Pasar Praktik Baik itu Bernama Kelas Kemerdekaan

Mana yang lebih seru? Belanja di pasar tradisional atau di supermarket modern? Anda termasuk tim mana? Kalau tim pasar tradisional dan tim supermarket modern berjumpa, bisa berdebat berhari-hari membahas mana yang lebih seru. Pasar tradisional maupun supermarket modern mempunyai kelebihannya sendiri. Pasar tradisional lebih kaya dengan interaksi, bisa bercakap-cakap dengan beragam orang, ada beragam barang termasuk yang tidak diduga, kualitas barang tidak terstandar dan kondisi pasar biasanya becek atau tidak terlalu nyaman. Supermarket modern lebih nyaman dikunjungi, bersih dan dingin, persediaan barang terencana, kualitas barang terstandar, suasanya lebih tenang, dan tanpa atau sedikit percakapan yang terjadi. Bila sudah jelas barang yang dibutuhkan, dan waktunya terbatas, bisa jadi supermarket modern adalah pilihan terbaik. Bila ada waktu, butuh interaksi dan mencari barang yang otentik, bisa jadi pasar tradisional adalah pilihan terbaik. Apa hubungannya dengan kelas kemerdekaan? Sabar 🙂 Dalam ekosistem guru lebih dikenal kegiatan pengembangan guru yang karakteristiknya mirip supermarket modern. Topik direncanakan, kualitas terstandar, pelaksanaan di ruang yang nyaman, dan suasananya cenderung tenang. Karakteristik yang penting untuk proses pengembangan kompetensi guru yang terstruktur. Kita butuh tapi tidak boleh tergantung pada pembelajaran kompetensi yang terstruktur sebagai satu-satunya mode pengembangan kompetensi guru. Karena proses yang mirip pasar modern tersebut tidak memadai untuk menjawab dinamika kebutuhan di lapangan. Semakin banyak tantangan, semakin butuh beragam solusi yang praktis. Moda pengembangan kompetensi guru yang mirip dengan karakteristik pasar tradisional menawarkan sudut pandang baru. Lebih banyak percakapan reflektif, berjumpa lebih banyak orang, dan lebih besar kemungkinan menemukan praktik yang otentik. Pada Temu Pendidik Nusantara, moda pertama disebut sebagai Kelas Kompetensi dan moda kedua disebut Kelas Kemerdekaan. Mana yang lebih seru? Keduanya 🙂 Baca Juga: Merdeka Belajar Bukan Jargon Kelas Kemerdekaan diisi beragam pembicara mulai dari guru yang baru mengajar dua tahun hingga guru dan ahli yang sudah berpengalaman. Seperti pasar tradisional, Kelas Kemerdekaan lebih chaos, beragam dan lebih banyak diwarnai antusiasme para pembicara baru. Dalam hal antusiasme, tidak ada yang mengalahkan amatir. Kelas Kemerdekaan menjadi langkah pertama bagi guru mana pun melakukan rintisan. Bisa rintisan dalam berkarier, bisa rintisan mengenalkan praktik baik pembelajaran atau kepemimpinan yang baru diterapkan. Pengembangan praktik baik tidak bisa langsung lengkap dan sempurna tapi melalui upaya mencoba, membagikan, mendapatkan umpan balik dan melakukan perbaikan penerapan selanjutnya. Siapa yang bisa mengisi Kelas Kemerdekaan? Semua guru yang telah mengajar setidaknya 1 tahun. Mengapa? Dalam 1 tahun, semua guru pasti mengalami banyak tantangan. Dari sejumlah tantangan tersebut, pasti ada tantangan yang berhasil diselesaikan. Pengalaman mengatasi tantangan tersebut layak dibagikan di kelas kemerdekaan. Apa manfaat Kelas Kemerdekaan? Pada kelas konversi kemerdekaan sebenarnya sedang terjadi proses konversi dari pengetahuan tacit (tacit knowledge) yang dipraktikkan sehari-hari menjadi pengetahuan eksplisit yang dibagikan pada guru yang lain. Dengan melakukan konversi tersebut, guru yang menjadi narasumber Kelas Kemerdekaan menjadi berkembang kompetensinya pada level yang lebih kompleksi dibandingkan pengembangan kompetensi sebagai peserta pelatihan. Apa pentingnya pemimpin sekolah/madrasah memotivasi gurunya mengisi Kelas Kemerdekaan? Riset yang dilakukan oleh Pusat Studi Pendidikan dan Kebijakan (PSPK) menunjukkan bahwa kompetensi literasi murid yang diajar oleh guru yang berbagi praktik baik pembelajaran di Kelas Kemerdekaan hingga level Temu Pendidik Nusantara LEBIH TINGGI dibandingkan murid yang gurunya tidak berbagi praktik baik pembelajaran. Kesimpulan tersebut terjadi baik di Kota Batu yang perkotaan maupun Kabupaten Probolinggo yang pedesaan. (Baca di Kilas 22 dan Kilas 23) Jadi, bila Anda seorang pemimpin sekolah/madrasah yang ingin meningkatkan kompetensi literasi murid, maka salah satu langkah yang bisa dilakukan adalah memfasilitasi guru berbagi praktik baik pembelajaran dengan format Kelas Kemerdekaan di level sekolah, level kecamatan, level daerah hingga level Temu Pendidik Nusantara. Lebih optimal lagi, bila mekanismenya diintegrasikan dengan manajemen kinerja sekolah. (Mari kita diskusikan lebih lanjut) Kembali ke pasar tradisional 🙂 Kelas Kemerdekaan prosesnya lebih egaliter sebagaimana di pasar tradisional. Di Kelas Kemerdekaan, tidak ada ahli yang super bisa. Semuanya dianggap setara karena itu dihindarkan tanya jawab ke narasumber. Pertanyaan yang ada adalah pertanyaan reflektif yang dijawab oleh semua orang, pembicara maupun peserta. Tapi sebagaimana pasar tradisional, proses di Kelas Kemerdekaan lebih chaos, setidaknya jauh dari tertata. Ada pembicara yang mungkin masih mengalami kebingungan sehingga kurang fokus dan bahkan melenceng pembahasannya. Ada pembicara yang belum bisa memahami pentingnya kenyamanan peserta dalam belajar. Dua keluhan yang disampaikan seorang guru kepada saya mengenai proses Kelas Kemerdekaan di Temu Pendidik Nusantara ke-7. Tapi begitulah pasar tradisional, meski ramai, meski becek, meski chaos, tapi orang tetap berkunjung. Begitu pula di Kelas Kemerdekaan, peserta hadir untuk untuk berjumpa rekan seperjuangan, untuk melakukan percakapan bermakna, dan untuk menemukan solusi-solusi yang di luar dugaan. Apabila pada sebuah Kelas Kemerdekaan tidak menemukan solusi yang dicari, bergeser lah pada Kelas Kemerdekaan yang lain. Ada ratusan pilihan Kelas Kemerdekaan, sebagaimana ratusan lapak di pasar tradisional. Ayo merdeka belajar mulai dari Kelas Kemerdekaan 🙂 Tulisan ini adalah refleksi dari pelaksanaan Temu Pendidik Nusantara ke-7.

