Motivasi Guru Penggerak Merdeka Belajar, Berani Berubah Meskipun Tertatih-Tatih

Ketika pandemi melanda beberapa waktu yang lalu, bapak dan ibu guru pasti merasakan dan mengalami untuk beradaptasi dengan perubahan kebiasaan tersebut tampak jelas terasa karena pada saat kondisi normal, belajar menggunakan sistem tatap muka (luring), lalu berubah menjadi pembelajaran jarak jauh (daring) yang dijalankan sekolah. Oleh karena itu, apakah bapak dan ibu guru pernah merasa bingung, galau, dan tidak mengetahui harus memulai dari mana saat pembelajaran secara daring dilakukan? Untuk lebih jelasnya, mari kita dengarkan cerita inspirasi guru penggerak merdeka belajar yaitu Ibu Theresia A. T. Astuti yang mengajar di TK Yos Sudarso Bandung, dan beliau juga merupakan anggota Komunitas Guru Belajar Bandung. Pandemi Covid-19 adalah awal cerita inspirasi Ibu Tere ini dimulai. Pada Tahun Pelajaran 2020/2021, Ibu Tere mendapat tugas baru, diberi kepercayaan untuk memimpin TK Yos Sudarso Bandung. Ini merupakan pengalaman pertama beliau untuk pindah tugas setelah selama 16 tahun menjadi guru di tempat yang sama, atau berada di zona nyaman beliau.  Tempat baru, suasana baru, rekan kerja baru, dan beban tugas baru yang belum pernah terbayang sebelumnya harus Ibu Tere hadapi. Banyak cerita negatif yang beliau dengar tentang sekolah ini. Seketika Ibu Tere merasa ciut, ragu, minder, dan tidak percaya diri. “Apakah saya sanggup melakukan perubahan?”, ujar Ibu Tere dalam hati. Lantas, beliau dan dua rekan guru pun memutuskan untuk melakukan perubahan. Awalnya beliau memiliki perasaan yang sama dengan bapak dan ibu guru kebanyakan, beliau merasa bingung, galau, dan tidak mengetahui harus memulai dari mana saat pembelajaran secara daring wajib dilaksanakan. Baca juga: Guru Penggerak dalam Peran Pendidikan Pembelajaran pun dimulai. Para guru melakukan tugasnya, melayani murid secara daring. Pembelajaran saat normal ditransfer menjadi daring. Tidak ada yang berbeda. Para guru melakukan pembelajaran dengan menggunakan aplikasi WhatsApp. Pembelajaran berfokus pada materi dan tema. Berbagai saran dan masukan coba Ibu Tere berikan agar pembelajaran tidak monoton. Namun, berbagai alasan dilontarkan para guru. Mereka berdalih adanya keterbatasan sarana, baik pihak guru maupun murid, serta keterbatasan penguasaan teknologi. Dan lebih kurang tiga bulan pembelajaran model ini dilakukan. Menurut Ibu Tere, pembelajaran terasa hambar, interaksi terbatas, satu arah, dan inisiatif serta instruksi selalu dari guru. Ibu Tere menyaksikan, setiap hari para guru melakukan komunikasi dengan orang tua murid melalui telepon atau video call untuk menjalin kedekatan. Namun, relasi yang harmonis belum tampak. Para guru mulai lelah dan mengeluh. Mereka merasa respons yang terlalu biasa, baik dari orang tua maupun murid. Ibu Tere mengungkapkan jika beliau dan mayoritas guru lainnya di sekolahan tersebut adalah guru senior. Tepatnya guru jadul yang belum terbuka dan paham banyak penggunaan teknologi, sehingga dalam melakukan pembelajaran hanya mengedepankan rasa, insting, dan pengalaman. Saat briefing pagi ataupun pertemuan, Ibu Tere berulang kali memberi masukan kepada rekan guru agar melakukan perubahan. Beliau mencoba mengajak mereka lebih terbuka, berani mencoba hal baru. Setelah sekian lama, akhirnya muncul juga keinginan salah satu guru untuk melakukan perbaikan pembelajaran. Dia mengajak guru lain mempelajari berbagai aplikasi pembelajaran berbasis