Merek Dagang Merdeka Belajar Dihibahkan

Sebagai merek dagang, apakah istilah Merdeka Belajar boleh digunakan semua orang? Pertanyaan tersebut menjadi polemik masyarakat dalam beberapa waktu terakhir. Setelah mendengarkan masukan sejumlah pihak, Cikal memutuskan untuk menghibahkan merek dagang Merdeka Belajar kepada Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan RI. Silakan baca siaran pers lengkapnya Jakarta, 14 Agustus 2020 – Sekolah Cikal yang menginisiasi sejumlah lembaga dan jaringan pendidikan di Indonesia, akan menghibahkan hak atas merek “Merdeka Belajar” yang dimilikinya kepada Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud). Penggunaan Merdeka Belajar sejak 2015, dimaksudkan Cikal untuk menggerakkan perubahan pendidikan dan telah dipraktikkan dalam kurikulum, pelatihan dan publikasi Yayasan Guru Belajar. Sebelumnya, Cikal juga telah menyatakan tidak ada kompensasi apapun untuk penggunaan merk atas jasa dan barang Merdeka Belajar oleh Kemendikbud dan untuk kepentingan pendidikan dan ilmu pengetahuan. “Atas masukan berbagai pihak, sekarang kami memperkuat surat pernyataan itu dengan keputusan menghibahkan hak atas merek Merdeka Belajar ke Kemendikbud,” tandas Najelaa Shihab, pendiri Cikal. Pengalihan hak atas merek ini diharapkan mengakhiri polemik penggunaan kata Merdeka Belajar. “Demi kemajuan pendidikan Indonesia, kami memutuskan menghibahkan hak atas merek Merdeka Belajar kepada Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan tanpa biaya dan/atau kewajiban pembayaran apapun. Dengan catatan, kami dan siapapun masih bisa menggunakannya tanpa kompensasi apapun untuk kepentingan pendidikan sesuai ketentuan yang berlaku,” ujar Najelaa Shihab. Mendikbud Nadiem Makarim pada akhir tahun lalu mengumumkan nama “Merdeka Belajar” sebagai payung besar kebijakan pendidikan nasional. Belakangan penggunaan idiom Merdeka Belajar oleh Kemendikbud dipertanyakan oleh sejumlah pihak karena sudah sejak lama didaftarkan sebagai merek oleh Sekolah Cikal. Mereka ingin memastikan bahwa penggunaan idiom Merdeka Belajar tidak akan menimbulkan implikasi hukum di kemudian hari. Menurut Najelaa, sejak 2004, lima tahun setelah pendirian Cikal,  pelajar merdeka (berkomitmen, mandiri, reflektif) sudah menjadi bagian dari cita-cita menumbuhkan kompetensi yang utuh bagi semua dan setiap murid serta guru.  Pada tahun 2014, melalui Kampus Guru Cikal mengembangkan Merdeka Belajar sebagai karakteristik ekosistem yang pada intinya merupakan gerakan pendidikan yang meningkatkan kompetensi, kolaborasi dan inovasi semua pemangku kepentingan, mulai dari guru, orang tua, komunitas dan organisasi. Merdeka Belajar terinspirasi dari pemikiran sejumlah tokoh, di antaranya Ki Hadjar Dewantara, Rahmah Al Yunusiah (tokoh pendidikan pendiri Sekolah Diniyah Putri) dan Barry Zimmerman (peneliti pendidikan yang dikenal dengan teorinya tentang belajar mandiri/ self- regulated learning).  diwujudkan dalam bentuk pengembangan guru penggerak dan komunitas guru belajar yang berdaya di ratusan kabupaten/kota, maupun publikasi praktik baik yang dilakukan di lapangan. Merdeka Belajar juga selalu digaungkan di setiap Temu Pendidik Nusantara dan Temu Pendidikan Daerah dan Regional yang diselenggarakan selama 6 tahun terakhir. Cikal juga menerbitkan buku Merdeka Belajar di Ruang Kelas (2017)  serta surat kabar Guru Belajar secara rutin sejak 2015 hingga saat ini untuk menyebarluaskan konsep Merdeka Belajar sesuai paradigma dan cara yang dilakukan oleh Komunitas Guru Belajar dan Jaringan Sekolah Merdeka Belajar di penjuru Nusantara.  Pada 1 Maret 2018, Sekolah Cikal kemudian mendaftarkan hak atas merek Merdeka Belajar ke Ditjen HKI Kementrian Hukum dan Hak Asasi Manusia (Kemenkumham), sebagai upaya mencatatkan dan melindungi keberlangsungan upaya-upaya yang telah dilakukan selama ini, yang kemudian disetujui oleh Kemenkumham pada 2020. “Kami mendaftarkan hak atas merek Merdeka Belajar, bukan hak paten. Sejak awal, kami tidak bermaksud untuk mencari keuntungan komersial. Sesuai yang kami nyatakan dan lakukan, selama ini kami tidak pernah mempersoalkan penggunaan Merdeka Belajar untuk kepentingan pendidikan dan ilmu pengetahuan”, ungkap Najelaa. Hingga saat ini, Kemendikbud telah meluncurkan lima episode Merdeka Belajar. Pada Episode 1 Merdeka Belajar mengubah Ujian Nasional menjadi asesmen kompetensi minimum dan survei karakter, menghapus Ujian Sekolah Berstandar Nasional, menyederhanakan rencana pelaksanaan pembelajaran, dan menyesuaikan kuota penerimaan peserta didik baru berbasis zonasi. Merdeka Belajar Episode 2: Kampus Merdeka, memberikan kemudahan pelaksanaan pembelajaran di perguruan tinggi. Merdeka Belajar 3: perubahan mekanisme Bantuan Operasional Sekolah (BOS) tahun anggaran 2020, Merdeka Belajar 4: Program Organisasi Penggerak, dan Episode 5 yaitu Guru Penggerak. (*)

