . Selasa pagi (5/3/2019), tim Kampus Guru Cikal yang diwakili Bukik Setiawan dan Rizqy Rahmat Hani bertandang ke UNS. Memasukki UNS kami disambut oleh pohon yang rindang dan tertata rapi. Melihat kepedulian UNS terhadap lingkungan dan fasilitas, membuat kami langsung jatuh hati. Kami pun memasukki gedung Rektorat lantai 2 untuk bertemu Rektor UNS, Prof Dr Ravik Karsidi MS. Selain bertemu rektor, dalam audiensi tersebut ada pula Dr. Munawir Yusuf, M.Psi. selaku Wakil Dekan Bidang Akademik Fakultas Ilmu Kependidikan dan Asri mewakili Drs. Subagya, MSi (Ketua Pusat Layanan Difabel) yang berhalangan hadir. Bukik Setiawan selaku Ketua Kampus Guru Cikal menyampaikan tujuan kedatanganya ke UNS, bahwa ingin mengajak UNS berkolaborasi. Harapannya dengan kiprah UNS di pendidikan inklusi selama ini bisa memfasilitasi murid-murid disabilitas yang kami seleksi dalam Program Pengembangan Murid Disabilitas. Program Pengembangan Murid Disabilitas disambut baik, Dr. Munawir Yusuf, M.Psi. menceritakan tantangan yang UNS hadapi selama ini dalam menjalankan pendidikan inklusi salah satunya adalah seleksi calon mahasiswa. Selama ini ujian masuk mahasiswa difabel ke UNS bersamaan dengan jalur umum, baik melalui SMPTN, SBMPTN dan UM, tidak ada jalur khusus. Setelah melewati ujian tersebut, kemudian calon mahasiswa difabel diwawancara untuk bisa lolos menjadi mahasiswa UNS. Namun menurut Munawir hal tersebut kurang efektif, karena ada beberapa kasus mahasiswa difabel di tahun ketiganya tidak mau kuliah. Program yang ditawarkan Kampus Guru Cikal disambut baik, seperti jembatan murid difabel dan kampus. “Saya mengapresiasi program ini, program ini seperti jembatan murid difabel dan kampus yang menyediakan layanan pendidikan tinggi. Calon mahasiswa sudah dilatih, lalu diseleksi oleh Kampus Guru Cikal dan  siap belajar di perguruan tinggi” tutur Munawir Di jalan yang sepi, tapi selalu ada teman …

Menemukan Teman Seperjalanan di Jalan Sepi #PendidikanUntukSemua

Hamzah (32 tahun) seorang tuna netra dari Makassar, mengatakan ia sering menerima komentar negatif dari para guru yang mengeluhkan kinerjanya di kelas tetapi ia tidak pernah mendapatkan dukungan atau materi yang disesuaikan untuk membantu dirinya untuk terlibat. Meskipun kurangnya dorongan dari gurunya, Hamzah bersikeras untuk mengejar pendidikan tinggi seperti teman-temannya yang tidak cacat, dan bermimpi menjadi guru di sebuah sekolah Islam. Tetapi Hamzah ditolak pada tahun 2003 oleh fakultas pendidikan (tarbiyah) di Alauddin UIN. Dia diberi tahu bahwa orang buta tidak bisa menjadi guru dan institut itu tidak bisa menampungnya. Dia akhirnya diterima ke departemen sastra Inggris di UNM. Sosok Hamzah yang dituliskan oleh Dina Afrianty, peneliti La Trobe University, Australia dalam artikel berjudul “People with Disability: Locked out of Learning?” adalah salah satu contoh berhasil seorang disabilitas bisa mengenyam pendidikan tinggi. Namun masih banyak pekerjaan rumah berkait dengan akses masuk perguruan tinggi bagi murid disabilitas. “Usaha-usaha memang sudah dimulai, tapi di seluruh Indonesia belum banyak. Hanya beberapa perguruan tinggi yang mampu menyediakan fasilitas yang memudahkan civitas academica dalam belajar dan mencapai semua tempat dengan menjaga keselamatannya,” kata Staf Ahli Menteri Riset, Teknologi dan Pendidikan Tinggi (Menristek Dikti) bidang Akademik, Paulina Pannen. Itulah salah satu alasan program #PendidikanUntukSemua dijalankan, memberikan