Petikan Pelajaran Kolaborasi Literasi Bermakna

Setahun sudah kami bersama menjalankan program Kolaborasi Bermakna. Ada banyak kegiatan, tapi lebih banyak lagi pelajaran. Setiap anggota tim dan peserta program mempunyai banyak pemaknaan personal yang beragam terhadap perjalanan ini. Kami mencoba merangkum petikan pelajaran yang didapatkan dari program Kolaborasi Literasi Bermakna. Pelajaran yang akan kami bawa dalam program yang lain, dan menurut kami penting juga dipelajari oleh penggiat pendidikan di seluruh penjuru negeri. Dari Sendiri Menuju Kolaborasi  Tantangan pertama dan utama dari Kolaborasi Literasi Bermakna adalah mengubah pola kerja dari yang biasanya asyik sendiri menjadi seru berkolaborasi. Kolaborasi itu indah diucapkan. Begitu mudah disampaikan dalam pidato-pidato, tapi kenyataannya begitu menantang.  Kolaborasi Literasi Bermakna digawangi empat organisasi yang mempunyai bidang fokus yang berbeda. Kampus Guru Cikal yang menangani guru. Keluarga Kita yang menangani orangtua. Pusat Studi Pendidikan dan Kebijakan yang menangani riset dan advokasi kebijakan. Inibudi yang menangani pembuatan konten belajar. Masing-masing organisasi mempunyai keahlian tersendiri. Setiap organisasi melayani segmen dengan agendanya sendiri. Melalui program Kolaborasi Literasi Bermakna, kami belajar mensinergikan agenda dan prioritas sekaligus membangun relasi saling percaya. Banyak gesekan dan perdebatan untuk menentukan pilihan yang bisa mengakomodasi semua. Pelajaran penting yang kami dapatkan adalah berpihak kepada anak. Menjadikan kepentingan anak sebagai kriteria untuk mengambil keputusan. Bila antar-organisasi sulit mengalah, tapi ketika berpihak kepada anak menjadi kriteria, maka organisasi bisa lebih melonggarkan agenda dan menerima kesepakatan.  Kolaborasi Literasi Bermakna bisa berjalan jauh dan mengerjakan banyak kegiatan semata-mata karena mengedepankan kepentingan anak. Cita-cita menyaksikan anak-anak Batu dan Probolinggo bisa belajar karena cinta, bukan karena terpaksa. Bila ada perbedaan, pemersatunya adalah anak.  Dari Penunjukan Menuju Partisipasi  Pada sebagian besar program, keterlibatan orangtua dan guru sering kali ditentukan melalui jalur penunjukan. Dinas Pendidikan menunjuk kepala sekolah. Kepala sekolah menunjuk guru dan orangtua untuk mengikuti program. Kebanyakan guru dan orangtua akan terlibat program karena takut melanggar penunjukan tersebut. Takut mendapat sanksi.  Kampus Guru Cikal dan Keluarga Kita punya pengalaman berbeda. Jalur penunjukan memang membuat orang terlibat program, tetapi bukan karena kesadaran sendiri, sering kali karena terpaksa. Oleh karena itu, kami mencoba jalur partisipasi dalam melibatkan guru dan orangtua dalam program pengembangan. Kami percaya bahwa guru dan orangtua yang berniat belajar pasti mencari cara agar bisa mendapat kesempatan belajar. Dalam lima tahun, kami membangun komunitas guru dan orangtua berdasarkan prinsip partisipasi dan kerelawanan dengan segala dinamikanya.  Pada Kolaborasi Literasi Bermakna, keyakinan tersebut kami praktikkan dalam sebuah program yang terukur dan terencana secara ketat. Sebuah pilihan yang mengandung risiko tentunya. Apakah dengan kesibukan orangtua dan guru mau meluangkan waktu terlibat dalam program yang tanpa memberi imbalan apa-apa? Bagaimana kalau yang awalnya sukarela mengikuti program kemudian punya kesibukan lain? Apakah guru dan orangtua yang menjadi peserta program akan menjalankannya dengan sungguh-sungguh? Berdasarkan bukti dari pengalaman sebelumnya, kami memilih untuk mengambil risiko dari jalan partisipasi.  Setelah membereskan hati sendiri, langkah kami berikutnya adalah meyakinkan pemangku kepentingan dari program Kolaborasi Literasi Bermakna. Tidak mudah karena pemangku kepentingan punya pengalaman yang berbeda. Tidak percaya bahwa ada guru dan orangtua yang sukarela mau belajar. ‘Dipaksa saja susah, kok, diminta sukarela,’ mungkin itu pikiran yang terlintas. Namun, setelah dengan sejumlah argumentasi dan cerita pengalaman kami sebelumnya, jalur partisipasi diterima dengan sejumlah catatan. Di akhir program Kolaborasi Literasi Bermakna, kami sungguh bahagia bisa menunjukkan bahwa guru dan orangtua belajar banyak dengan semangat sukarela, bukan dipaksa. Dari Hadiah dan Hukuman Menuju Kesempatan dan Dukungan Keterlibatan dalam program yang berdurasi satu tahun tidaklah mudah. Menjaga konsentrasi dalam hitungan menit saja susah. Karena itu, pengelola program mempunyai sejumlah strategi untuk memotivasi peserta program terlibat secara penuh mulai dari awal hingga akhir. Meski ada banyak strategi, secara umum kesemuanya berdasarkan prinsip hadiah dan hukuman. Hadiah untuk yang menunjukkan perilaku baik, hukuman bagi yang menyimpang.  Tantangan bagi Kolaborasi Literasi Bermakna adalah menemukan strategi yang tidak menggunakan prinsip hadiah dan hukuman yang biasa dipakai. Pelibatan dalam program dimulai dari partisipasi, kesadaran dari dalam diri, tentu kami butuh mencari strategi memotivasi yang selaras.  Tantangan terbesar bukan mencari strategi memotivasi yang tepat, tetapi pengelolaan diri dari keseluruhan kami, seluruh anggota tim Kolaborasi Literasi Bermakna, baik yang bertugas di Jakarta maupun daerah. Sering kali yang terjadi adalah khawatir gagal yang berlebihan. Semua pengelola program pasti ingin berhasil mencapai target. Keinginan yang wajar, tetapi bila berlebihan akan menggoda kami menggunakan strategi memotivasi berdasarkan hadiah dan hukuman.  