Beasiswa Murid Penyandang Disabilitas

Beasiswa Murid Penyandang Disabilitas yang diberikan oleh NusantaRun melalui program Pendidikan untuk Semua tidak seperti membalikkan telapak tangan. Ada serangkaian aktivitas sebelum murid mendapatkannya. Ada proses pelatihan guru, agar murid yang akan menerima beasiswa murid penyandang disabilitas ini bisa mendapatkan asesmen dan intervensi yang tepat pula. Beasiswa ini juga tidak sekadar menuntuk guru untuk melakukan sesuatu, juga mengajak orangtua untuk peduli. Karena sebelumnya banyak orangtua tidak tahu akan karier murid penyandang disabilitas setelah lulus nanti. Setelah melakukan seleksi terhadap 175 murid yang mendaftarkan diri untuk mendapatkan beasiswa murid penyandang disabilitas. Maka diputuskan sebanyak 80 murid yang akan mendapat kesempatan ke tahap berikutnya. Delapan puluh murid inilah yang akan mengikuti pelatihan keterampilan belajar. Silakan bisa diunduh undangan serta pengumuman di tautan di bawah ini. PENGUMUMAN JAWA TENGAHPENGUMUMAN YOGYAKARTA

Kerja Barengan untuk Pengembangan Murid Penyandang Disabilitas

“Saya sangat senang sekali dengan program ini. Bahwa benar seorang guru harus belajar dan belajar terus, karena saya ingin sekali mengoptimalkan kembali potensi yang dimiliki oleh anak, biar anak-anak itu bisa.” ungkap Septi Mardianti seorang guru dari SLBN Kota Tegal yang mengikuti kegiatan Sosialisasi Program Pengembangan Murid Disabilitas oleh Kampus Guru Cikal, Jumat 3 April 2019 di Gedung B Aula Ki Hajar Dewantara Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Jawa Tengah yang dihadiri 120 Kepala Sekolah SMA, SMK, MA Inklusi serta SLB di Jawa Tengah Kegiatan sosialisasi ini merupakan kegiatan awal dari serangkaian kegiatan dalam program Pengembangan Murid Disabilitas yang dilakukan oleh Kampus Guru Cikal. Pendanaan dari program ini didapatkan dari donasi yang digalang melalui lari ultra marathon yang diadakan NusantaRun pada 7-9 Desember 2018 lalu. Upaya penggalangan dana oleh para pelari tersebut berhasil mengumpulkan dana sejumlah 2,65 miliar. Hasil donasi tersebut yang digunakan untuk membiayai Program Pengembangan Murid Penyandang Disabilitas di Jawa Tengah dan DIY. Ada 3 subjek yang menjadi sasaran dalam program ini, yaitu murid penyandang disabilitas, guru BK dan orangtua. Murid penyandang disabilitas selain mendapatkan beasiswa untuk melanjutkan ke perguruan tinggi, juga mendapat pelatihan keterampilan belajar untuk melanjutkan ke jenjang pendidikan tinggi. Guru BK mendapatkan pelatihan pendidikan inklusi dan pelatihan bimbingan karier. Harapannya dari pelatihan tersebut guru BK memiliki keterampilan dalam mendampingi murid penyandang disabilitas untuk melanjutkan ke jenjang pendidikan tinggi. Orangtua juga menjadi sasaran program karena dukungan orangtua penting bagi keberhasilan pendidikan murid penyandang disabilitas. Dalam sosialisasi program pengembangan murid disabilitas, Bukik Setiawan selaku ketua Kampus Guru Cikal menyatakan bahwa ekosistem pendidikan kita membutuhkan murid penyandang disabilitas yang melanjutkan pendidikan tinggi sebagai kisah sukses agar semakin banyak dukungan bagi pendidikan inklusi. “Layaknya seorang petani yang menanam bibit tanaman dengan metode yang ia gunakan, maka jika berhasil akan bisa ditiru oleh petani lainnya. Program ini akan berjalan jika ada keterlibatan banyak pihak, baik dinas, sekolah, guru, dan juga masyarakat” ujar Bukik dalam acara tersebut. Sejalan dengan Bukik Setiawan, wakil gubernur Jawa Tengah Taj Yasin yang hadir dalam acara tersebut mengatakan bahwa perlu jangkauan yang lebih luas untuk pendidikan inklusi, jika pemerintah provinsi saja jangkauannya kecil. Program yang digagas NusantaRun merupakan dukungan nyata dari masyarakat dalam mendukung cita-cita pendidikan untuk semua.

