3 Alasan Mengapa Harus Tinggalkan Kurikulum 2013

Kementerian Pendidikan, Budaya, Riset, dan Teknologi secara resmi meluncurkan Kurikulum Merdeka pada 11 Februari lalu. Kurikulum yang sebelumnya sempat disebut kurikulum prototipe tersebut diterapkan secara bertahap sesuai dengan kesiapan masing-masing sekolah. Saat ini hingga 2024, sekolah dapat memilih tiga opsi kurikulum yang bisa diimplementasikan, yakni Kurikulum 2013 (K-13), Kurikulum Darurat, dan Kurikulum Merdeka. Kendati demikian, Bukik Setiawan, Ketua Yayasan Guru Belajar, menyarankan agar sekolah segera meninggalkan Kurikulum 2013. “Setidaknya ada tiga alasan logis mengapa kita harus meninggalkan K-13, yaitu adanya miskonsepsi kompetensi, tuntutan pembelajaran yang terlampau tinggi, serta batasan waktu yang terlalu kaku,” jelasnya. Aktivis pendidikan yang akrab disapa Bukik tersebut menerangkan, kompetensi merupakan kesatuan antara sikap, pengetahuan, dan keterampilan seseorang untuk melakukan suatu kinerja. Namun, di dalam K-13 ketiganya menjadi komponen penilaian yang terpisah. Akibatnya proses penilaian menjadi rumit dan menghabiskan energi karena harus membedakan penilaian sikap, pengetahuan, dan keterampilan. Baca juga: Project-Based Learning dan Penerapannya Bukik juga menuturkan, K-13 memiliki tujuan pembelajaran yang tidak realistik dan relevan. Pasalnya, terlalu banyak konten yang harus dirampungkan oleh murid. Hingga akhirnya murid hanya belajar menghafal dan tidak memahami apa yang sedang mereka pelajari. “Anak hanya perlu belajar hal esensial yang sesuai dengan perkembangannya. Relevan dan realistik namun menantang,” tukas Bukik. Dengan sekian banyak konten pembelajaran, murid pun hanya diberi waktu yang singkat untuk memahaminya. Menyebabkan tidak hanya murid yang menderita ketika belajar tapi juga guru menderita mengajar. Guru terpaksa melanjutkan pembelajaran atau mengejar materi meski tahu muridnya belum menguasai apa yang diajarkan. Baca juga: Mengajar yang Efektif Saat Pandemi “Guru dan satuan pendidikan tidak memiliki keleluasaan untuk menyesuaikan durasi pembelajaran. Setiap tujuan pembelajaran dikunci dalam satuan minggu. Murid yang belum paham hal dasar dipaksa belajar hal yang lebih kompleks,” jelas Bukik. Apabila belum siap menerapkan Kurikulum Merdeka, Bukik lebih menyarankan agar sekolah menggunakan Kurikulum Darurat. Kurikum ini merupakan K-13 yang telah disederhanakan oleh pemerintah pada awal masa pandemi. Bukik mengungkapkan hasil riset yang menunjukkan kompetensi pembelajaran murid dengan Kurikulum Darurat jauh lebih baik dari K-13. Skor literasi maupun numerasi meningkat setidaknya 30 poin. “Guru dan orangtua adalah praktisi pembelajaran. Sedangkan anak adalah pihak yang paling merasakan dampak kurikulum. Pemilihan kurikulum yang tepat dapat menyelamatkan anak-anak kita dari learning loss akibat pandemi COVID-19,” imbuhnya.