Bersikap empati terhadap orangtua dan guru yang menjadi peserta program membantu kami keluar dari tekanan menggunakan hadiah dan hukuman. Kami menempatkan diri menjadi peserta program dan berpikir apa yang kami butuhkan untuk berubah lebih baik. Lahir kesadaran bahwa peserta program lebih butuh kesempatan dan dukungan untuk berubah. Kesempatan berbagi praktik baik, kesempatan untuk unjuk diri, dukungan berupa umpan balik, pengakuan terhadap apa yang sudah baik dan koreksi mana yang perlu diperbaiki. Kesadaran yang membuat kami melakukan tambahan kegiatan berupa pendampingan sesuai kebutuhan guru dan orangtua. Dari Penyeragaman Menuju Berjenjang  Dalam program yang terukur dan direncanakan secara ketat, sering kali fokus pengelola program adalah pada pelaksanaan kegiatan dan pencapaian target. Program yang sudah direncanakan sejak awal dilaksanakan sebagaimana pakemnya. Persoalannya kemudian, apakah yang sudah direncanakan di awal sesuai dengan tantangan di lapangan dan kebutuhan peserta program?  Kolaborasi Literasi Bermakna sedari awal sebenarnya sudah melakukan sejumlah kegiatan untuk memahami tantangan di lapangan dan kebutuhan peserta program. Pemahaman yang kami gunakan untuk melakukan penyesuaian rancangan program agar lebih efektif. Namun, pemahaman awal pun ternyata masih belum cukup kaya dibandingkan dengan pemahaman yang didapatkan selama pelaksanaan program. Intensitas interaksi dan percakapan bermakna menghasilkan pemahaman baru yang lebih luas. Jangankan antar-personel, kemajuan program antar-daerah pun tidak sama. Pelaksanaan program Kolaborasi Literasi Bermakna yang berawal dari pendekatan yang seragam pada perjalanannya disesuaikan. Penyesuaian strategi menjadi lebih personalisasi pada tujuan, cara, dan alat bantu refleksi. Peserta program yang lebih dahulu menguasai sasaran program mendapat kesempatan lebih luas. Sementara, peserta program yang butuh waktu tambahan mendapat dukungan sesuai kebutuhan mereka untuk berkembang.  Dengan memfasilitasi proses refleksi, kami mengajak orangtua dan guru memahami kemampuan dan kecepatan belajarnya. Jadi, bukan kami yang menentukan kebutuhan belajar, tapi peserta program sendiri yang melakukan penilaian diri untuk menyusun agenda belajarnya. Partisipasi bukan hanya saat pelibatan awal, tapi juga hingga menentukan intensitas belajar. Dari Berbasis Sekolah Menuju Berbasis … Read more

Merdeka Belajar Bukan Jargon

Merdeka Belajar tiba-tiba jadi populer setelah disebutkan oleh Menteri Nadiem Makarim. Apa sebenarnya merdeka belajar itu? Apakah jargon baru dari Mas Menteri? Kisah Guru Merdeka Belajar Lima tahun yang lalu, saya mendapat tanggung jawab menginisiasi dan mendampingi #KomunitasGuruBelajar. Ada banyak kisah guru penggerak di berbagai daerah. Kisah Bu Wanti salah satunya. Kami dipertemukan oleh media sosial dalam sebuah kesempatan diskusi daring. Bu Wanti adalah guru PNS yang mengajar di SDN 34 Borang, Sanggau, 6 jam perjalanan dari Pontianak. Pada obrolan grup Guru Belajar, beliau mengaku sebagai guru kampung. Guru di sekolah kampung yang fasilitasnya tidak memadai untuk menciptakan proses belajar yang berkualitas. Ada benarnya karena Bu Wanti mengajar di kampung yang pada saat itu belum ada akses listrik dan jaringan telepon, tapi tidak sepenuhnya benar. Setidaknya demikian pendapat anggota grup Guru Belajar pada saat mendengar kisah Bu Wanti. Rekan guru yang lain menunjukkan praktik baik pengajaran berkualitas di daerah lain yang tidak mensyaratkan fasilitas. Praktik baik yang saya ingat adalah ruang kelas raksasa yang ditulis Guru Hesti di Sorowako. Bu Hesti memanfaatkan lingkungan sekolah buat memandu muridnya belajar bahasa sekaligus matematika. Kisah guru belajar yang menginspirasi Bu Wanti untuk melakukan perubahan praktik pengajaran di ruang kelasnya. Hari ini ia masih mengajar di sekolah yang sama, tapi praktik pengajaran yang dilakukan jauh berbeda. Tulisan praktik baiknya diterbitkan di Surat Kabar Guru Belajar, buku Memanusiakan Hubungan dan dipresentasikan di Temu Pendidik Nusantara. Belum ada perubahan fasilitas, belum ada perubahan tempat mengajar, belum ada perubahan beban administrasi guru. Lalu apa yang berubah? Spirit Bu Wanti yang kami sebut sebagai merdeka belajar! Bu Wanti bersama ribuan guru yang lain memilih berpihak pada anak dengan mengusung paradigma merdeka belajar. Mengenal Merdeka Belajar Perhatian publik tertuju pada merdeka belajar ketika konsep tersebut ditulis sebagai tagar di naskah pidato Menteri Pendidikan dan Kebudayaan pada Hari Guru Nasional tahun 2019. Beberapa sebaran di media sosial mengubahnya menjadi merdeka bergerak atau istilah lain, seolah hanya sebuah jargon. Apa sebenarnya merdeka belajar? Spirit kemerdekaan dalam pendidikan Indonesia dicetuskan pertama kali oleh Ki Hadjar Dewantara. “…kemerdekaan hendaknya dikenakan terhadap caranya anak-anak berpikir, yaitu jangan selalu “dipelopori”, atau disuruh mengakui buah pikiran orang lain (1952). Konsep merdeka belajar sebenarnya konsep lama, sudah dikaji baik di luar negeri maupun di Indonesia. Pada waktu lampau, dunia pendidikan termasuk kami di Kampus Guru Cikal mengenalnya sebagai pembelajaran mandiri sebagai terjemahan dari konsep self regulated learning. Namun refleksi kami menemukan bahwa istilah pembelajaran mandiri tidak tepat secara konsep dan diplesetkan secara praktik. Secara konsep, mandiri hanyalah satu dimensi dari 3 dimensi self regulated learning, yang berarti istilah yang menggambarkan secara parsial, tidak utuh. Pada sisi praktik, pembelajaran mandiri yang tidak memadai secara konsep menghasilkan praktik yang tidak berpihak pada anak. Anak dituntut belajar secara mandiri tapi untuk melayani tujuan belajar yang ditetapkan semena-mena oleh