Menemukan Teman Seperjalanan di Jalan Sepi #PendidikanUntukSemua

Hamzah (32 tahun) seorang tuna netra dari Makassar, mengatakan ia sering menerima komentar negatif dari para guru yang mengeluhkan kinerjanya di kelas tetapi ia tidak pernah mendapatkan dukungan atau materi yang disesuaikan untuk membantu dirinya untuk terlibat. Meskipun kurangnya dorongan dari gurunya, Hamzah bersikeras untuk mengejar pendidikan tinggi seperti teman-temannya yang tidak cacat, dan bermimpi menjadi guru di sebuah sekolah Islam. Tetapi Hamzah ditolak pada tahun 2003 oleh fakultas pendidikan (tarbiyah) di Alauddin UIN. Dia diberi tahu bahwa orang buta tidak bisa menjadi guru dan institut itu tidak bisa menampungnya. Dia akhirnya diterima ke departemen sastra Inggris di UNM. Sosok Hamzah yang dituliskan oleh Dina Afrianty, peneliti La Trobe University, Australia dalam artikel berjudul “People with Disability: Locked out of Learning?” adalah salah satu contoh berhasil seorang disabilitas bisa mengenyam pendidikan tinggi. Namun masih banyak pekerjaan rumah berkait dengan akses masuk perguruan tinggi bagi murid disabilitas. “Usaha-usaha memang sudah dimulai, tapi di seluruh Indonesia belum banyak. Hanya beberapa perguruan tinggi yang mampu menyediakan fasilitas yang memudahkan civitas academica dalam belajar dan mencapai semua tempat dengan menjaga keselamatannya,” kata Staf Ahli Menteri Riset, Teknologi dan Pendidikan Tinggi (Menristek Dikti) bidang Akademik, Paulina Pannen. Itulah salah satu alasan program #PendidikanUntukSemua dijalankan, memberikan akses perguruan tinggi kepada murid-murid penyandang disabilitas. Tantanganya adalah mencari perguruan tinggi yang sudah menjalankan pendidikan inklusi. Selasa (19/2/2019) Kampus Guru Cikal mulai melakukan audiensi dengan berbagai perguruan tinggi di Jawa Tengah dan Yogyakarta. Audiensi ini bertujuan untuk mempelajari, sejauh mana perguruan tinggi tersebut peduli dengan mahasiswa penyandang disabilitas. Perguruan tinggi yang menjadi kunjungan awal oleh tim Kampus Guru Cikal adalah UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. Pemilihan UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta karena perguruan tinggi tersebut yang menjadi pelopor perguruan tinggi yang memfasilitasi penyandang disabilitas sejak tahun 2007. Dalam audiensi tersebut tim Kampus Guru Cikal diwakili oleh Bukik Setiawan selaku ketua Kampus Guru Cikal dan Rizqy Rahmat Hani selaku ketua program #PendidikanUntukSemua . Audiensi dilakukan di gedung PAU lantai 2 UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta. Kami disambut dengan hangat oleh bapak Waryono, selaku wakil rektor bidang kerjasama UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta dan Arif Maftuhin selaku ketua Pusat Layanan Difabel (PLD) UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. Keseriusan UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta dalam menjalankan pendidikan inklusi di perguruan tinggi tidak main-main. Pusat Layanan Difabel menjadi tonggak dalam memperjuangkan pendidikan inklusi. “Mahasiswa difabel belajar bersama mahasiswa lainnya, tidak ada kelas khusus, tidak ada program khusus bagi mereka. Tugas Pusat Layanan Difabel adalah memastikan bahwa proses mereka dalam kegiatan belajar mengajar dan kegiatan akademik yang lain itu dapat terlibat secara penuh.  Misalnya kalau ada mahasiswa tuli, kita mengirimkan pendamping, baik berupa no taker maupun juru bahasa isyarat. Misalnya ada mahasiswa tuna netra, kita memfasilitasi mereka untuk mengakses materi-materi kuliah dengan proses digitalisasi. Kita mencoba agar proses menjadi inklusif itu bisa benar-benar dirasakan oleh mahasiswa yang belajar di UIN SUKA.” kata Arif Maftuhin. Dalam audiensi tersebut Kampus Guru Cikal juga menjajaki kemungkinan kerjasama untuk program #PendidikanUntukSemua dengan memberikan beasiswa NusantaRun Enam kepada murid penyandang disabilitas potensional. Gayung bersambut, PLD juga mengakomodir beasiswa untuk mahasiswa penyandang disabilitas. Namun selama ini mengalami kendala, sedikit yang mengikuti seleksi tersebut. “Kami sudah lama membuka pendaftaran mahasiswa difabel, bahkan sudah ada jalur khusus dan berbeasiswa, tapi justru yang daftar tidak banyak. Ada kuota 15, pendaftar maksimal 20” ujar Waryono. Hal tersebut dikarenakan orangtua yang masih merasa takut dan tidak percaya bahwa anaknya mampu melanjutkan ke perguruan tinggi. Tantangan ini terjawab oleh program #PendidikanUntukSemua yang menyiapkan guru, orangtua dan murid penyandang disabilitas untuk siap melanjutkan ke perguruan tinggi. “Jadi yang lebih penting sebenarnya adalah adaptasi kelas itu terhadap difabel, bukan pada prasarana fisik atau apa yang mungkin jika disiapkan belum tentu digunakan.” ujar Arif mengakhiri sesi audiensi siang itu. Apa yang UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta perjuangkan selama ini sesuai dengan program #PendidikanUntukSemua Kampus Guru Cikal, pertemuan ini seperti menemukan teman seperjalanan di jalan sepi #PendidikanUntukSemua.