teknologi sebagai variasi dalam pembelajaran daring. Tujuannya agar murid dapat lebih antusias. Awalnya, tampak gurat keraguan dalam diri guru yang diajak belajar. Mereka terpaksa saat belajar bersama. Lewat pendekatan secara pribadi, akhirnya terwujud juga kegiatan belajar bersama. Berbagai cara dan variasi pembelajaran mulai dipelajari. Ibu Tere mendukung dan mendampingi para guru, turut belajar dan mengembangkan diri. Beliau merasa jika belajar dari siapa pun dan dari mana pun. Terutama tentang penggunaan aplikasi yang dapat digunakan supaya pembelajaran lebih menarik. Para guru memerlukan waktu lama untuk memahami pengetahuan baru. Namun, di sini Ibu Tere melihat semangat mereka, keinginan kuat untuk terus belajar, mencoba, dan mempraktikkan pengetahuan maupun keterampilan baru yang berhubungan dengan teknologi. Guru saling belajar, berbagi pengetahuan dan praktik baik, menguatkan, dan membantu. Bahkan, persiapan pembelajaran dilakukan secara bersama-sama. Sedikit demi sedikit pembelajaran mulai bervariasi. Berbagai aplikasi dipraktikkan dalam pembelajaran. Namun, Ibu Tere merasa masih ada yang kurang dan masih terasa hambar. Peran guru masih sangat dominan di sini. Mereka belum konsisten melakukan perubahan pembelajaran, masih mengadopsi cara dan pola lama. Pada pertengahan Oktober 2020, melalui platform Sekolah.mu, Ibu Tere berkenalan dengan Merdeka Belajar. Kemudian, beliau sering mendengar istilah tersebut. Namun saat itu, Ibu Tere belum memahami maknanya. Akhirnya, beliau mengikuti program Sekolah Lawan Corona. Ibu Tere dan para guru pun belajar bersama. Dari program ini akhirnya beliau menyadari bahwa pembelajaran yang selama ini, pelayanan yang kami berikan, masih mengalami miskonsepsi. Bersama para guru, Ibu Tere belajar membuat persiapan pembelajaran dengan mengedepankan prinsip 5M, belajar membuat dan menggunakan kanvas RPP yang diawali dengan melakukan pemetaan profil murid. Pembelajaran di Sekolah Lawan Corona sudah beliau tuntaskan. Ibu Tere yakin, banyak hal, informasi, dan ilmu baru yang guru dapatkan. Namun, pengimbasan ataupun dampaknya dalam pembelajaran belum terasa. Belum tampak perubahan yang signifikan. Padahal, pengetahuan, keterampilan, dan semangat sudah ada dalam diri para guru. Lantas, Ibu Tere tertantang mencari akar masalahnya. Rasa penasaran dan keinginan kuat menuntun beliau mencari informasi, belajar dari berbagai sumber. Faktor ini menjadi pemicu beliau untuk mengikuti beberapa program di Sekolah.mu, beliau mengharapkan jika ini dapat membantunya melakukan tugas sebagai pemimpin. Ibu Tere mengikuti program Guru Merdeka Belajar dari Kampus Guru Cikal, berdampingan dengan program Menjadi Pemimpin Merdeka Belajar dari Sekolah Merdeka Belajar. Kemudian, teori dan tips sebagai pemimpin merdeka belajar sudah beliau dapatkan. Ternyata masih ada miskonsepsi yang beliau lakukan dalam melakukan percakapan dan pengamatan sebagai pemimpin merdeka belajar. Dalam melakukan percakapan, Ibu Tere merasa perlu fokus dan selalu mengarahkan kepada tujuan. Percakapan beliau lakukan dengan lebih santai. Ibu Tere duduk bersama sambil menyelesaikan pekerjaan atau membuat persiapan pembelajaran bersama. Setelah melakukan obrolan dan percakapan dengan guru, beliau merasa ada yang kurang, “Gregetnya belum ada”. Hal ini terutama bila mendengar keluhan atau curhatan guru tentang murid yang dinilai terlalu berinisiatif. Misalnya sudah mengerjakan pekerjaan atau tugas yang seharusnya belum