akses perguruan tinggi kepada murid-murid penyandang disabilitas. Tantanganya adalah mencari perguruan tinggi yang sudah menjalankan pendidikan inklusi. Selasa (19/2/2019) Kampus Guru Cikal mulai melakukan audiensi dengan berbagai perguruan tinggi di Jawa Tengah dan Yogyakarta. Audiensi ini bertujuan untuk mempelajari, sejauh mana perguruan tinggi tersebut peduli dengan mahasiswa penyandang disabilitas. Perguruan tinggi yang menjadi kunjungan awal oleh tim Kampus Guru Cikal adalah UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. Pemilihan UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta karena perguruan tinggi tersebut yang menjadi pelopor perguruan tinggi yang memfasilitasi penyandang disabilitas sejak tahun 2007. Dalam audiensi tersebut tim Kampus Guru Cikal diwakili oleh Bukik Setiawan selaku ketua Kampus Guru Cikal dan Rizqy Rahmat Hani selaku ketua program #PendidikanUntukSemua . Audiensi dilakukan di gedung PAU lantai 2 UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta. Kami disambut dengan hangat oleh bapak Waryono, selaku wakil rektor bidang kerjasama UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta dan Arif Maftuhin selaku ketua Pusat Layanan Difabel (PLD) UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. Keseriusan UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta dalam menjalankan pendidikan inklusi di perguruan tinggi tidak main-main. Pusat Layanan Difabel menjadi tonggak dalam memperjuangkan pendidikan inklusi. “Mahasiswa difabel belajar bersama mahasiswa lainnya, tidak ada kelas khusus, tidak ada program khusus bagi mereka. Tugas Pusat Layanan Difabel adalah memastikan bahwa proses mereka dalam kegiatan belajar mengajar dan kegiatan akademik yang lain itu dapat terlibat secara penuh.  Misalnya kalau ada mahasiswa tuli, kita mengirimkan pendamping, baik berupa no taker maupun juru bahasa isyarat. Misalnya ada mahasiswa tuna netra, kita memfasilitasi mereka untuk mengakses materi-materi kuliah dengan proses digitalisasi. Kita mencoba agar proses menjadi inklusif itu bisa benar-benar dirasakan oleh mahasiswa yang belajar di UIN SUKA.” kata Arif Maftuhin. Dalam audiensi tersebut Kampus Guru Cikal juga menjajaki kemungkinan kerjasama untuk program #PendidikanUntukSemua dengan memberikan beasiswa NusantaRun Enam kepada murid penyandang disabilitas potensional. Gayung bersambut, PLD juga mengakomodir beasiswa untuk mahasiswa penyandang disabilitas. Namun selama ini mengalami kendala, sedikit yang mengikuti seleksi tersebut. “Kami sudah lama membuka pendaftaran mahasiswa difabel, bahkan sudah ada jalur khusus dan berbeasiswa, tapi justru yang daftar tidak banyak. Ada kuota 15, pendaftar maksimal 20” ujar Waryono. Hal tersebut dikarenakan orangtua yang masih merasa takut dan tidak percaya bahwa anaknya mampu melanjutkan ke perguruan tinggi. Tantangan ini terjawab oleh program #PendidikanUntukSemua yang menyiapkan guru, orangtua dan murid penyandang disabilitas untuk siap melanjutkan ke perguruan tinggi. “Jadi yang lebih penting sebenarnya adalah adaptasi kelas itu terhadap difabel, bukan pada prasarana fisik atau apa yang mungkin jika disiapkan belum tentu digunakan.” ujar Arif mengakhiri sesi audiensi siang itu. Apa yang UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta perjuangkan selama ini sesuai dengan program #PendidikanUntukSemua Kampus Guru Cikal, pertemuan ini seperti menemukan teman seperjalanan di jalan sepi #PendidikanUntukSemua.