Hibernasi dan Berefleksi

Would you know my nameIf I saw you in heavenWill it be the sameIf I saw you in heavenI must be strong,and carry onCause I knowI don’t belong Here in heaven Lagu lawas dari Eric Clapton itu mengiringiku menulis pagi ini. Lagu yang bersejarah bagi Eric. Tanggal 20 Maret 1991, Connor Clapton anaknya meninggal karena jatuh dari sebuah apartemen. Hari itu sampai 9 bulan setelahnya Eric berkabung. Eric sangat-sangat terpukul kehilangan anak. Ia berdiam diri di rumah, ia memilih untuk tidak tampil, ia konsentrasi kepada apa yang baru menimpanya. Sembilan bulan setelahnya, ia kembali. Eric kembali dengan perbedaan. Musiknya lebih lembut, reflektif dan kuat. Salah satunya ia tunjukkan di lagu Tears in Heaven, lagu yang ia tujukkan untuk Connor Clapton. “Sering kali kita memang butuh berdiam diri, merefleksikan apa yang dilakukan dan memulai kembali dengan semangat yang baru” Itulah mengapa tim Kampus Guru Cikal Jumat, 16 November 2018 melakukan sebuah perjalanan ke Honje Ecolodge di Ujung Kulon. Salah satunya adalah untuk berefleksi. Setiap hari dihadapkan dengan Komunitas Guru Belajar yang ada di 145 daerah dengan beragam aktivitasnya dari Temu Pendidik Daerah, Temu Pendidik Mingguan, Temu Pendidik Nusantara, Surat Kabar Guru Belajar, Guru Promotor, konten harian, penggerak. Tiap hari ada puluhan percakapan di grup, media sosial. Ini yang saya salut dari teman-teman di Kampus Guru Cikal. Bergerak setiap hari. Dan kami memang membutuhkan waktu untuk berdiam. Waktu untuk berefleksi dari semua itu. Jumat siang itu kami memutuskan untuk melakukan perjalanan yang berbeda. Kami bisa saja menyewa mobil dan tidur sampaillah kami di tempat yang kami tuju. Tapi kami memilih naik KRL kemudian disambung naik angkot. Tapi yang terjadi dalam perjalanan tersebut sungguh luar biasa. Banyak obrolan yang kami lakukan. Belum sampai lokasinya saja, banyak refleksi dari obrolan singkat nan bermakna. Seperti yang saya tulis di awal, bahwa kegiatan kami ke Ujung Kulon adalah refleksi. Maka tiap aktivitas pun dirancang agar kami berefleksi. Nah mungkin ide-ide di bawah ini bisa di-ATM (Amati – Tirukan –Modifikasi) di sekolah Bapak Ibu untuk melakukan refleksi. A. Hunting Foto Bukan sekadar hunting foto, tapi hunting foto bermakna. “Ya jadi dalam hunting foto ini masing-masing harus mengambil dua foto. Satu foto tentang ‘perubahan positif’ dan satunya lagi tentang ‘harapan’. Kemudian nanti kita presentasikan ya! Waktunya satu jam dalam mengambil foto.” Kami pun menyebar untuk mencari foto yang sesuai  dua frasa tersebut. Ada yang ke bagian barat pantai, ada yang ke timur, ada yang masuk ke dalam penginapan, ada yang berdiam diri. Semua mencari foto sambil menikmati ‘waktu sendiri’. Akhirnya seperti waktu yang ditentukkan, kami pun berkumpul di gazebo depan penginapan untuk membahas foto yang diambil. Ada yang mengambil gambar karang, pohon, buku, kano. Satu per satu anggota KGC mempresentasikan hasil jepretannya. “Aku tu ambil foto ini karena mpresentasikan perubahan positif aku semenjak di KGC…..” “Nah ini adalah harapanku ke depan, kayak penginapan kita ini. Mmebangun namun tidak menggerus…” Senang sekali mendengar hasil presentasi teman-teman.   B. Mengutarakan “Tampak seperti dan tidak tampak seperti” Nah setelah sesi foto, masih di tempat yang sama. Pak Maman meminta kami untuk mengungkapkan apa yang sudah sesuai dan tidak sesuai dengan prinsip Cikal. “Medianya bebas apa saja, boleh menggambar, boleh menulis, boleh juga menyanyi” Kami pun melakukan apapun yang membuat kami nyaman mengungkapkanya. Dari sesi ini akhirnya aku pribadi tahu, masih banyak sekali hal yang kurang selama ini. Masih banyak evaluasi yang perlu diperbaiki. Dan masukan teman-teman menambah semakin tahu apa yang perlu diperbaiki ke depannya. C. Menggambar Malam hari, kami semua di kumpulkan di depan penginapan untuk sesi berikutnya. Kalau sebelumnya adalah sesi refleksi individu, sekarang sesi refleksi ketua KGC, yaitu mas Bukik. Kami diminta menggambar apa saja yang menggambarkan ketua KGC, pun dengan pemilihan warna spidol, harus memiliki arti. Ada yang gambar pohon, ada yang gambar tangga, dan lain sebagainya. Aku pribadi menggambar tangga, karena aku merasa banyak tantangan baru saat mas Bukik menjadi ketua KGC, dan tantangan-tantangan itu semakin membuatku belajar. Selain hal positif, kami juga mengutarakan hal-hal evaluasi mas Bukik sebagai ketua. Seneng banget karena dari sini bisa lebih leluasa mengutarakan apapun. Dan suka dengan apa yang mas Bukik lakukan. Suatu saat kalau jadi pemimpin akan kayak dia ah.. hehhe D. Tukar Kado Setelah sesi refleksi ketua KGC, kegiatan berikutnya yaitu tukar kado. Kami telah menyiapkan kado sebelumnya, dan malam itu kado kami saling ditukar. Kadonya lucu-lucu. Tapi rahasia ya. Dari sesi ini kami merasa semakin dekat satu sama lain di tim KGC. E. Truth and Dare Ini adalah aktivitas yang menakutkan buatku. Dengan botol di tengah, setiap orang berhak memutarkan botol tersebut secara bergantian. Setelah botol diputar, dan ujung botol mengarah ke seseorang, maka seseorang tersebut harus melmilih untuk menjawab pertanyaan yang diajukan oleh pemutar botol dengan jujur atau memilih melakukan aktivitas yang diinginkan oleh pemutar botol. Ini sesi yang membuat kami tertawa bersama malam itu. Membuat kami semakin tahu satu sama lain. Dan entah kenapa 2 hari tersebut benar-benar membuat kami semakin semangat untuk bareng-bareng berjuang bersama mendampingi teman-teman Komunitas Guru Belajar. Seperti Eric Clapton, semoga apa yang kami lakukan bisa membuat kami benar-benar berefleksi dan melakukan hal dengan lebih baik dalam mendampingi teman-teman KGB.