Project-Based Learning dan Penerapannya

Bagaimana Menerapkan Project-Based Learning yang benar? Koordinator Pengembangan Program Yayasan Guru Belajar, Ilona Christina Kakerissa, menjadi salah satu narasumber pembekalan Kampus Mengajar angkatan ketiga pada Senin (21/02/2022). Kampus Mengajar merupakan program Kemendikbud dan Ristek yang melibatkan mahasiswa untuk membantu menyelesaikan permasalahan pembelajaran di sekolah akibat pandemi. Pada kesempatan tersebut, Ilona mengungkapkan masih banyak guru yang mengalami miskonsepsi terhadap project–based learning (PBL) atau pembelajaran berbasis proyek. Ilona menjelaskan, ada perbedaan sangat mendasar antara Project-Based Learning dengan hanya  mengerjakan proyek. Menurutnya, mengerjakan proyek seringkali hanya mementingkan produk akhir, diseragamkan untuk semua murid, tidak relevan dengan lingkungan nyata murid dan dilaksanakan berdasarkan instruksi guru. “Misalnya, guru meminta murid mengamati keadaan sekitar rumahnya yang banyak sampah. Kemudian guru meminta murid membuat poster agar orang tidak membuang sampah sembarangan. Ini bukan proses PBL,” terangnya. PBL seharusnya digerakkan oleh student’s inquiry yang mana murid memang harus aktif dalam setiap prosesnya. PBL berkaitan dengan masalah yang nyata berada di lingkungan murid. Hal tersebut seringkali dilewatkan oleh guru, bahkan oleh banyak pembicara yang memandu PBL.  “Ada tujuan besar yang mau dicapai dari PBL yaitu untuk pengembangan karakter dan keterampilan sebagaimana yang dicita-citakan di dalam profil pelajar Pancasila.Di dalam PBL, murid merekonstruksi sendiri penemuannya akan suatu pengetahuan, keterampilan yang dia dapatkan selama proses PBL,” jelas Ilona. Sedangkan mengerjakan proyek bertujuan hanya untuk mengaplikasikan materi yang sudah diajarkan sebelumnya. “Seperti kolaborasi Fisika dan Matematika, guru mengajak murid membuat roket dari botol yang bisa diterbangkan. Sangat asik, ya. Tapi kemudian ketika murid kembali ke masyarakat, akan bertanya, untuk apa saya tadi menerbangkan roket? Relevansinya dengan kehidupan saya bagaimana?,” tukas Ilona.  4 Langkah Penerapan Project-Based Learning Ilona kemudian menjelaskan empat langkah yang tidak boleh dilewatkan guru saat melaksanakan PBL. Pertama, mendorong murid untuk mengobservasi lingkungan sekitar dan mendefinisikan masalah. Biasanya akan muncul pertanyaan-pertanyaan sebelum akhirnya mereka dapat menemukan masalah yang ada. “Pada tahap pertama ini saja, sudah ada pelajaran penting untuk murid yaitu belajar untuk peka terhadap lingkungan sekitar. Kemampuan observasi dan mengajukan pertanyaan itu tentu bukan hal yang mudah kalau tidak dibiasakan,” jelas Ilona. Selanjutnya yakni tahapan menghasilkan ide. Di tahap ini biarkan murid saling bertukar pikiran dengan teman-temannya mengenai apa yang mereka dapatkan setelah observasi. Ilona menjelaskan, pada fase ini seringkali guru tidak mengapresiasi ide yang dihasilkan oleh murid. “Selalu apresiasi ide murid, segila apa pun, entah baik maupun buruk. Sebab kreativitas dan kemampuan bernalar murid muncul dan berkembang dari proses ini.” Fase berikutnya, yaitu perancangan prototipe solusi. Murid dapat berkreasi untuk menentukan pilihan solusi terhadap permasalahan yang mereka temukan. Pilihan solusi dapat disesuaikan dengan minat dan bakat mereka. Intinya dalam setiap proses, biarkan suara dan pilihan murid yang bekerja.  Lalu tahapan terakhir yakni uji coba. Ilona merekomendasikan agar pengujian dilaksanakan tidak hanya dengan rekayasa, tetapi diuji coba secara langsung. Seperti yang ditunjukkan dalam video yang sempat ia putarkan sebelumnya. Baca Juga: Praktik Pembelajaran Berbasis Proyek: Students’ Movie Project “Tidak menutup kemungkinan seperti yang ada di video tadi. Pada penerapan uji coba, guru mengundang pejabat kota untuk mendengarkan masukan dari anak kelas 2 SD terhadap permasalahan yang ada di taman kota,” tukasnya. Pada akhir acara, Ilona menyatakan harapan, mahasiswa peserta Kampus Mengajar dapat membantu menyelesaikan miskonsepsi yang ada di berbagai sekolah terkait PBL. Pasalnya, PBL yang benar dapat membantu murid menumbuhkan ribuan keterampilan, karakter. “PBL merayakan proses, bukan hasil akhir. Proses dalam PBL membantu guru mempersiapkan murid untuk siap hidup ketika kembali ke masyarakat. Bukan belajar hanya untuk menyelesaikan materi dan mendapat nilai 100 di atas kertas saja,” pungkas Ilona.