guru, sekolah maupun kurikulum nasional. Proses dan hasil belajarnya pun dinilai tanpa melibatkan murid. Jauh dari konsep self regulated learning. Miskonsepsi self regulated learning tersebut harus dipatahkan, baik secara konsep maupun secara praktik. Secara konsep, kami mengkaji ulang konsep Self Regulated Learning dengan mempelajari 3 dimensinya yaitu yaitu komitmen pada tujuan, mandiri pada cara dan refleksi. Pada titik ini, kami bersepakat untuk menggunakan istilah merdeka belajar, sebagai pengganti istilah pembalajaran mandiri. Merdeka belajar menggambarkan 3 hal, (1) menetapkan tujuan belajar sesuai kebutuhan, minat dan aspirasinya, bukan karena didikte pihak lain, (2) menentukan prioritas, cara dan ritme belajar, termasuk beradaptasi dengan cara baru yang lebih efektif; (3) melakukan evaluasi diri untuk menentukan mana tujuan dan cara belajar yang sudah efektif dan mana yang perlu diperbaiki. Merdeka bukan berarti bebas (freedom), tapi kemerdekaan (independence) mengarahkan tujuan, cara dan penilaian belajar. Sebagaimana negara merdeka, guru merdeka belajar berarti menentukan dan mengarahkan nasib dan masa depannya, dalam suatu konteks kehidupan bersama. Penerapan di Ruang Kelas Merdeka belajar di ruang kelas diawali dari diri guru yang merdeka belajar, sadar dan memprioritaskan esensi tujuan pendidikan, fleksibel dalam menentukan strategi belajar dan menjadikan respon murid sebagai bahan untuk berefleksi. Guru yang merdeka belajar akan menjadi penggerak kelas merdeka belajar. Dari lingkup diri disebarkan menjadi lingkup kelas. Murid dilibatkan dalam mengelola kelas, seperti penggunaan kesepakatan kelas, komunikasi positif dan menghindari sogokan dan hukuman untuk memotivasi murid. Pada proses pengajaran, guru merdeka belajar melibatkan murid dalam menentukan tujuan belajar. Guru menjadi penghubung antara tujuan belajar pada kurikulum dengan kebutuhan murid. Pemahaman terhadap kebutuhan dan potensi murid dijadikan pertimbangan bagi guru untuk menyusun pilihan cara belajar di kelas. Guru melibatkan murid dalam merancang penilaian terhadap proses dan hasil belajar. Pada akhir pelajaran, guru meminta masukan dari murid untuk melakukan perbaikan. Ketika pertama mensosialisasikan merdeka belajar, baik melalui media sosial, diskusi grup daring, maupun seri pelatihan merdeka belajar, kami mendapatkan banyak respon terkejut dari kebanyakan guru yang bisa dikategorikan menjadi 2 kategori: otonomi dan orientasi pada anak. Kategori otonomi menggambarkan kekhawatiran dan keraguan guru mempunyai otonomi dalam mengajar. Isinya kekhawatiran guru terhadap tuntutan kepala sekolah dan pengawas, meski mereka jarang berkunjung ke kelas. Keraguan apakah guru mempunyai kewenangan dalam merancang proses belajar di kelas. Kategori orientasi pada anak menggambarkan ketidakpercayaan guru dalam melibatkan murid. Isinya pandangan yang meragukan atau merendahkan kemampuan dan kemauan murid untuk terlibat dalam proses belajar. Mereka khawatir murid jadi besar kepala dan menjadi berlagak di kelas. Namun sejumlah guru tetap meyakini merdeka belajar dan mempraktikkannya di ruang kelas. Dari mereka lahir praktik baik pengajaran merdeka belajar yang disebarkan dalam Komunitas Guru Belajar. Banyak guru yang tertular dan akhirnya terbit buku Merdeka Belajar di Ruang Kelas, yang berisi praktik pengajaran merdeka belajar di berbagai daerah dari jenjang menengah, dasar hingga anak usia dini. Bukti praktik pengajaran merdeka belajar selaras dengan temuan risetnya. Sejumlah riset (semisal oleh Moos & Ringdal, 2012) menunjukkan bahwa pengajaran merdeka belajar berkorelasi positif pada capaian belajar murid baik pada pendidikan dasar maupun menengah. Lebih jauh lagi, merupakan prediktor terbaik untuk memprediksi kinerja guru (Kamyabi Gol, Atiyeh & Royaei, Nahid, 2013). Riset di Indonesia pun menunjukkan korelasi positif antara merdeka belajar dengan penurunan prokrastinasi dan peningkatan capaian belajar. Gebrakan Merdeka Belajar Bagaimanapun, dibandingkan istilah sebelumnya, merdeka belajar lebih renyah diucapkan dan terdengar lebih keren. Namun lebih … Read more

Pelatihan Manajemen Kelas Merdeka Belajar di Rembang

Kelas semacam apa yang memfasilitasi guru dan murid menjadi merdeka belajar? Apa saja aspek yang perlu dikelola? Bagaimana strategi mengelolanya?  Berawal dari rencana mudik akhir tahun melalui jalur darat yang kebetulan sesuai dengan permintaan dari Komunitas Guru Belajar Rembang untuk mampir dan mengadakan TPD lagi, sebagaimana dulu ketika mudik lebaran. Saya menyanggupi dengan pertimbangan toh apa susahnya mampir beberapa jam di Rembang, titik tengah perjalanan, sambil istirahat. Capek kan ya mengendarai mobil dari Jakarta ke Surabaya.  Ide awal tersebut berkembang. Penggerak Komunitas Guru Belajar Rembang mengkomunikasikan ide awal tersebut. Lalu dari pihak Sekolah Islam Umar Harus melemparkan usulan untuk sekalian mengadakan pelatihan Guru Merdeka Belajar. Jreng! Saya minta Tim Manajemen Belajar Kampus Guru Cikal melakukan Analisis Kebutuhan Belajar. Berdasarkan hasil analisis, kami pun menyanggupi permintaan tersebut dengan menawarkan modul Guru Merdeka Belajar dan Manajemen Kelas.  Persiapan pun dilakukan. Urusan kontrak da administrasi, ketersediaan pelatih, peralatan, serta perencanaan kegiatan dan perjalannya. Saya berangkat ditemani Ari Wibowo, Guru Sekolah Cikal Cilandak menempuh perjalanan darat (Follow IG-nya di @ShinodaAri). Berangkat Sabtu pagi yang direncanakan sampai sabtu petang karena pelatihan akan diadakan dua hari, minggu dan senin. Rencana berjalan tidak mulus. Macet menghadang, kami baru bisa melewati Cikampek sore jam 16 WIB dan tiba di Rembang lewat jam 1 dini hari.  