dikerjakan atau belum diperintahkan. Sebagai pemimpin, Ibu Tere mengingatkan mereka melalui percakapan untuk melakukan pembelajaran yang berpihak kepada murid. Beliau mengajak mereka melihat sisi positifnya: murid itu kreatif. Dengan demikian, perlu kreativitas guru dalam merancang pembelajaran dengan memaksimalkan pemanfaatan fasilitas dan penugasan yang berdiferensiasi. Ibu Tere merasa saat ini rekan-rekan guru sudah memahami bahwa pembelajaran harus fokus kepada kebutuhan anak, memaksimalkan pemanfaatan fasilitas yang … Read more

Disiplin Positif Di Sekolah

Bagaimana cara menerapkan disiplin positif di sekolah?Diskusi dengan topik disiplin positif ini dibuka oleh Moderator Guru Nisa. Moderator memulai dengan mengenalkan Narasumber yaitu Guru Adelia Oktoryta, dari KGB Makassar. Diskusi ini diikuti oleh 105 peserta tercatat di WAG. Profil Narasumber adalah sebagai berikut:  Aktif di Komunitas Guru Belajar dan Relawan Keluarga Kita Adelia Octoryta memulai kariernya sebagai guru sejak tahun 2010 karena ajakan seorang teman yang ingin membuat sekolah dengan cara pengajaran berbeda dengan sekolah pada umumnya. Saat itu diamanahi jadi guru kelas 2 SD, kelas tertinggi di Rumah Sekolah Cendekia kala itu. 2 tahun mengajar di SD kemudian diamanahi sebagai Kepala Sekolah SD Rumah Sekolah Cendekia hingga 2017. Sejak itu Adelia diamanahi sebagai Kepala Sekolah TK Rumah Sekolah Sekolah Cendekia, sekaligus wakasek SD Rumah Sekolah Cendekia. Saat ini sedang membuat kurikulum literasi berjenjang mulai dari Kelompok Bermain hingga SD untuk Rumah Sekolah Cendekia. Kesehariannya, selain sibuk di sekolah juga aktif sebagai Penggerak Komunitas Guru Belajar Makassar serta Relawan Keluarga Kita. Silakan, ikuti beliau di Instagram.com/adeliaoctoryta  Disiplin positif dewasa ini menjadi sebuah praktik pendidikan yang dirasakan memberi efek positif bagi anak-anak. Dengan menerapkan di siplin positif di sekolah, di rumah maupun tempat lain diharapkan anak-anak mampu :  mengembangkan perilaku positif yang bertahan untuk jangka panjang mengembangakan kemampuan untuk mengelola diri dan tahan terhadap godaan/kesulitan mengembangkan motivasi internal dengan pembiasaan sejak dini.  Ketiga hal tersebut dapat dibentuk dengan membangun sebuah komunikasi yang positif antara guru-murid atau orangtua-anak. Komunikasi yang positif ditandai dengan saling memanusiakan hubungan sebagai salah satu pondasinya.  Definisi Memanusiakan Hubungan Istilah memanusiakan hubungan sendiri diadaptasi dari kata “characterized” yang definisinya adalah “describes characters or quality of …” (Merriam Webster) atau “describe the nature or features of …” Dalam konteks sebuah interaksi dan komunikasi, memanusiakan hubungan berarti menyadari bahwa setiap pribadi memiliki keunikan. Dalam setiap keunikannya, setiap pribadi memiliki harapan dan layak mendapatkan kepercayaan. Dengan sebuah interaksi yang memanusiakan hubungan, anak-anak akan mampu menumbuhkan rasa :  Saya baik  Mampu melakukan hal baik  Saya bisa dipercaya dan Mampu menguasai diri  Saya mampu menyelesaikan masalah  Dan saya memiliki solusi  Saya dapat berkontribusi  Guru/orangtua mempunyai peran penting dalam proses memanusiakan hubungan, antara lain dengan :  mengenali karakter, keunikan dan kebutuhan setiap anak  menghargai ide/gagasan/ inisiatif/kebutuhan mereka  memfasilitasinya dengan menemukan sebuah kesepakatan bersama  Contoh nyata antara lain: membuat kesepakatan di kelas, membuat kesepakatan di area bermain serta kesepakatan menggunakan gawai.  