Mengajar yang Efektif Saat Pandemi

Bagaimana cara mengajar efektif saat Pandemi? Pandemi mendatangkan beragam tantangan baru bagi para pendidik, baik guru, kepala sekolah, hingga orang tua murid. Ada kekhawatiran tidak dapat memberikan pembelajaran bermakna karena sekolah tatap muka ditiadakan. Merespon hal tersebut, Kampus Pemimpin Merdeka (KPM) bersama NusantaRun menginisiasi program #TerusBelajar. #TerusBelajar salah satunya diadakan di Ponorogo, untuk memfasilitasi ratusan pendidik agar belajar bersama menghadapi situasi yang sudah berubah sejak pandemi. #TerusBelajar diadakan sejak bulan Agustus 2021, semua peserta mendapatkan beberapa modul yang dapat diakses secara online. Dari modul itu, pendidik dapat belajar bagaimana caranya untuk menerapkan prinsip merdeka belajar untuk proses belajar yang berpihak pada anak. Baca Juga: Pembelajaran Jarak Jauh yang Menyenangkan Hari Selasa (22/02/2022), 176 peserta penggerak dari Kabupaten Ponorogo merayakan proses belajarnya di STKIP PGRI Ponorogo. Perayaan tersebut dihadiri oleh Imam Muslimin, Ketua Bidang Sekolah Dasar, Dinas Pendidikan Kabupaten Ponorogo, Bukik Setiawan, ketua Yayasan Guru Belajar, dan Rizqy Rahmat Hani selaku ketua KPM. Rizqy, sapaan akrabnya, menjelaskan, selama masa pandemi murid kesulitan belajar hingga mengalami learning loss  yang semakin parah. Pasalnya, ekosistem pendidikan belum siap untuk memberi dukungan belajar yang kondusif pada murid. Bahkan mungkin sejak sebelum pandemi, banyak pendidik yang masih mengalami miskonsepsi mengajar. “Guru masih beradaptasi membuat pelajaran yang bermakna, kepala sekolah terus mencari cara untuk menjadi pemimpin saat pandemi, serta orangtua yang kebingungan dengan situasi ini. Akhirnya, dampak terbesarnya ada pada murid,” terang Rizqy. Inilah Cara Mengajar yang Efektif Saat Pandemi Salah satu peserta dan penggerak #TerusMengajar, Maria Kurniawati mengungkapkan, setidaknya terdapat dua hal yang harus diperhatikan agar mengajar yang efektif dapat memberikan pembelajaran yang bermakna pada murid. “Pertama yaitu tentukan dulu tujuannya dengan melibatkan murid. Ini menjadi penting karena tujuan adalah motivasi yang menggerakkan seseorang untuk belajar. Hal ini bisa meliputi apa pentingnya mempelajari ini atau mengapa hal ini yang dipelajari?,” terang Maria yang juga merupakan Kepala TK Merak Ponorogo. Sejak penentuan tujuan ini, Maria menegaskan memang perlu mengutamakan prinsip memanusiakan manusia dengan memetakan empati. Guru harus sadar bahwa murid tumbuh dengan kemampuan, minat, bakat, dan lingkungan yang berbeda. “Bagaimana dengan lingkungan keluarga besarnya, ayah, ibunya. Ini perlu waktu untuk belajar memahaminya. Namun tidak boleh terlewat karena dampaknya akan sangat besar,” tukasnya. Dari analisis tersebut, guru dapat memahami, setiap murid memiliki potensinya masing-masing. Potensi tersebut akan mengantarkan mereka untuk mencapai tujuan pembelajarannya. Selain itu, Maria menyarankan agar guru maupun kepala sekolah untuk rajin bergabung dengan gerakan-gerakan pendidik, seperti misalnya Temu Pendidik Daerah dan Temu Pendidik Nusantara. “Setelah belajar modul, saat itu saya ikut Temu Pendidik Daerah. Di situ saya mendapatkan penguatan dari yang sudah dipelajari. Tepatnya, saat itu mendapatkan pencerahan mengenai pembelajaran project dan STEAM,” jelas Maria. Tidak hanya berhenti di situ, Maria aktif untuk menularkan cara mengajarnya ke guru lain hingga menerapkan prinsip merdeka belajar ke muridnya. Baginya saat ini, pembelajaran tatap muka maupun jarak jauh tidak menjadi masalah. “Saya dan guru lainnya tidak lagi terkungkung harus home visit, Zoom, atau sejenisnya. Pembelajaran tatap muka mungkin cukup satu hingga dua kali seminggu. Selebihnya dapat dilakukan secara mandiri dan kami mendampingi dari jauh. Dari modul-modul itu, saya belajar untuk bisa bergerak mengajar dengan lebih fleksibel,” pungkasnya. — Kampus Pemimpin Merdeka merupakan lembaga pendidikan yang mendampingi jajaran pimpinan sekolah untuk menjadi penggerak dan pemimpin perubahan demi pendidikan yang #MerdekaBelajar dan berpihak pada anak.  Kampus Pemimpin Merdeka telah mendampingi lebih dari 100.000 pendidik dari 40 daerah yang tersebar di seluruh wilayah Indonesia. Kampus Pemimpin Merdeka (KPM) bersama NusantaRun menginisiasi program #TerusBelajar di lima daerah di Jawa Timur, salah satunya Kabupaten Ponorogo. Program ini memfasilitasi ratusan pendidik agar belajar bersama menghadapi situasi yang sudah berubah sejak pandemi. Salah satu peserta penggerak #TerusBelajar Kabupaten Ponorogo, Maria Kurniawati, berbagi bagaimana caranya agar dapat tetap memberikan pembelajaran yang bermakna untuk murid di masa pandemi. Hal tersebut ia dapatkan pasca mengikuti program #TerusBelajar sejak Agustus 2021 lalu.

Bupati Maryoto Terima Audiensi Yayasan Guru Belajar, Akui #TerusBelajar Tingkatkan Kompetensi Guru

Ketua Yayasan Guru Belajar (YGB), Bukik Setiawan, melakukan audiensi kepada Bupati Tulungagung, Maryoto Birowo, pada hari Rabu (23/02/2022). Maryoto didampingi oleh Kepala Dinas Pendidikan dan Kabid Pembinaan Guru dan Tenaga Kependidikan, Hariyo Dewanto dan M. Ardian Candra. Pertemuan tersebut merupakan upaya YGB untuk mempererat relasi pasca diadakannya program #TerusBelajar di Kabupaten Tulungagung  sejak Agustus 2021. #TerusBelajar merupakan program Kampus Pemimpin Merdeka sebagai salah satu unit kerja YGB,  di lima kabupaten di Jawa Timur. Program yang bertujuan memulihkan pembelajaran dari learning loss akibat pandemi ini diprakarsai bersama NusantaRun. “Total ada 400an pendidik yang diwisuda atau sudah berhasil menyelesaikan #TerusBelajar. Meskipun baru pertama kali dan bukan program dari pemerintah, Alhamdulillah, sudah ramai yang ikut,” ungkap Bukik. Baca Juga: Apakah Merdeka Belajar Itu? Ia berharap, YGB, Lintas Daerah Belajar, dan pemerintah daerah Tulungagung dapat menjajaki kemungkinan kerjasama yang lebih. Pasalnya, isu pendidikan di Indonesia saat ini tidak hanya berkaitan dengan learning loss, namun juga asesmen nasional dan penerapan kurikulum merdeka. Terlebih usai ujian nasional ditiadakan, ada perubahan indikator ketercapaian kinerja pendidikan. Bukik mengatakan pemerintah daerah merupakan pihak yang akan paling terdampak dengan perubahan tersebut.  Menanggapi ajakan Bukik, Maryoto menyambut apa yang dilakukan YGB di Tulungagung. #TerusBelajar selaras dengan poin pertama dari lima program utama pembangunan nasional yakni pembangunan manusia. Maryoto melihat program tersebut akan membantu pendidik di Tulungagung untuk dapat meningkatkan kompetensinya. Guru saat ini setidaknya harus dibekali oleh dua hal, yakni vaksin dan kompetensi untuk mengajar di masa pandemi. Sehingga saat daring maupun luring, pembelajaran tetap dapat diterima dengan baik oleh murid. “Berbicara pendidikan memang harus mengalami perubahan dan pembaruan. Terlebih saat ini ada COVID-19. Cluster sekolah adalah yang paling banyak. Kalau sistemnya tidak berubah ya susah,” tukasnya.Maryoto mengucapkan terima kasih pada YGB yang membawa program #TerusBelajar di daerahnya. Ia terbuka pada setiap program yang mendukung kemajuan pendidikan di Tulungagung. “Education is power. Jadi apa pun yang terbaik untuk pendidikan, saya welcome,” pungkasnya.