Memang Beda, Tapi Kami Memilih Jalan Bersama

Berangkat dari arah berbeda, kami berkumpul di Stasiun Rawa Buntu, menuju satu tujuan, melakukan refleksi bersama. Saya berangkat dari Kantor Pusat Cikal di Cilandak. Amel, anggota terbaru kami, berangkat dari kos seusai penerbangan Lombok – Jakarta. Empat anggota tim yang lain, Baja, Rizqy, Mahayu dan Maman berangkat dari kantor kami. Lengkap lah enam orang tim Kampus Guru Cikal. Kami berenam merasakan terik siang yang sama, terik yang menusuk kulit kepala. Kami menantikan kereta yang sama, kereta yang akan membawa kami ke Ujungkulon, menuju Honje Ecoledge.  Kami berenam memang berasal dari daerah yang berbeda, dua berasal dari Jawa Timur, dua berasal dari Jawa Tengah, satu dari Jakarta dan satu dari Sumatera. Kami berbeda pula masa bergabungnya di Kampus Guru Cikal. Baja dan saya adalah anggota terlama, disusul oleh Rizqy. Awal tahun ini bergabung Mahayu, dan semester ini, Maman dan Amel baru saja bergabung. Meski bekerja di kantor yang sama, kami menjalankan peran yang berbeda. Saya dan Amel di Manajemen Belajar, Mahayu dan Baja di Pelibatan Komunitas, sementara Rizqy dan Maman di Manajemen Pengetahuan. Bila mau mencari perbedaan kami, sama sekali tidak susah. Dari hal-hal yang kasat mata saja sudah berbeda, belum lagi bicara keterampilan, minat, aspirasi, kepribadian dan cita-cita. Kami memang beda. Tapi Jumat siang itu, kami bersepakat melakukan perjalanan, tujuan dan cara yang sama. Perjalanan refleksi akhir tahun.  Di dunia perhotelan dikenal istilah peak season. Begitu kiranya akhir tahun bagi kami, lembaga pengembangan karier guru. Selepas Temu Pendidik Nusantara, kami sudah dihadapkan dengan berbagai proyek, di luar misi utama kami menemani Komunitas Guru Belajar. Proyek literasi Pesisir Selatan dan proyek bersama IniBudi di ujung selesai. Kami sudah dinanti proyek literasi di Jawa Timur (2 daerah), proyek pengembangan guru PAUD di NTB (2 daerah), proyek pengembangan murid penyandang disabilitas bersama Nusantarun (2 – 3 daerah), proyek Foundation Program untuk penyiapan guru baru Cikal (1 daerah) dan proyek Temu Pendidik Nusantara 2019 (9 daerah). Satu tim, enam orang, tujuh proyek dan banyak daerah 🙂 Apa yang harus kami lakukan? Alih-alih ngebut mengerjakan proyek, kami memilih berhenti, karena sadar jalan masih panjang. Perjalanan panjang butuh banyak bekal. Bekal sebagai tim berupa pengalaman positif bersama, pengalaman yang layak diperbincangkan bertahun-tahun kemudian.  Dua hari sebelumnya, kami memutuskan menggunakan voting untuk menentukan moda transportasi. Empat dari kami memilih moda transportasi kereta kemudian baru memikirkan di tempat tujuan antara. Pilihan nekat karena perjalanan panjang yang menuntut berganti moda transportasi. Itulah kenapa di siang yang terik ini justru kami berkumpul di stasiun Rawa Buntu menuju stasiun terakhir di Rangkas Bitung.  Tantangan pertama berdiri di kereta hampir dua jam. Sudah dihajar panas terik, lanjut berdiri pula. Lima dari kami ngobrol iseng, satu yang lain membaca buku dari penulis favoritnya. Sampai di Rangkas Bitung, kami keluar dari stasiun dan mulai mencari kendaraan untuk melanjutkan perjalanan 4 jam menuju Ujungkulon. Kami menuju terminal, mencari mobil bak terbuka atau angkutan umum yang mau disewa. Cari sana sini, akhirnya kami memilih seorang sopir angkutan umum untuk menemani perjalanan kami. Awalnya kami mau diantar ke terminal Mandala untuk mencari kendaraan ke arah Ujung Kulon, tapi di sepanjang perjalanan terjadi obrolan disertai tawar menawar. Akhirnya sang bapak bersedia mengantar sampai ke tempat tujuan.  Dua jam pertama perjalanan penuh semangat. Mobil angkot yang kami tumpangi melaju pada kecepatan rata-rata 50 km/jam, kecuali di 1 – 2 titik tertentu. Kami pun masih penuh semangat, obrolan ringan disertai karaoke tembang kenangan *eh. Satu jam berikutnya, keadaan sudah mulai sunyi. Pak sopirnya pun sesekali lepas konsentrasi yang mengakibatkan angkotnya melompat sekali dua kali di jalan dan jembatan yang memberi kejutan. Mulai bertanya, apakah masih jauh? Mana tujuan sebenarnya? Pertanyaan yang mengusik di perjalanan yang semakin banyak diwarnai tanjakan dan turunan curam.  Satu jam terakhir, suasana terus menurun. Pak sopir mulai bicara ditunggu temannya. Jalan semakin sempit. Dan banyak sekali bagian badan jalan yang rusak parah. Kecepatan maksimal 30 km/jam, kecepatan rata-rata turun menjadi 15 km/jam, karena seringkali kendaraan terpaksa berjalan 5 – 10 km/jam karena jalan yang rusak. Saya sudah berpikir apa jadinya bila Pak Sopir menolak melanjutkan perjalanan. Akankah kami jalan kaki menembus hutan yang gelap? Pak Sopirnya sendiri sudah mengeluh tidak berani balik pulang sendiri. Bukan takut pada orang, tapi takut pada penghuni hutan. Entah apa  Setelah menempuh satu jam menegangkan, kami pun tiba di Honje Ecoledge sekitar pukul 8 malam. Legaaaaaa……… Kami disambut makan malam yang nikmat. Atau karena kami lapar setelah bergoncang di angkot selama 4 jam?  Setelah sebagian mandi (tebak siapa?), sebagian lagi tetap duduk santai. Malam itu, acara tidak sesuai rencana. Kami memilih duduk di beranda rumah penginapan. Topik obrolan tentang fiml dan serba-serbinya. Tanpa terasa sudah hampir tengah malam. Kami pun masuk ke tiga kamar di rumah penginapan.  Apa artinya waktu berhenti? Itu lah yang saya rasakan pada hari Sabtu di Honje. Pagi subuh sebagian dari kami sudah di tepi pantai yang sepelemparan batu dari rumah penginapan. Tepat sesuai jadwal, Baja memimpin kami untuk senam pagi. Senam sebentar dan kemudian lanjut melakukan aktivitas pantai bagi yang mau. Sebentar saja, ketua panitia sudah memanggil. Kami pun makan dan mandi pagi untuk memulai sesi refleksi personal.  Kami diminta untuk berburu dua foto yang menggambarkan perubahan positif yang kami alami dan harapan di masa mendatang. Waktunya satu jam. Saya memanfaatkan waktu dengan berburu foto ke area pantai yang belum saya kunjungi pada dua kunjungan sebelumnya. Area pantai yang ditumbuhi pohon, sebagian diantaranya pohon bakau. Saya dibuat kagum oleh sejumlah pohon. Ada satu pohon yang tegak lurus berdiri meski sendiri dikelilingi air laut. Ada tiga pohon yang berdiri sejajar, seolah bergandengan tangan menghadang ombak. Keduanya saya foto dan ceritakan di sesi refleksi personal.  Saya punya banyak teman sepemikiran. Saya pun dulu mendidik mahasiswa untuk memenuhi panggilan hidup, mengaktualkan potensi dan mengejar cita. Tidak banyak yang bertahan. Lebih banyak memilih bekerja semata mendapatkan uang. Ketika muda, mahasiswa saya bertanya tentang idealisme. Semakin lama, semakin jarang dan memilih jalan kompromi. Awalnya kompromi untuk tetap jadi idealis, makin lama kompromi hanya demi kompromi, menjadi satu. Teman dari masa lalu menjadi semakin sedikit yang sejalan. Terlebih masuk dunia pendidikan. Pendidikan menumbuhkan adalah jalan yang sepi. Mayoritas masyarakat, bukan saja … Read more