Saya dan Ari membuka pelatihan dengan aktivitas perkenalan yang dikemas menjadi permainan. Setelah suasana cair, peserta pelatihan dibagi menjadi beberapa kelompok agar terbentuk kelompok yang beragam baik dari asal sekolah, pengalaman dan jenis kelamin. Setelah itu pembagian peran dalam kelompok untuk memastikan setiap peserta terlibat aktif. Setiap peserta diminta menyebutkan benda kesayangan dan mengkaitkannya dengan harapan mereka terhadap pelatihan. Harapan pelatih ditulis di kertas dan ditempelkan di dinding kelas sebagai masukan bagi pelatih dalam membawakan modul pelatihan.  Pelatih lalu memandu pelatihan dengan struktur belajar yang serupa: agenda belajar, pemicu belajar, membongkar miskonsepsi, dan diakhiri dengan pemahaman esensial beserta praktiknya di ruang kelas. Sesi pertama membicarakan tentang tujuan pendidikan sebagai acuan dalam melakukan pengajaran maupun dalam menjalankan profesi sebagai guru.  Sesi berikutnya adalah sesi guru merdeka belajar. Apa pentingnya guru merdeka belajar? Peserta diajak untuk menganalisis sistem kebut semalam sebagai fenomena dari orientasi belajar demi ujian semata. Analisis tersebut membawa peserta pada miskonsepsi belajar yang menjauhkan belajar dari tujuan pendidikan senyatanya. Miskonsepsi tersebut yang ingin dibongkar melalui guru merdeka belajar.  Guru merdeka belajar adalah guru yang senantiasa merefleksikan dan menyesuaikan pemikiran dan perbuatan terhadap perubahan sekitar dalam upaya mencapai tujuan. Guru yang belajar untuk mencapai tujuan dari dalam diri, bukan karena faktor eksternal. Guru merdeka belajar yang mampu menghadapi berbagai tantangan dalam menjalankan profesi sebagai guru sekaligus mengajarkan merdeka belajar pada murid. Pengajaran merdeka belajar yang memandu murid untuk menjadi pelajar sepanjang hayat. Merdeka belajar terdiri dari 3 elemen yang membentu suatu siklus yaitu komitmen terhadap tujuan belajar, mandiri menentukan cara belajar dan melakukan refleksi belajar.  Setelah mendapatkan pemahaman mengenai merdeka belajar, peserta diajak melakukan permainan produksi pesawat agar mendapatkan pengalaman terkait siklus merdeka belajar. Dari permainan tersebut, peserta diajak memikirkan  penerapannya dalam pengajaran di kelas.  Makan siang selesai, pelatihan masuk pada modul manajemen kelas. Peserta diajak melakukan refleksi melalui metafor kelas untuk menemukan miskonsepsi manajemen kelas. Dari miskonsepsi, peserta diajak memahami konsep kelas sebagai sistem fisik, sistem psikologi dan sistem sosial. Kelas bukan sebentuk ruang dan perlengkapan tapi juga sistem psikologi yang melibatkan emosi dan kebutuhan manusiawi dan sistem sosial dengan dinamika kelompok dan sosialnya. Setelah itu dijabarkan elemen kelas yang perlu dikelola yaitu tata ruang, kesepakaran kelas, kebiasaan kelas, strategi pengelompokkan, strategi menumbuhkan kedisiplinan dan strategi pengajaran. Pada pelatihan ini akan dibahas semua elemen kecuali strategi pengajaran yang diajarkan pada pelatihan berbeda.  Sesi tata ruang kelas dipandu Ari Wibowo yang mengajar peserta merefleksikan tata ruang pada zaman dulu kala. Setelah itu peserta diajak memahami konsep tata ruang kelas. Penting untuk memikirkan tata ruang kelas yang dapat mewujudkan merdeka belajar. Tata ruang kelas yang keliru akan membatasi seagian besar murid untuk terlibat dalam proses belajar. Sementara tata ruang yang efektif akan membantu murid terlibat aktif dan mendapat stimulasi belajar yang kaya dan beragam.  Pada sesi terakhir di hari pertama, peserta diajak membicarakan tentang kesepakatan kelas. Grup WA tanpa ada tujuan dan kesepakatan kelas saja bisa menimbulkan kekacauan, apalagi kelas yang interaksinya lebih intensif. Karena itu penting membangun kesepakatan kelas yang akan menjadi panduan bagi semua penghuni kelas dalam berperilaku. AGar berjalan efektif, penyusunan kesepakatan kelas dilakukan dengan melibatkan murid secara penuh. Kesepakatan kelas adalah cara untuk mencapai tujuan belajar kelas yang direfleksikan terus menerus. Pelatihan hari pertama diakhiri dengan refleksi yang mengajak peserta mengkaitkan makan malam idaman dengan pelajaran yang didapatkan dari pelatihan pertama. Refleksi membantu peserta mengingat dan mengorganisir semua pelajaran yang didapatkan dalam sehari.  Sesi pertama hari kedua membahas tentang kebiasaan kelas. Bila kesepakatan kelas adalah jangkar yang mengatur pergerakan semua penghuni kelas, maka kebiasaan kelas berperan sebagai cara untuk mengantisipasi perubahan yang terjadi dalam kelas. Perubahan kelas sering dan terjadi secara berkala, semisal murid mau ke toilet, transisi antar pelajaran, pergantian jenis aktivitas belajar, atau pun mengakhiri dan mengawali kelas. Dengan adanya kebiasaan kelas, maka penghuni kelas mempunyai tradisi dan kebiasaan yang dijalankan bersama.  Sesi strategi pengelompokan dibawakan oleh Ari Wibowo yang mengajak peserta mengingat kembali posisi duduk ketika SD dan pengelompokkan yang terjadi akibat posisi duduk. Dari pengalaman peserta ditarik pelajaran bahwa pengelompokkan murid seringkali diabaikan guru padahal sangat menentukan dinamika dan efektivitas proses belajar sosial di kelas. Ari Wibowo lalu menceritakan contoh strategi pengelompokkan yang dilakukan di kelasnya dan bagaimana setiap strategi digunakan untuk mencapai tujuan yang berbeda. Setelah itu, peserta mendapat tantangan untuk memnyusun strategi pengelompokan yang sesuai dengan tujuan.  View this post on Instagram A post shared by Ari Wibowo Shinoda (@shinodaari) on Dec 24, 2018 at 5:35am PST Setelah makan siang, peserta diajak menyaksikan video pendek yang diambil dari kasus nyata tentang kelas tanpa guru. Dari video tersebut, peserta diajak untuk memikirkan makna kedisiplinan. Ternyata selama ini kedisiplinan mensyaratkan adanya guru. Tanpa guru, kedisiplinan menghilang. Padahal penting untuk membangun kedisiplinan yang tumbuh dari dalam diri murid. Kedisiplinan sejati. Bagaimana caranya? Dibahas pada sesi berikutnya.  Sesi berikutnya membicarakan strategi menumbuhkan kedisiplinan. Peserta diajak menyaksikan video … Read more