Drilling Soal Menggunakan Teknologi Tidak Membuat Murid Siap Hidup

Apakah Bapak Ibu termasuk yang memanfaatkan teknologi untuk Drilling Soal ke murid? Transformasi digital berlangsung lebih cepat sejak masa pandemi. Menurut data Kementerian Informasi dan Komunikasi (Kominfo), setidaknya 200 juta masyarakat telah menjadi pengguna internet dalam kesehariannya. Semua bidang terdampak, termasuk dunia pendidikan. Memberikan beragam keuntungan pun tantangan bagi para pendidik, baik guru maupun dosen.  Ilona Christina Kakerissa selaku Koordinator Pengembangan Program Yayasan Guru Belajar mengatakan, teknologi memang tidak akan menggantikan profesi guru namun pendidik yang tidak fasih dengan teknologi akan tergantikan dengan mereka yang mampu memanfaatkannya dengan baik. Ilona mengungkapkan terdapat model jaringan karya Ruben Puentedura yang mengkategorikan empat derajat integrasi teknologi dalam pembelajaran. Kategori tersebut yakni substitution, augmentation, modification, dan redefinition. “Model ini bisa kita gunakan untuk evaluasi. Sudah sampai mana kita memanfaatkan dan mengintegrasikan teknologi untuk pembelajaran? Masih tahapan peningkatan atau sudah transformasi?,” terang Ilona saat menjadi narasumber di webinar Kominfo bertajuk “Konten Pendidikan untuk Generasi Muda” pada Kamis (24/02/2022). Ilona menjelaskan teknologi hanya menjadi substitution atau pengganti apabila hanya memindahkan soal yang dulunya ada di dalam Lembar Kerja SIswa (LKS) ke dalam komputer. Sedangkan pada tahapan augmentation, terdapat sedikit perubahan pengalaman murid ketika belajar. Misalnya mengerjakan soal dengan menggunakan google form atau kahoot, yang mana setelahnya mereka bisa langsung mendapatkan umpan balik guru.  Pada level modification, perubahan desain pembelajaran karena adanya teknologi terasa lebih aktual dan signifikan. Pendidik harus mampu mendorong murid agar tugas pembelajarannya tidak hanya bertujuan mendapatkan nilai namun juga berguna untuk orang banyak. Sebagai contoh, membuat konten di media sosial yang bisa dimanfaatkan oleh banyak orang. “Kalau sudah pada tahapan redefinition, kita memberikan tugas pada murid atau mahasiswa tidak hanya agar mereka membuat konten untuk dinikmati banyak orang. Tapi bagaimana mereka bisa menciptakan inovasi yang baru dengan memanfaatkan teknologi yang ada,” jelas Ilona. Lebih lanjut Ilona mengungkapkan, selama ini pendidik di Indonesia masih terjebak pada tahapan substitution. Sehingga penggunaan teknologi tidak membantu untuk keluar dari krisis pembelajaran yang bahkan terjadi sebelum pandemi.. Menurut riset World Bank, kemampuan murid kita di Indonesia yang belajar hingga kelas 12 sebenarnya hanya setara dengan murid kelas 8. “Teknologi kita sudah maju, ada VR, AR, AI, dan lainnya. Tapi kemajuan teknologi ini masih dibarengi dengan strategi pembelajaran (pedagogi) gaya lama. Misalnya, drilling soal dalam les online. Dunia industri membutuhkan angkatan kerja yang siap memecahkan persoalan nyata bukan soal di layar laptop” jelasnya. Baca Juga: Jurus Jitu Lulus Asesmen Nasional Oleh karenanya, Ilona menegaskan, perlu ada irisan antara penguasaan konten, pemilihan strategi pembelajaran dan penggunaan teknologi yang sesuai untuk mendorong inovasi dan transformasi.  “Sebagai guru kita punya content knowledge, kita cari dulu teknologi apa yang mendukung untuk media transfernya. Tapi ini tidak akan bermakna kalau tidak ditunjang dengan pedagogi yang tepat. Apa itu pedagogi? Strategi kita. Metode apa yang kita pakai agar pembelajaran sampai ke murid,” pungkasnya.