Kebutuhan Belajar

Sewaktu SMA saya tidak berani ke ibukota sendirian, karena kabar-kabar dari televisi, dari omongan orang bahwa ibukota kejam, tidak aman, macet dan sulit tranportasinya. Namun beberapa tahun belakangan ini, banyak murid saya seusia SMA yang sudah bolak-balik ke ibukota. Ketakutan-ketakutan saya dulu sepertinya sudah mulai berkurang. “Kamu kok berani ke Jakarta sendirian?” tanyaku.“Sekarang apa-apa mudah kok Pak. Kemarin beli tiket kereta saja tidak perlu ke stasiun. Kalau udah sampai Jakarta juga mudah Pak, ada banyak ojek online, langsung sampai rumah orangtua di Jakarta”, jawabnya. Apa yang menjadi masalahku sewaktu SMA dulu ada jawabannya sekarang. Masyarakat butuh kenyamanan, kemudahan dan keamaan dalam memakai transportasi umum, muncullah aplikasi transportasi online. Masyarakat butuh kemudahan dalam pembelian tiket, pemesanan hotel muncullah Traveloka, Airbnb,dsb. Masyarakat butuh kemudahan berbelanja, muncullah tokopedia, bukalapak, shopee dan sebagainya. Startup-startup di atas memahami masalah yang ada pada masyarakat dan kemudian menciptakan solusi, menjawab persoalan kebutuhan yang selama ini tidak terpikirkan. Ya, kebutuhan! Seringkali kita lupa hal yang mendasar yaitu kebutuhan. Sebagai guru contohnya : Menghabiskan uang untuk membeli media-media pembelajaran, sampai berjuta-juta. Namun nyatanya hanya untuk pajangan di kelas. Membeli rencana pelaksanaan pembelajaran, yang nyatanya apa yang ada di dalamnya tidak sesuai dengan murid yang diajar. Ikut-ikutan trends tidak memberikan tugas di rumah, ikut-ikutan cara mengajar guru di suatu sekolah yang nyatanya tidak pas diterapkan di lingkungan tempat kita mengajar. Tidak pernah bertanya pada diri sendiri “Apa sekolahku butuh ini ya?”, “Apa kelasku butuh ini ya?” “Apakah murid yang aku ajar benar-benar butuh?” Para pendiri strartup-startup tahu benar apa yang dibutuhkan masyarakat, melakukan riset bertahun-tahun, memetakkan apa yang dibutuhkan, menciptakan jawaban dari kebutuhan itu. Pertanyaanya adalah sudahkah kita melakukan riset di kelas? Memetakkan apa yang menjadi kebutuhan belajar murid?