Tiga pelajaran dari Nusantarun untuk Komunitas Guru Belajar

Mengubah hobi menjadi kontribusi adalah pelajaran terpenting yang saya dapatkan dari Nusantarun. Bagaimana ceritanya?  Nusantarun sebenarnya sudah tidak asing lagi. Saya mengenalnya sejak 2 tahun yang lalu dalam kerjasama program pengembangan guru sekolah inklusi SMP Permata Hati Purwokerto, bagian dari program donasi Nusantarun ke-4. Meski begitu, saya sendiri lebih banyak berkutat dalam pengelolaan program sehingga tidak banyak berinteraksi dengan tim Nusantarun.  Tahun 2018 ini berbeda, saya selaku Ketua Kampus Guru Cikal berinteraksi lebih intens dengan tim Nusantarun untuk mengembangkan program pengembangan murid disabilitas. Interaksi mulai pertemuan, siaran langsung hingga pada awal Desember 2018 yang lalu, saya hadir bersama tim Kampus Guru Cikal dalam kegiatan inti, berlari 169 km dari Wonosobo menuju Gunung Kidul. Nusantarun tahun ingin memasang target menggalang donasi sebesar 2,5 milyar untuk membiayai pengembangan murid disabilitas di Jawa Tengah dan Yogya. Dan luar biasa, target tersebut tercapai berkat perjuangan para pelari melakukan penggalangan dana. Informasi penggalangan dana Nusantarun bisa dilihat di halaman KitaBisa.com. View this post on Instagram Para Pelari, Relawan, Rekan Guru Belajar menggaungkan Lagu Indonesia Raya dipimpin rekan SLBN Temanggung _______ Malam ini, 210 Pelari NusantaRun memulai perjuangan berlari 169 km dari Wonosobo, Wates hingga Gunungkidul! Mari kita beri doa dan dukungan untuk para pelari! Serentakkan langkah demi #PendidikanUntukSemua dengan cara: 1. Posting foto selfie sendiri atau bersama murid membawa kertas/poster bertuliskan #PendidikanUntukSemua di sosial media 2. Tag akun sosial media Kampus Guru Cikal dan NusantaRun 3. Tag dan tantang minimal 3 teman untuk berpartisipasi di #PendidikanUntukSemua A post shared by Kampus Guru Cikal (@kampusgurucikal) on Dec 7, 2018 at 5:24am PST Tim Kampus Guru Cikal bersama Komunitas Guru Belajar dan murid-murid penyandang disabilitas hadir pada titik pemberangkatan, titik tengah dan titik akhir. Kami sampai di titik pemberangkatan di Wonosobo pada Kamis malam dengan mengendarai kereta sampai di Pekalongan dan dilanjutkan dengan mobil. Seusai pemberangkatan pelari, kami masih menginap di Wonosobo. Sabtu pagi meluncur ke titik tengah untuk ikut pada penerimaan dan pelepasan pelari pada titik tengah. Sabtu sore meluncur ke Gunung Kidul untuk menyambut pelari di titik akhir di Pantai Sepanjang.  Tiga hari petualangan seru bersama tim Nusatarun, para pelari, panitia, dari relawan dari berbagai komunitas. Capek pastinya, tidak terbayanng capeknya pelari, panitia dan relawan yang menyusuri sepanjang perjalanan. Senang pastinya, bisa terlibat bukan sekedar kegiatan lari, tapi kegiatan pendidikan. Tapi lebih dari itu semua, saya belajar banyak hal dari keseluruhan kegiatan Nusantarun.  Memahami kebutuhan dan aspirasi komunitas. Setiap komunitas tentu punya kebutuhan dan aspirasinya sendiri. Setiap kegiatan tentu harus berpihak pada kebutuhan dan aspirasi dari komunitas yang mengikuti kegiatan tersebut. Dari kegiatan Nusantarun, saya belajar menyiapkan kegiatan yang bisa memenuhi kebutuhan dan aspirasi komunitas guru. Bukan sekedar diangankan atau kebutuhan yang bersifat umum, tapi ditulis secara rinci. Bukan sekedar menyiapkan, tapi juga menata alur penggunaannya secara sistematis. Semuanya akan berujung pada pengalaman pengguna yang memuaskan. Melibatkan pemangku kepentingan dalam kegiatan berlari. Sama sekali tidak menduga, ternyata banyak sekali pemangku kepentingan yang terlibat dalam kegiatan Nusantarun. Ada banyak peran yang disediakan untuk para pemangku kepentingan. Siapa saja pemangku kepentingan? Ada komunitas, perusahaan, dan lembaga lokal. Kuncinya pada memberi peran yang tepat pada pemangku kepentingan. Saya membayangkan bahwa panitia tidak menyiapkan penawaran standar yang berlaku umum. Penawaran selalu mengacu pada kekuatan dari pemangku kepentingan.  Mengubah hobi menjadi berkontribusi. Ini pelajaran paling penting. Nusantarun berangkat dari sekelompok pelari yang peduli pada pendidikan. Mereka berpikir bagaimana dari hobi berlari bisa menjadi kontribusi terhadap pendidikan. Lahirlah format lari Nusantarun yang menggabungkan berlari dengan kontribusi. Para pelari memasang target donasi untuk dipenuhi sebagai syarat mengikuti Nusantarun. Bayangkan, mereka menggalang donasi untuk bisa berlari 169 Km. Luar biasa! Dan Nusantarun berhasil mengubah kegiatan berlari menjadi kegiatan berkontribusi. Dari hobi menjadi kontribusi. Itulah 3 pelajaran yang saya dapatkan dari Nusantarun. Dalam konteks pekerjaan, harapannya pelajaran tersebut bisa digunakan oleh Komunitas Guru Belajar dalam menyelenggarakan konferensi tahunan, Temu Pendidik Nusantara 2019. Dalam konteks personal, jadi tantangan buat saya bagaimana mengubah hobi bisa menjadi kontribusi terhadap pendidikan. Terima kasih Nusantarun untuk pelajarannya. Bagaimana hobi Anda bisa diubah menjadi kontribusi terhadap pendidikan?