Merayakan Kebaikan

“Menyenangkan hatiMenempati lazuardi, melintasiAnganku cemerlangBerhiasakan warna-warna..” Lirik lagu berjudul Warna-Warna yang dinyanyikan Andien menjadi pamungkas yang tepat untuk acara Rayakan Kebaikan. Dengan berbagai warna-warna kostum bertema pantai, para pelari, media, pihak yang terlibat dalam penggalangan dan penyaluran dana berkumpul di ONBC NISP Tower, Kuningan Jakarta Selatan pada Sabtu, 9 Februari 2019 untuk merayakan kebaikkan. Acara ini diadakan dalam rangka penyerahan donasi kepada Kampus Guru Cikal yang dipercaya untuk merancang dan melaksanakan program Pengembangan Murid Disabilitas di Jawa Tengah dan DIY. Seperti nama acaranya Rayakan Kebaikkan, runtutan acara pun memperlihatkan kebaikan-kebaikkan yang ada dalam proses penggalangan dana oleh para pelari. Cerita pak Rahmat salah satu pelari tertua yang berhasil menyelesaikan 169 Km, cerita para relawan yang dengan sigap membantu para pelari, cerita media tentang event ini, cerita Jurian Andika dan Cristopher Tobing sebagai founder NusantaRun tentang awal mula mereka melakukan ini, cerita Syn film mengapa mereka mau berkontribusi dalam event ini, cerita yayasan IOA tentang apa yang mereka lakukan dalam program sebelumnya, cerita Kampus Guru Cikal tentang program yang akan dilakukan dan cerita Andien melalui lagu Warna-Warna yang menyiratkan bahwa kontribusi dari berbagai warna akan disalurkan kepada murid-murid disabilitas dengan berbagai warna. Dana yang terkumpul dari penggalangan dana pelari sebesar Rp 2.650.073.357. Dana tersebut akan digunakan oleh Kampus Guru Cikal untuk program Pengembangan Murid Disabilitas di Jawa Tengah dan Yogyakarta. Program ini dilakukan karena hanya 54,26% penyandang disabilitas yang berpendidikan SD ke atas, bandingkan dengan non disabilitas yang mencapai angka 87,31%.  Selain itu penyandang disabilitas yang berpartisipasi dalam pasar kerja hanya 51,2 %, bandingkan dengan non disabilitas yang mencapai 70,40%. Beberapa penyebab mengapa ada angka-angka tersebut salah satunya karena faktor persepsi keluarga, guru dan masyarakat yang menjadi hambatan utama bagi penyandang disabilitas untuk mendapatkan akses pendidikan dan pekerjaan. Faktor lain: perlakuan diskriminatif, sarana dan prasarana yang tidak menunjang. Oleh karena itu dalam program ini, Kampus Guru Cikal tidak sekadar fokus kepada murid penyandang disabilitasnya, namun sistem pendukungnya juga akan menjadi fokus program ini. Guru, orangtua, lingkungan sekolah, perguruan tinggi akan menjadi fokus program Pengembangan Murid Disabilitas Jawa Tengah dan Yogyakarta. Harapan dari program ini antara lain : Adanya kesadaran sekolah, guru dan orangtua untuk memberikan dukungan bagi anak penyandang disabilitas Adanya guru bimbingan karier yang bisa mengarahkan dan memberi dukungan bagi anak penyandang disabilitas Adanya komunitas guru belajar bimbingan karier sebagai sistem dukungan bagi anak penyandang disabilitas Pengembangan diri dan penyediaan beasiswa pendidikan tinggi bagi murid penyandang disabilitas. Adanya kerjasama dengan perguruan tinggi yang bersedia menerima dan mendukung murid penyandang disabilitas Tongkat estafet yang diberikan oleh para pelari ini masih panjang perjalanannya, ada banyak tantangan di depan dalam menjalankan program ini. Namun kebaikan teman-teman akan menjadi semangat bagi Kampus Guru Cikal.