Semangat Merdeka Belajar di Pesisir Selatan

Semangat guru Pesisir Selatan dalam mengikuti pelatihan sungguh luar biasa. Padahal mereka guru PNS yang sering dinilai tidak suka mengembangkan diri. Kok bisa? Saya bersama dua pelatih, Ibu Unun dan Ibu Nuli berangkat ke Pesisir Selatan. Kami akan mengadakan pelatihan Merdeka Belajar dan Memanusiakan Hubungan yang berlokasi di kota Painan yang merupakan ibu kota Pesisir Selatan. Jarak Painan dari kota Padang kurang lebih 72 kilometer yang membutuhkan waktu tempuh 2 jam. Pelatihan tiga hari ini merupakan bagian dari Playground of Minang, program Sekolah Cikal untuk berkontribusi terhadap kualitas pendidikan Indonesia. Pada tahun ini, Cikal memilih Minang sebagai fokus belajar yang dipelajari para murid sehingga disebut sebagai Playground of Minang. Kegiatan ini melibatkan murid, guru, orangtua, manajemen dari Rumah Main Cikal, Sekolah Cikal dan Kampus Guru Cikal. Kami datang di lokasi pelatihan jam 07.00, UPTD kecamatan IV Jurai, Kabupaten Pesisir Selatan. Para peserta pelatihan yang merupakan guru dan kepala sekolah datang dengan semangat membara. Pelatihan dimulai dengan kegiatan penyemangat, setiap peserta mendapatkan kertas dengan berbagai jenis aktivitas dengan maksud agar mengenal satu sama lain. Setelah itu pelatih menyampaikan materi Merdeka Belajar. Mengapa diawali dengan Merdeka Belajar, padahal tema POMIN tahun ini adalah “2000 Anak Sumatera Barat Melek Literasi dengan Memanusiakan Hubungan”? Pelatih menjelaskan pentingnya mempelajari materi dasar sebelum mempelajari literasi. Karena melalui merdeka belajar, guru dapat mengembangkan belajar berkelanjutan baik pada diri sendiri maupun pada muridnya. Ciri merdeka belajar itu sendiri yaitu berkomitmen pada tujuan, mandiri terhadap cara, dan melakukan refleksi. Pada hari kedua dan ketiga, peserta mempelajari Memanusiakan Hubungan dengan semangat merdeka belajar yang telah dipelajari sebelumnya. Tujuan dari materi ini adalah adanya pemahaman bermakna bahwa keberlangsungan kegiatan belajar mengajar memerlukan interaksi positif antarmanusia yang ada di sekolah. Peserta dipandu membuat kesepakatan bersama, membedakan antara hukuman dan konsekuensi dan menerapkan lima posisi kontrol sebagai acuan komunikasi dalam membangun disiplin positif. Semangat para peserta semakin membara di hari terakhir pelatihan. Semua antusias dan terlibat dalam semua aktivitas yang dipandu oleh pelatih. “Pelatihan ini merupakan pelatihan yang jelas, jelas dalam artian kami jadi tahu tujuan kami,  dimana posisi kami dan apa yang harus kami lakukan untuk mencapai tujuan dan semoga kami tidak bergerak sendirian, tapi juga didukung oleh sekolah” tutur Ibu Rahmi yang juga merupakan penggerak Komunitas Guru Belajar setelah mengikuti pelatihan. Pelatihan ditutup dengan tanya jawab bersama Kepala Dinas Pendidikan Pesisir Selatan. Pada sesi penutup, para peserta mengungkapkan harapan mereka agar pelatihan seperti ini diadakan lebih sering dan dapat dihadiri oleh lebih banyak guru. Mereka juga meminta dukungan dari pihak Dinas Pendidikan agar para kepala sekolah dapat mendukung proses penerapan praktik hasil pelatihan di sekolah mereka. “Pelatihan hebat yang belum pernah saya dapatkan selama kurang lebih 10 tahun saya menjadi seorang pendidik di SD, ternyata selama ini kami pendidik di Pesisir Selatan khususnya, banyak sekali kurangnya dari segala segi, semoga Kampus Guru Cikal selalu membimbing kami baik daring maupun luring” tutur Ibu Elvadeni salah satu peserta pelatihan.