Memang Beda, Tapi Kami Memilih Jalan Bersama

Berangkat dari arah berbeda, kami berkumpul di Stasiun Rawa Buntu, menuju satu tujuan, melakukan refleksi bersama. Saya berangkat dari Kantor Pusat Cikal di Cilandak. Amel, anggota terbaru kami, berangkat dari kos seusai penerbangan Lombok – Jakarta. Empat anggota tim yang lain, Baja, Rizqy, Mahayu dan Maman berangkat dari kantor kami. Lengkap lah enam orang tim Kampus Guru Cikal. Kami berenam merasakan terik siang yang sama, terik yang menusuk kulit kepala. Kami menantikan kereta yang sama, kereta yang akan membawa kami ke Ujungkulon, menuju Honje Ecoledge.  Kami berenam memang berasal dari daerah yang berbeda, dua berasal dari Jawa Timur, dua berasal dari Jawa Tengah, satu dari Jakarta dan satu dari Sumatera. Kami berbeda pula masa bergabungnya di Kampus Guru Cikal. Baja dan saya adalah anggota terlama, disusul oleh Rizqy. Awal tahun ini bergabung Mahayu, dan semester ini, Maman dan Amel baru saja bergabung. Meski bekerja di kantor yang sama, kami menjalankan peran yang berbeda. Saya dan Amel di Manajemen Belajar, Mahayu dan Baja di Pelibatan Komunitas, sementara Rizqy dan Maman di Manajemen Pengetahuan. Bila mau mencari perbedaan kami, sama sekali tidak susah. Dari hal-hal yang kasat mata saja sudah berbeda, belum lagi bicara keterampilan, minat, aspirasi, kepribadian dan cita-cita. Kami memang beda. Tapi Jumat siang itu, kami bersepakat melakukan perjalanan, tujuan dan cara yang sama. Perjalanan refleksi akhir tahun.  Di dunia perhotelan dikenal istilah peak season. Begitu kiranya akhir tahun bagi kami, lembaga pengembangan karier guru. Selepas Temu Pendidik Nusantara, kami sudah dihadapkan dengan berbagai proyek, di luar misi utama kami menemani Komunitas Guru Belajar. Proyek literasi Pesisir Selatan dan proyek bersama IniBudi di ujung selesai. Kami sudah dinanti proyek literasi di Jawa Timur (2 daerah), proyek pengembangan guru PAUD di NTB (2 daerah), proyek pengembangan murid penyandang disabilitas bersama Nusantarun (2 – 3 daerah), proyek Foundation Program untuk penyiapan guru baru Cikal (1 daerah) dan proyek Temu Pendidik Nusantara 2019 (9 daerah). Satu tim, enam orang, tujuh proyek dan banyak daerah 🙂 Apa yang harus kami lakukan? Alih-alih ngebut mengerjakan proyek, kami memilih berhenti, karena sadar jalan masih panjang. Perjalanan panjang butuh banyak bekal. Bekal sebagai tim berupa pengalaman positif bersama, pengalaman yang layak diperbincangkan bertahun-tahun kemudian.  Dua hari sebelumnya, kami memutuskan menggunakan voting untuk menentukan moda transportasi. Empat dari kami memilih moda transportasi kereta kemudian baru memikirkan di tempat tujuan antara. Pilihan nekat karena perjalanan panjang yang menuntut berganti moda transportasi. Itulah kenapa di siang yang terik ini justru kami berkumpul di stasiun Rawa Buntu menuju stasiun terakhir di Rangkas Bitung.  Tantangan pertama berdiri di kereta hampir dua jam. Sudah dihajar panas terik, lanjut berdiri pula. Lima dari kami ngobrol iseng, satu yang lain membaca buku dari penulis favoritnya. Sampai di Rangkas Bitung, kami keluar dari stasiun dan mulai mencari kendaraan untuk melanjutkan perjalanan 4 jam menuju Ujungkulon. Kami menuju terminal, mencari mobil bak terbuka atau angkutan umum yang mau disewa. Cari sana sini, akhirnya kami memilih seorang sopir angkutan umum untuk menemani perjalanan kami. Awalnya kami mau diantar ke terminal Mandala untuk mencari kendaraan ke arah Ujung Kulon, tapi di sepanjang perjalanan terjadi obrolan disertai tawar menawar. Akhirnya sang bapak bersedia mengantar sampai ke tempat tujuan.  Dua jam pertama perjalanan penuh semangat. Mobil angkot yang kami tumpangi melaju pada kecepatan rata-rata 50 km/jam, kecuali di 1 – 2 titik tertentu. Kami pun masih penuh semangat, obrolan ringan disertai karaoke tembang kenangan *eh. Satu jam berikutnya, keadaan sudah mulai sunyi. Pak sopirnya pun sesekali lepas konsentrasi yang mengakibatkan angkotnya melompat sekali dua kali di jalan dan jembatan yang memberi kejutan. Mulai bertanya, apakah masih jauh? Mana tujuan sebenarnya? Pertanyaan yang mengusik di perjalanan yang semakin banyak diwarnai tanjakan dan turunan curam.  Satu jam terakhir, suasana terus menurun. Pak sopir mulai bicara ditunggu temannya. Jalan semakin sempit. Dan banyak sekali bagian badan jalan yang rusak parah. Kecepatan maksimal 30 km/jam, kecepatan rata-rata turun menjadi 15 km/jam, karena seringkali kendaraan terpaksa berjalan 5 – 10 km/jam karena jalan yang rusak. Saya sudah berpikir apa jadinya bila Pak Sopir menolak melanjutkan perjalanan. Akankah kami jalan kaki menembus hutan yang gelap? Pak Sopirnya sendiri sudah mengeluh tidak berani balik pulang sendiri. Bukan takut pada orang, tapi takut pada penghuni hutan. Entah apa  Setelah menempuh satu jam menegangkan, kami pun tiba di Honje Ecoledge sekitar pukul 8 malam. Legaaaaaa……… Kami disambut makan malam yang nikmat. Atau karena kami lapar setelah bergoncang di angkot selama 4 jam?  Setelah sebagian mandi (tebak siapa?), sebagian lagi tetap duduk santai. Malam itu, acara tidak sesuai rencana. Kami memilih duduk di beranda rumah penginapan. Topik obrolan tentang fiml dan serba-serbinya. Tanpa terasa sudah hampir tengah malam. Kami pun masuk ke tiga kamar di rumah penginapan.  