Gus Ipin dan Yayasan Guru Belajar Diskusikan Learning Loss di Kabupaten Trenggalek

Bukik Setiawan selaku Ketua Yayasan Guru Belajar (YGB) melakukan audiensi kepada Bupati Trenggalek, Moch. Nur Arifin, yang akrab disapa Gus Ipin, pada hari Rabu (23/02/2022). Kunjungan tersebut merupakan upaya YGB untuk mempererat relasi pasca diadakannya program #TerusBelajar di Kabupaten Trenggalek sejak Agustus 2021. #TerusBelajar merupakan program Kampus Pemimpin Merdeka, salah satu unit kerja YGB, dan NusantaRun di lima daerah di Jawa Timur guna pemulihan pembelajaran dari learning loss akibat pandemi. Total 132 pendidik di Trenggalek ikut serta untuk belajar pada program tersebut. Peserta penggerak mendapatkan beberapa modul yang dapat diakses secara online. Dari modul itu, pendidik dapat belajar bagaimana caranya untuk menerapkan prinsip merdeka belajar untuk proses belajar yang berpihak pada anak. Prinsip ini terbukti efektif untuk memberikan pembelajaran yang bermakna meskipun pada situasi pandemi. Ipin yang baru mendapat laporan #TerusBelajar mendukung penuh keberlanjutan program tersebut. Ia mengungkapkan, mempunyai cita-cita besar tentang pendidikan di Trenggalek. Selain itu, Ia juga menyampaikan visi pembangunan daerahnya saat ini yakni menekankan pemberdayaan perempuan dan kolaborasi terbuka. Oleh karenanya, gerakan kolaborasi yang mendorong adanya peningkatan kualitas pendidikan akan disambut dengan tangan terbuka. “Guru-guru yang punya semangat, ada kreativitas, harus ditampung dan diberi ruang untuk bergerak,” tukasnya. Dalam pertemuan tersebut, Bukik membicarakan kesempatan kerjasama yang lebih pada bidang pendidikan. Tidak hanya pemulihan pembelajaran dari learning loss, tapi juga peningkatan kualitas pembelajaran yang terukur melalui asesmen nasional, penerapan kurikulum merdeka atau pendidikan penggerak merdeka belajar. Baca Juga: Learning Gap & Transformasi Visi Pendidikan untuk Mengatasinya “Upaya pemulihan pembelajaran membutuhkan waktu yang lama, ada proses yang harus berkelanjutan dan kolaborasi lintas daerah. Harapannya pemerintah daerah Kabupaten Trenggalek juga dapat bergabung untuk berproses di dalam Lingkar Daerah Belajar,” jelas Bukik. Lingkah Daerah Belajar (LDB) merupakan inisiatif kolaboratif pemangku kepentingan untuk mendukung dan mendorong praktik dan kebijakan pendidikan daerah yang berpihak pada anak untuk menciptakan pemerataan kualitas pendidikan. Bukik mengatakan, melalui LDB nantinya pemerintah daerah Trenggalek juga dapat memiliki kesempatan untuk berbagai praktik baik terkait kebijakan dan pengelolaan pendidikan daerah di berbagai forum pendidikan. “Situasi sulit di masa pandemi bukan penghalang murid untuk belajar asalkan ekosistemnya siap, termasuk guru, kepala sekolah, hingga pemerintah daerah,” jelasnya. Pada akhir kunjungan, keduanya menyepakati untuk memajukan pendidikan daerah dengan program penggerak merdeka belajar yang berorientasi pada murid dan peningkatan indikator kinerja pendidikan daerah, hingga menjajaki kemungkinan kerjasama pendirian sekolah tinggi keguruan merdeka belajar di kawasan Dilem Wilis.