Berlari dan Berkontribusi untuk Pendidikan Murid Disabilitas

“Saya tidak pernah absen menjadi pelari sekaligus fundriser NusantaRun sejak chapter pertama. Awalnya saya pikir kaki saya bisa copot setelah mengikuti NusantaRun yang menempuh puluhan bahkan ratusan kilometer.”, Sandy, salah satu pelari NusantaRun chapter 6 bercerita tentang pengalamanya berlari di NusantaRun. NusantaRun Chapter 6 adalah perhelatan tahunan yang mengusung ultra marathon for charity. Bukan sekadar event lari, namun juga wujud nyata pelari dalam berkontribusi untuk pendidikan di Indonesia. “Jika para pelari ingin berlari, banyak event yang bisa diikuti. Kalau pelari mau ikut event lari sekaligus bisa berkontribusi, bisa melakukannya di NusantaRun” ujar Chirtopher Tobing, co-founder NusantaRun. Dalam event lari NunsantaRun selain berlari, para pelari tidak hanya berlari puluhan kilometer. Namun juga menggalang donasi. Untuk chapter 6 ini penggalangan donasi dimulai sejak 24 Agustus 2018 dan akan berakhir 11 januari 2019. Adapun target yang ingin dicapai NusantaRun adalah sebesar 2,5 milyar. Donasi tersebut akan digunakan untuk program Pengembangan Pendidikan Murid Penyandang Disabilitas di Jawa Tengah dan Daerah Istimewa Yogyakarta yang bekerjasama dengan Kampus Guru Cikal. Berdasarkan riset potret pendidikan  inklusi di dua provinsi tersebut sudah ada arah untuk mengembangkan pendidikan inklusi, ini terlihat dari kebijakan dan pertaturan yang dikeluarkan oleh pemerintah daerah. Namun di lapangan, implementasi kebijakan tersebut masih jauh dari harapan. “Melalui program tersebut kami berharap ada contoh nyata keberhasilan pendidikan inklusi yang dapat meyakinkan orangtua, guru, dan masyarakat luas mengenai potensi murid penyandang disabilitas”, ujar Najelaa Shihab, pendiri Kampus Guru Cikal Najelaa Shihab menyebut bahwa ada tiga pilar utama untuk program yang akan dijalankan yaitu : 1) menyiapkan guru bimbingan karier yang bisa mengarahkan dan memberi dukungan bagi anak penyandang disabilitas, 2) pengembangan Komunitas Komunitas Guru Belajar Bimbingan Karier sebagai sistim dukungan bagi murid penyandang disabilitas, dan 3) pengembangan diri dan penyediaan beasiswa pendidikan tinggi bagi murid penyandang disabilitas. Pada chapter 6 ini akan dilaksanakan dari tanggal 7 Desember hingga 9 Desember 2018. Ada dua kategori yang akan ditempuh pelari, yaitu half course (86 km) dan full course (169 km) yang akan berjuang menuju garis finish di Pantai Sepanjang, Gunung Kidul, Daerah Istimewa Yogyakarta. Walaupun menuju garis finish yang sama, namun kedua kategori tersebut memulai lari dari garis start yang berbeda. Pelari kategori full course akan mulai berlari di garis start yang berada di Kledung Pass Hotel, Wonosobo, Jawa Tengah dan pelari half course akan mulai berlari di garis start yang berada di Kantor Kepala Desa Karangwuni, Wates, Daerah Istimewa Yogyakarta. “Untuk  chapter 6 ini saya sudah menyiapkannya dari bulan Januari tahun ini. Mulai darilatihan 5 km, 10 km dan juga mengikuti beberapa race.” Ujar Irene peserta lariNusantaRun 6 ini yang tidak pernah melewatkan ajang lari ini. Kolaborasi dari berbagai pihak dalam mendorong kemajuan pendidikan bagi penyandang disablitias menjadi semangat yang ingin disebarkan NusantaRun tahun ini. “Kami meyakini bahwa siapapun dapat berkontribusi memajukan pendidikan Indonesia. Dengan semangat power of contribution serta fokus terhadap isu pendidikan bagi penyandang disabilitas, kami berharap dapat membuka mata banyak orang bahwa sejatinya pendidikan harus dapat diakses oleh siapapun tanpa terkecuali.’ Kata Cristopher. “Benar, bahwa kolaborasi antarpihak yang dilakukan oleh NusantaRun ini penting. Karena pendidikan bukan sekedar urusan guru dan murid yang berkecimpung langsung di masyarakat, namun juga urusan bersama” ujar Najelaa Shihab.