Apa artinya waktu berhenti? Itu lah yang saya rasakan pada hari Sabtu di Honje. Pagi subuh sebagian dari kami sudah di tepi pantai yang sepelemparan batu dari rumah penginapan. Tepat sesuai jadwal, Baja memimpin kami untuk senam pagi. Senam sebentar dan kemudian lanjut melakukan aktivitas pantai bagi yang mau. Sebentar saja, ketua panitia sudah memanggil. Kami pun makan dan mandi pagi untuk memulai sesi refleksi personal.  Kami diminta untuk berburu dua foto yang menggambarkan perubahan positif yang kami alami dan harapan di masa mendatang. Waktunya satu jam. Saya memanfaatkan waktu dengan berburu foto ke area pantai yang belum saya kunjungi pada dua kunjungan sebelumnya. Area pantai yang ditumbuhi pohon, sebagian diantaranya pohon bakau. Saya dibuat kagum oleh sejumlah pohon. Ada satu pohon yang tegak lurus berdiri meski sendiri dikelilingi air laut. Ada tiga pohon yang berdiri sejajar, seolah bergandengan tangan menghadang ombak. Keduanya saya foto dan ceritakan di sesi refleksi personal.  Saya punya banyak teman sepemikiran. Saya pun dulu mendidik mahasiswa untuk memenuhi panggilan hidup, mengaktualkan potensi dan mengejar cita. Tidak banyak yang bertahan. Lebih banyak memilih bekerja semata mendapatkan uang. Ketika muda, mahasiswa saya bertanya tentang idealisme. Semakin lama, semakin jarang dan memilih jalan kompromi. Awalnya kompromi untuk tetap jadi idealis, makin lama kompromi hanya demi kompromi, menjadi satu. Teman dari masa lalu menjadi semakin sedikit yang sejalan. Terlebih masuk dunia pendidikan. Pendidikan menumbuhkan adalah jalan yang sepi. Mayoritas masyarakat, bukan saja … Read more

Dari Alam Menuju Guru Belajar Pekalongan

Belajar dari alam, belajar dari Penggerak Komunitas Guru Belajar Pekalongan. Ketika sekolah dasar dulu, saya mendapat tugas mencangkok. Saya memilih mencangkok pohon jeruk yang banyak tumbuh di halaman rumah. Dengan susah payah, akhirnya berhasil juga mencangkoknya. Ketika dipindah, cangkokan tumbuh, bahkan lebih cepat dibandingkan pertumbuhan pohon jeruk sebelumnya. Singkat cerita, pohon jerukan cangkokan berbunga dan berbuah lebat. Tapi tanpa disangka-sangka, malam badai lebat, dan paginya pohon jeruk cangkokan itu tumbang.  Kenapa?  Kata orang, pohon hasil cangkok tidak mempunyai akar tunggang yang menancap pada kedalaman tanah. Pohon hasil cangkok tumbuh mengalami proses pertumbuhan berbeda dengan pohon yang tumbuh dari biji, atau melalui proses alaminya.  Apa hubungannya cangkok dan guru belajar? Begini ceritanya  Dua tahun lalu, saya diundang menghadiri Temu Pendidik Daerah yang diadakan Komunitas Guru Belajar Pekalongan. Saya sampai di Pekalongan sehari sebelum kegiatan. Keesokan harinya, saya diajak makan siang bersama orang dinas pendidikan sambil ngobrol tentang aktivitas pengembangan guru. Selesai makan siang, saya meluncur ke lokasi Temu Pendidik Daerah yang diadakan di sebuah sekolah. Sesampai di sana, saya disambut kepala sekolah dan kami pun bicara panjang lebar sekaligus menanti para peserta datang. Banyak guru yang hadir, dua ruang kelas yang disatukan pun penuh sesak.  Temu Pendidik Daerah Pekalongan edisi perdana pun dimulai. Pada sesi inspirasi, 3 orang guru berbagi praktik pengajarannya. Seorang Bu Guru bercerita pengalaman awal menjadi guru yang harus ditempuh dengan mengendara motor disambung dengan jalan kaki mendaki gunung. Selanjutnya sesi refleksi, saya memandu para guru melakukan refleksi, menarik pelajaran dari pengalaman guru pada sesi sebelumnya. Dan diakhiri dengan sesi aksi, komitmen tindak lanjut setelah kegiatan. Selesai acara, saya menyatakan kekaguman saya pada dua penggerak Guru Belajar Pekalongan, Pak RIzqy dan Pak Rudi. Temu Pendidik Daerah dipenuhi peserta. Kami habiskan sore dengan obrolan santai sampai jadwal kereta datang dan saya kembali ke Jakarta. Kembali dengan hati gembira.  Tapi entah mengapa, beberapa bulan berlalu, Komunitas Guru Belajar kembali sepi. Tidak ada aktivitas belajar, tidak ada diskusi. Ada apa?  Ketika saya bertanya, Penggerak Guru Belajar Pekalongan menjelaskan dari sekian banyak peserta Temu Pendidik Daerah tidak ada yang tertarik untuk bergabung. Rupanya mereka hadir di Temu Pendidik Daerah karena ada surat edaran dari Dinas Pendidik. Ketika tidak ada surat edaran, keterlibatan mereka pun berhenti. Saya pun jadi ingat Salah Kaprah Pertama Guru Belajar: Guru belajar hanya ketika ada insentif atau ada ancaman hukuman.  Namun, rupanya Penggerak Guru Belajar Pekalongan pantang menyerah. Terus mencari cara ketika ada hambatan menghadang pencapaian tujuan. Satu cara gagal, cari cara lain, yang meninggalkan salah kaprah guru belajar. Mereka mencari guru yang mau belajar karena kemauannya sendiri, bukan karena keinginan mendapat insentif atau menghindari hukuman.  Sebagaimana pohon jeruk yang tumbuh dari biji, Komunitas Guru Belajar Pekalongan tumbuh perlahan. Kegiatan kecil demi kegiatan kecil dilakukan. Sedikit demi sedikit akhirnya menjadi bukit. Tahun ini, Komunitas Guru Belajar Pekalongan bekerjasama dengan Universitas Pekalongan menggelar Temu Pendidik Pekalongan Raya yang dihadiri 200 guru dari berbagai daerah. Ada kelas kemerdekaan, ada kelas kompetensi, ada kelas kolaborasi dan ada kelas karier. Paket lengkap! Biji itu rupanya sudah berkembang pohon yang berbuah ranum dan lebat. Apa pilihan Anda, terburu-buru mencangkok atau bersabar menumbuhkan biji Komunitas Guru Belajar di daerah Anda?