Learning Gap dan Transformasi Visi Pendidikan untuk Mengatasinya

Apa itu Learning Gap? Mengapa kita perlu memberi perhatian pada Learning Gap? Murid yang kesulitan belajar serta guru kesulitan mengajar adalah tantangan besar yang dihadapi di masa pandemi. Banyak yang tidak siap ketika pembelajaran yang biasa dilakukan dengan tatap muka, dilakukan dengan cara-cara baru. Hal ini berdampak langsung pada kualitas pembelajaran yang diperoleh murid. Terkait fenomena ini, “Darurat Learning Gap” menjadi salah satu topik forum pada Konferensi Pendidikan Indonesia 2022 (KPI). Forum yang diselenggarakan oleh Jaringan Semua Murid Semua Guru sejak Jumat (25/02/2022) ini melibatkan komunitas organisasi pendidikan, pemangku kebijakan, korporasi hingga media. Anindito Aditomo, Kepala Badan Standar, Kurikulum & Asesmen Pendidikan yang akrab dipanggil Nino menyatakan, “learning gap atau kesenjangan kualitas pendidikan, sebenarnya dan sayangnya bukan sesuatu yang baru, bukan yang muncul karena pandemi, (namun) pandemi memperparah itu dan membuat kita sadar itu masalah yang besar.” Nino menyampaikan, sistem pendidikan Indonesia begitu kompleks, baik kualitas maupun kesenjangan merupakan masalah sistemik, tidak akan mungkin dipecahkan oleh pemerintah saja. Sehingga pihaknya membutuhkan kritik substantif dari berbagai komunitas pendidikan. Sependapat dengan Nino, Bukik Setiawan, Ketua Yayasan Guru Belajar (YGB) mengajak para hadirin untuk menyalakan tanda bahaya. “Indonesia telah mengalami krisis pembelajaran bahkan sejak sebelum pandemi, banyak anak Indonesia yang bersekolah namun tidak banyak yang mengalami pembelajaran bermakna,” ungkap Bukik. Kerja keras yang sudah dilakukan untuk memaksa murid belajar, namun penguasaan kompetensi murid Indonesia justru masih jauh dari yang diharapkan. Bukik melengkapi pernyataan ini dengan mengungkapkan hasil riset Bank Dunia yang menunjukkan bahwa murid yang lulus kelas 12 hanya menguasai kompetensi setara kelas 8. “Learning loss telah terjadi sebelum pandemi, kenyataan yang sering tidak terlihat karena kaburnya pandangan ya kita, akibat terjebak pada salah kaprah pembelajaran. Kita gembira murid juara padahal itu tidak menggambarkan capaian keseluruhan murid. Kita gembira melihat murid mendapat nilai tinggi padahal kita tahu murid tersebut belum menguasai kompetensi, kita gembira melihat murid mengerjakan latihan soal berulang, meski kita tahu latihan soal tersebut tidak relevan dengan kehidupan.” papar Bukik. Pandemi covid menghajar di tengah pendidikan yang sebenarnya sudah goyah berdiri di situasi biasa. Riset yang dilakukan Pusmenjar dan Inovasi menunjukkan bahwa learning loss selama pandemi membuat 5-6 bulan hilang dalam 1 tahun pembelajaran. Dampak terbesar learning loss dialami oleh anak-anak dalam kelompok rawan, dibandingkan anak-anak yang mempunyai akses dan dukungan orangtua, jurang pembelajaran semakin lebar. Krisis pembelajaran tersebut menjadi ancaman yang nyata bagi murid Indonesia. Anak mengalami penurunan kapasitas untuk mengelola informasi dan relasi, siap hidup mandiri, berkarya, maupun berkontribusi pada negara. “Pada ujungnya berakibat pada turunnya kapasitas bangsa kita untuk berkontribusi secara global,” jelas Bukik. Baca Juga: Yayasan Guru Belajar Ajak Orprof Kolaborasi Merdeka Belajar Merespon krisis tersebut, Bukik mengajak peserta yang hadir di forum untuk melakukan tiga aksi. Pertama transformasi visi, adakan kegiatan untuk mendiskusikan dan memikirkan ulang tujuan esensial dari pendidikan Indonesia. “Dari memperbanyak kompetisi menjadi memperbanyak kolaborasi, dari latihan soal berulang menjadi pembelajaran berbasis proyek, dari berorientasi nilai dan piala menjadi berorientasi karya nyata,” tukasnya. Kedua transformasi aksi, adakan program yang mendorong transformasi pembelajaran, prioritaskan pada program yang berdampak sebesar-besarnya pada kelompok yang rentan. Ketiga transformasi daya, alihkan sumber daya termasuk prioritas, personil anggaran untuk mengadakan program transformasi belajar. “Ayo serentak bergerak, wujudkan merdeka belajar, belajar bergerak bermakna, semua murid, semua guru,” pungkas Bukik.

Murid Disiplin Tanpa Hukuman, Ini Caranya

Pembelajaran jarak jauh (PJJ) memberikan beragam tantangan baru bagi guru, salah satunya yakni menerapkan disiplin pada murid. Pasalnya, PJJ dianggap menghilangkan sebagian besar kontrol guru atas kelola dinamika kelas. Pada dasarnya penerapan disiplin saat pembelajaran tatap muka (PTM) dan PJJ tidak jauh berbeda. Keduanya memiliki prinsip yang sama yakni harus menghindari penggunaan kekerasan, baik kekerasan secara fisik maupun psikis. Banyak guru tidak sadar ketika melakukan kekerasan psikis pada muridnya seperti misalnya memarahi murid di depan teman-temannya ketika terlambat, melabeli murid pemalas ketika tidak mengerjakan PR, dan sebagainya. Kekerasan Bukan Solusi Murid Disiplin Bukik Setiawan, ketua Yayasan Guru Belajar menegaskan, kekerasan bukan merupakan metode pendidikan melainkan hasil endapan pengalaman relasi emosional antara pendidik dengan murid. “Mendengar dan patuh merupakan kewajiban yang hanya berlaku untuk anak. Jika tidak patuh maka sah melakukan pemaksaan bahkan dengan menggunakan kekerasan. Ini adalah pemikiran yang kuno,” jelas Bukik. Lebih lanjut, Bukik mengungkapkan, Ki Hadjar Dewantara pernah mengkritik pemaksaan dalam pendidikan adalah ciri pendidikan kolonial. Murid sebagai seorang manusia memiliki kodratnya sendiri sehingga tugas pendidik adalah mendampingi tumbuh kembangnya, bukan memaksa kodratnya. Bukik berpesan agar guru mulai mengenal dan menerapkan disiplin positif, yakni kedisiplinan yang dibangun bersama antara guru dan murid. Kedua belah pihak harus saling mendengarkan, memahami, dan menghargai untuk mengembangkan kesepakatan serta proses belajar yang bermakna. Langkah Membangun Kedisiplinan Tanpa Kekerasan Saat PJJ Maupun PTM Dihubungi terpisah, ketua Kampus Guru Cikal, Elisabet Indah Susanti menyebutkan setidaknya ada dua langkah esensial untuk menerapkan disiplin positif. Pertama, mengubah peraturan menjadi kesepakatan. Berbeda dengan peraturan, kesepakatan melibatkan kedua belah pihak yakni guru dan murid dalam proses perumusannya. “Pertimbangkan pendapat murid agar kesepakatan tersebut memang merupakan milik bersama. Jika murid belum terbiasa mengemukakan pendapat, guru bisa memancing pertanyaan. Seperti meminta persetujuan pada poin-poin kesepakatan yang disarankan oleh guru,” jelas Susan, sapaan akrabnya. Baik guru maupun murid, keduanya memiliki hak untuk menyanggah poin-poin yang sedang dirumuskan. Penolakan terhadap masukan satu sama lain adalah hal yang biasa, namun tentu harus disampaikan dengan bahasa yang baik dan tidak menyakitkan hati. Selanjutnya, Susan menekankan, dalam disiplin positif tidak ada hukuman melainkan konsekuensi logis. Melalui konsekuensi logis, murid diajak untuk memahami apa saja kerugian yang ia terima jika melakukan pelanggaran. Seperti misalnya seorang murid terlambat masuk ke kelas pasca istirahat. Menyuruh murid lari putar lapangan lima kali bukanlah konsekuensi logis. Baca Juga: Disiplin Positif Cara Mendisiplinkan Murid “Tanyakan terlebih dahulu apa alasannya terlambat masuk ke kelas. Oh, ternyata karena tidak mendengar ada bel masuk. Lalu tanyakan ke murid, kira-kira apa solusinya agar tidak berulang? (Misalnya murid mengatakan) harus istirahat di tempat yang dekat dengan bel. Selain itu mungkin guru bisa mengajak murid lain untuk saling mengingatkan ketika susah bel,” jelas Susan. Mendorong murid untuk memperbaiki keadaan, terang Susan, juga merupakan bagian dari konsekuensi logis. Misalnya ketika murid menumpahkan air maka diminta untuk mengepel dengan mempertimbangkan umur murid adalah tindakan yang tepat. Namun tentu dengan pembahasan bahwa lantai basah yang tidak segera dipel bisa menyebabkan orang terpeleset. “Intinya konsekuensi logis itu merespon kesalahan atau pelanggaran murid namun dengan prinsip berhubungan, menghargai, beralasan, dan membantu. Anak bukan dipaksa melainkan diajak untuk memahami. Baik saat PTM maupun PJJ, kedisiplinan murid bisa dibentuk melalui cara ini” pungkas Susan.__________________ Ingin belajar menangani perilaku melanggar murid di kelas?Ikuti pelatihan online berikut ini