Belajar Menjadi Guru Belajar

Awal tahun 2015, saya janjian ketemu dengan dua pendidik perempuan, Najelaa Shihab dan Tari Sandjojo di sebuah cafe di pusat Jakarta. Sambil sesekali menghirup minuman, kami membicarakan berbagai kemungkinan kerjasama untuk melakukan perubahan pendidikan. Hasil pembicaraan tersebut, saya bergabung di Cikal. Saya bergabung di Cikal sejak 1 Mei 2015, tepatnya di Lifelong Learning – School of Education (LLE), lembaga Cikal yang bergerak melakukan pelatihan guru, yang sekarang lebih dikenal sebagai Kampus Guru Cikal. Peran saya sebagai Manajer Pengembangan yang bertanggung jawab melakukan persiapan pendirian pendidikan S1 guru. Sebuah rencana yang sampai saat ini masih menjadi rencana karena terkendala moratorium ijin pendirian pendidikan keguruan. Cerita awalnya bisa dibaca di sini. Pada awalnya, komitmen saya bertahan di Cikal adalah dua tahun, dengan asumsi tanggung jawab bisa selesai dalam 2 tahun. Sekarang sudah lebih dari 3 tahun dan saya memilih bertahan di Cikal. Apa yang membuat saya bertahan di Cikal? Judul tulisan ini adalah jawaban singkatnya, belajar menjadi guru belajar. Jawaban panjangnya akan saya coba uraikan Belajar pendidikan menumbuhkan Ketika dikenalkan dengan tim Cikal, biasanya saya dikenalkan sebagai penulis buku Anak Bukan Kertas Kosong dan tentu ada ekspresi kagum. Padahal ketika saya mengikuti Foundation Training, pelatihan untuk tim baru Cikal, saya justru belajar banyak sekali tentang pendidikan menumbuhkan. Belajar pendidikan bukan dari para ahli, tapi dari guru yang mempraktikkan pendidikan menumbuhkan setiap hari. Apa yang dulu menjadi angan-angan ideal, saya saksikan di kenyataan. Pengalaman tentang Fondation Training bisa dibaca di sini. Saya belajar disiplin positif, pendekatan untuk menumbuhkan kedisiplinan tanpa hukuman dan sogokan. Saya belajar strategi inkuiri, pendekatan untuk memandu murid menemukan pemahaman yang esensial. Saya belajar diferensiasi, pendekatan untuk mengembangkan cara pengajaran yang beragam berpusat pada murid. Saya belajar asesmen, pendekatan untuk memberi umpan balik pada murid dan guru sepanjang proses belajar. Saya belajar service learning, pendekatan untuk memandu murid menyelesaikan persoalan nyata di kehidupan. (Di kemudian hari, poin-poin yang saya pelajari ini disebut sebagai Cara Mengajar 5M). Jangan bayangkan kerumitannya. Saya belajar hal sederhana. Dulu ketika jadi fasilitator, saya mengajak peserta yang orang dewasa melakukan refleksi. Ternyata di Cikal, saya dibuat kagum dengan hasil refleksi yang dilakukan murid, bahkan pada kelas kecil. Saya baca hasil refleksi para murid yang ditempel di dinding kelas, dan membayangkan semangat belajar dibalik tulisan tersebut. Saya belajar dari sebuah sekolah yang bisa memberi contoh baik untuk guru maupun sekolah yang lain. Belajar bersama guru dari penjuru nusantara Saya lupa persisnya, tapi yang jelas di antara sejumlah obrolan dengan Najelaa Shihab, tercetus gagasan mengembangkan komunitas guru. Satu kalimat yang saya ingat, “Kita ingin anak-anak di seluruh Indonesia bisa mendapatkan pendidikan berkualitas seperti Cikal, dengan maupun tanpa harus masuk Cikal”. Dari cita-cita itu, Cikal menginisiasi komunitas guru yang disebut Komunitas Guru Belajar. Namanya sederhana, tiga kata esensial yang menggambarkan cita dan cara. Cita dan cara yang dirumuskan dalam buku Panduan Komunitas Guru Belajar 1.0. Saya pun mulai menghubungi teman-teman yang menjadi guru di berbagai daerah. Saya jelaskan misi komunitas, manfaat dan aktivitasnya. Seorang teman di Sorowako, Bu Hesti, tertarik bergabung dan mengadakan Temu Pendidik pertama yang mengikuti Panduan Komunitas Guru Belajar. Saya berangkat ke Sorowako melalui dua penerbangan. Kisah Temu Pendidik Sorowako bisa dibaca di sini. Kiprah Komunitas Guru Belajar Sorowako menjadi bahan cerita sehingga akhirnya beberapa teman tertarik dan terlibat dalam pendirian Komunitas Guru Belajar. Mereka bersama rekan guru yang lain dari 10 daerah pada akhirnya ikut deklarasi pendirian Komunitas Guru Belajar yang dilakukan pada Temu Pendidik Nusantara 2015. Dan semenjak itu, saya melakukan perjalanan ke berbagai daerah untuk belajar dari guru, seperti ke Pekanbaru, Maluku, Makassar, Sinjai atau safari 6 kota di Jawa Timur. Beberapa perjalanan memang penugasan resmi dari Cikal, beberapa perjalanan adalah agenda pribadi yang saya selipin agenda Komunitas Guru Belajar. Sekali mengayuh, dua tiga pulau terlampui 🙂 Saya belajar dari guru tentang keterbatasan, kerumitan administrasi, dan resiko politik. Saya belajar bagaimana segala kesulitan tersebut tidak meruntuhkan semangat belajar. Saya berjumpa dengan guru-guru yang sama sekali berbeda dengan sosok guru yang ditampilkan di media atau jadi bahan obrolan di media sosial. Sosok di media dan media sosial seringkali menampilkan guru yang tidak berdaya, layak dikasihani dan butuh bantuan. Saya justru menemui guru berdaya, penuh perjuangan, dan butuh teman seperjuangan. Bagi saya pribadi, sebuah kehormatan bisa menjadi teman perjalanan para guru berdaya tersebut. Dalam sebuah obrolan dengan Najelaa Shihab, saya merevisi komitmen saya, “Saya berkomitmen dua tahun di Cikal, tapi menjadi teman perjalanan Komunitas Guru Belajar adalah komitmen saya sepanjang hidup”. Belajar menghadapi tantangan perubahan Saya bocorkan rahasia Cikal……..Cikal itu bukan lembaga yang sempurna, banyak hal yang perlu diperbaiki dan dikembangkan lagi. Meski tidak sempurna, Cikal adalah lembaga yang selalu belajar. Setiap tahunnya ada saja inisiatif perubahan yang dilakukan, minor maupun mayor, improvisasi maupun inovasi. Dan setiap kali inisiatif perubahan, setiap kali pula kesempatan bagi semua anggota, bisa terlibat di dalamnya. Sepanjang tahun yang saya alami, sepanjang itu pula saya mendapat tantangan perubahan. Saya beri contoh sederhana yang tampak mata, Temu Pendidik Nusantara. Pada tahun 2014, LLE (sebelum menjadi Kampus Guru Cikal) mengadakan konferensi pendidikan sehari, gabungan seminar dan kelas lokakarya. Pada tahun 2015, konferensi tersebut berubah nama menjadi Temu Pendidik Nusantara, dengan format yang relatif tetap. Pada tahun 2016, Temu Pendidik Nusantara resmi disebut sebagai Konferensi Tahunan Komunitas Guru Belajar. Formatnya masih sama, seminar dilanjutkan dengan kelas lokakarya, hanya jumlah hari bertambah, kelas bertambah, peserta bertambah dan Komunitas Guru Belajar daerah yang terlibat pun bertambah. Kisah TPN 2016 bisa dibaca di sini. Temu Pendidik Nusantara 2017 menjadi semakin jelas arahnya, kegiatan untuk pengembangan guru. Bila sebelumnya, seminar dengan pembicara kunci di awal kegiatan dengan asumsi memancing minat peserta, maka seminar di TPN 2017 digeser menjadi penutupan, karena ternyata guru hadir lebih didorong untuk kemajuan belajar dan berkolaborasi dengan sesama guru, dibandingkan berjumpa pembicara kunci. Jenis dan format kelasnya pun mengikuti Kerangka 4 Kunci Pengembangan Guru: Kemerdekaan, Kompetensi, Kolaborasi dan Karier. Setiap jenis kelas menggambarkan tahapan dan memenuhi kebutuhan berbeda dalam perjalanan karier seorang guru. Jadi bila dulu, guru cukup puas dengan menjadi pelatih di kelas lokakarya, kini masih ada dua kunci lainnya, kolaborasi dan karier. Perubahan mendasar ini mendapat respon luar biasa dari peserta. … Read more