Talkshow KGC, Guru Adalah Profesi yang Keren

Jakarta, 9 Februari 2022 – Kampus Guru Cikal (KGC) menggelar talkshow bertajuk “Kerennya Anak Muda yang Berprofesi jadi Guru” pada Rabu (09/02/2022) malam secara daring. Talkshow ini merupakan rangkaian kampanye KGC yakni “Ayo Jadi Guru” untuk mengubah mindset anak muda yang mulai enggan untuk menjadi guru. Elisabet Indah Susanti, ketua KGC mengungkapkan, berdasarkan survey yang dilakukannya di media sosial ditemukan fakta bahwa mayoritas guru usia 25-34 tahun secara tidak sengaja menggeluti profesi tersebut. Perempuan yang akrab disapa Susan tersebut menjelaskan beberapa alasan yang melatarbelakangi keengganan anak muda bercita-cita menjadi guru. “Yang pertama, kecilnya gaji, dipandang tidak keren karena bukan kerja kantoran, hingga ketidakpercayaan diri untuk tampil di depan kelas, bahkan tidak adanya dukungan dari orangtua.” Menanggapi realitas itu, Elia Yovan, seorang guru muda yang aktif mengajar di Sekolah Cikal Serpong, menekankan, profesi guru sebenarnya adalah profesi yang keren. “Keren dalam arti layak dicontoh dan menginspirasi,” jelasnya. Yovan, sapaan akrabnya, mengungkapkan seorang guru membutuhkan beragam keterampilan khusus seperti manajemen manusia, manajemen perilaku, psikologi, perencanaan keuangan, event organizer, konseling, dan entertainment.  Tidak hanya itu, Ia juga mengatakan bahwa seorang guru harus bisa memimpin. Pasalnya, kata “educere” yang merupakan kata asal “educate” sendiri berarti “memimpin keluar” sehingga guru adalah seorang yang memimpin keluar anak dari kebodohan. Menurutnya dengan kompleksitas keahlian yang dibutuhkan tersebut, tidak semua orang bisa menjadi guru melainkan hanya bagi mereka yang terpanggil.  “Jika seseorang tidak benar-benar terjangkar hatinya pada senyum anak-anak dan harapan akan masa depan anak didiknya yang lebih baik, maka menjadi guru adalah salah satu pilihan profesi yang konyol dan tidak masuk akal,” ujar Yovan. Lebih lanjut Ia mengatakan, meskipun guru bukan pekerjaan bergaji tinggi namun adalah profesi yang aman karena tidak bisa tergantikan oleh teknologi. “Dunia tetap membutuhkan kita sampai kapanpun,” katanya tegas. Oleh karenanya, Yovan sangat mendukung anak muda untuk bercita-cita menjadi guru. Salah satu caranya bisa dilakukan dengan mengikuti program yang dibesut oleh KGC bersama Karier.mu yakni Ayo Jadi Guru. Ayo Jadi Guru merupakan program yang membuka kesempatan bagi mahasiswa, fresh graduate, maupun guru muda, dari berbagai latar belakang pendidikan untuk mempersiapkan diri menjadi guru yang memiliki pengetahuan profesional, praktik pembelajaran profesional, mampu terus mengembangkan profesinya.  Nantinya, peserta Ayo Jadi Guru akan mendapatkan pembekalan guru dan pedagogi berdasarkan prinsip merdeka belajar, kesempatan magang, hingga penempatan kerja di sekolah mitra KGC.  Susan berharap melalui program Ayo Jadi Guru anak muda tidak lagi menganggap bahwa guru adalah profesi yang tidak menjanjikan di masa depan. Bahkan sebenarnya, di abad 21 guru memiliki tuntutan berbagai peran dan kompetensi profesional untuk memfasilitasi proses belajar murid-muridnya. “Menjadi guru profesional berarti menjadi guru yang berpengetahuan dan antusias terhadap profesinya, menciptakan lingkungan kelas yang mendukung dan menghormati, membangun hubungan yang otentik dengan upaya mengadvokasi murid,” jelas Susan. Susan menambahkan, guru profesional juga harus mampu membuat perencanaan ke depan, tetap terbuka untuk ide-ide baru dan terus belajar, menghargai keragaman, dan membuat materi pelajaran yang rumit menjadi menarik dan dapat dipahami oleh siswa.  “Inilah kenapa anak muda yang keren memilih untuk menjadi guru profesional,” pungkasnya.

3 Pesan Najelaa Shihab ke Mahasiswa Kampus Merdeka

Yayasan Guru Belajar (YGB) turut hadir dalam “Penutupan Program Kampus Merdeka di Kampus SMSG” pada Jumat (04/02). YGB hadir sebagai salah satu organisasi di bawah jaringan Semua Murid Semua Guru (SMSG) yang menjadi mitra Magang  dan Studi Independen Bersertifikat Kampus Merdeka batch 1. SMSG sendiri menerima total 379 mahasiswa magang dari 119 kampus. Selama lima bulan, ratusan mahasiswa ini didampingi oleh 62 mentor dari 11 organisasi/komunitas pendidikan yaitu YGB, Websis for Edu, Think.Web, Sekolah.mu, Sedekah Buku Indonesia, Sebangku Games, Pemimpin.id, Eco Ethno, Everidea Education, Dampak Sosial Indonesia, dan Schole Fitra. Najelaa Shihab, inisiator SMSG, berpesan pada seluruh mahasiswa, pada bidang apapun yang akan mereka tekuni nantinya untuk selalu mengutamakan inovasi, kolaborasi, dan integrasi. “Jangan mengaku penggerak kalau tidak berinovasi. Inovasinya tidak harus penemuan lalu mendapatkan hadiah nobel atau sejenisnya. (Melainkan) praktik baik yang kita lakukan setiap hari yang kemudian bisa dibuktikan berhasil mengubah keadaan,” ujarnya. “(Misalnya) dari sebelumnya praktek di dalam kelas yang pola disiplinnya masih menggunakan ancaman atau kekerasan kemudian bisa menggunakan pendekatan-pendekatan yang lebih positif,” lanjut Najelaa. Namun demikian, Najelaa mengingatkan, menjadi inovator khususnya pada ekosistem pendidikan biasanya akan membuat diri merasa kesepian. Pasalnya sulit mengajak orang lain untuk berubah bahkan seringkali mendapat rundungan. Oleh karenanya penting untuk saling menguatkan satu sama lain. Selain inovasi, Ia juga menjelaskan betapa pentingnya kolaborasi. Hal yang sepertinya mudah untuk dilakukan namun tetap membutuhkan refleksi setiap saat. “Butuh waktu banget untuk kita jadi ahli dalam kolaborasi,” ujar Najelaa. “Evaluasi diri sendiri. Apa saja yang mudah buat saya dalam kolaborasi? (Misalnya) ternyata saya sudah bagus kemampuan komunikasi saya. Lalu apa tantangannya? (Contohnya) ternyata sebagai kolaborator saya masih kesulitan mengikuti deadline kelompok yang ketat,” jelasnya. Lebih lanjut Najelaa mengungkapkan bahwa tidak ada satupun komunitas atau organisasi yang bisa secara mandiri menuntaskan permasalahan di Indonesia. Sehingga membutuhkan integrasi multi interdisciplinary yang seharusnya sudah menjadi cara berpikir para penggerak. Dalam acara tersebut, beberapa mahasiswa juga mendapatkan berkesempatan untuk berbagi pengalaman praktik baiknya selama magang. Salah satunya Aditya Wicaksono, mahasiswa Universitas Negeri Malang, yang selama lima bulan terakhir ini berproses di YGB.  Dari antara tiga pilihan posisi magang di YGB, yaitu penulis cerita, animator, dan desainer program, Aditya memilih untuk menjadi penulis cerita. Ia mendapatkan modul pedagogi pada awal magang dan menerima kompetensi spesifik sesuai posisinya tersebut. “Sebagai intern kita tidak diperlakukan seperti intern karena diberi kepercayaan untuk terlibat langsung dalam project. Kita juga diberi kesempatan untuk mandiri, “ungkapnya. Aditya mengaku mendapatkan banyak cerita dan inovasi guru yang sebelumnya belum pernah Ia bayangkan sebelumnya. Ia baru menyadari bahwa pendidikan adalah ekosistem yang luas. Bahkan melalui magang ini Ia mendapatkan inspirasi untuk membuat proposal penelitian. “Untuk projectnya, kami (semua mahasiswa magang di tiga posisi) berhasil membuat modul pembelajaran. Sebenarnya sulit karena semua komunikasi dilakukan secara online. Namun akhirnya semua terselesaikan dengan baik tentu dengan bimbingan para mentor di YGB,” pungkasnya. Tulisan ini telah tayang diKompas.com, Radarpekalongan.com, dan Kumparan.com.