Komunikasi positif adalah wujud dari upaya memanusiakan hubungan. Hal ini menjadi pondasi dalam menerapkan disiplin positif di sekolah, rumah maupun tempat lain.  Setelah peserta diskusi membaca materi yang disampaikan, Moderator memberi kesempatan pertama bertanya kepada Guru Adelia.  Keresahan Guru dalam Penerapan Disiplin di Sekolah Pak Syarifuddin: ‘’ Jika ada perbedaan kesepakatan antarmurid saat mencari kesepakatan. Bagaimana cara mengatasinya?  Narasumber: “Yuk simak panduan membuat kesepakatan kelas berikut:  1. Berupa pernyataan positif yang fokus pada hasil jangka panjang2. Batasi jumlah peraturan, utamakan yang menyangkut hubungan antaranggota kelas (3-5 poin)3. Libatkan murid sejauh mungkin dalam membuat kesepakatan kelas4. Implementasi kesepakatan kelas tidak perlu terburu buru5. Jika ada yang melanggar, harus segera ditindaklanjuti6. Refleksi dan tinjau kembali bila perlu ubah aturan yang tidak berfungsi Sudirman: ‘’Bagaimana cara mengukur ketercapaian berhasilnya  penanaman kedisiplinan peserta didik pada sekolah yang memiliki murid banyak. Apa saja indikatornya?’’  Narasumber: Ada di poin 6 dalam panduan membuat kesepakatan kelas, Refleksi bersama murid sangat diperlukan secara berkala. Bisa disepakati setiap bulan atau setiap dua bulan. Atau saat aturan2 itu sudah terlihat kendor dilakukan anak-anak Dhani : “Bagaimana apabila kesepakatan telah dibuat tetapi masih dilanggar oleh beberapa murid?” Narasumber : Saat membuat kesepakatan, harus ditentukan juga konsekuensinya.  “Jika ada yang melanggar bagaimana ya?”“Kalau ternyata kamu yang melanggar kesepakatan kita, apa yang kamu akan lakukan?” Kisah Praktik Disiplin Positif Narasumber di Sekolah Di kelas kami, ada kesepakatan menahan kaki dan tangan untuk dirinya sendiri. Kesepakatan tersebut berisi 1. Menahan diri dari memukul teman lain secara sengaja2. Menahan menendang teman3. Menahan diri dari menjahili teman secara sengaja  Jika melanggar  1. Segera meminta maaf 2. Mengobati dan menghibur teman yang tersakiti 3. Tidak diajak bermain jika belum bisa menahan diri Di sekolah pernah ada perselisihan dua murid sehingga mereka saling dorong dan menyebabkan pelipis salah satu anak berdarah kena lantai.  Yang kami lakukan, mengobati anak yg terluka dan merangkul si pelaku. Apapun masalah yg terjadi pada anak, pasti ada kisah di balik itu, anak2 perlu dibantu untuk menyelesaikannya bukan sekedar diberi sanksi / hukuman.  Jadi kami mencari tau cerita dari versi pelaku dan cerita dari versi korban. Membantunya mencari solusi dan mengobati sakit fisik dan sakit hati diantara mereka. Kalau perlu menanyai juga saksi2 yang melihat kejadian.  Konsekuensi yang akan dikenai ke mereka pun, harus datang dari mereka(pelaku dan korban) juga.  Supaya saat mereka menjalani konsekuensi itu, mereka belajar terhadap perilakunya  Musbah: ‘’Bagaimana cara menerapkan Disiplin Positif di kelas secara menyeluruh jika ada beberapa murid yang selalu melanggar, meskipun telah diperingati dsb tetap melakukan pelanggaran sehingga teman sekelasnya yang lain protes? Narasumber: ‘’ Lakukan refleksi lagi kesepakatan bersama di kelas, mana yang masih relevan dan mana yang tidak’’  Kalimat Penutup Narasumber ‘’Penerapan Konsekuensi logis hendaknya melibatkan murid dengan melakukan refleksi sehingga murid menyadari sendiri kesalahan dan cara memperbaikinya’’  Moderator menutup diskusi dengan mengajak peserta membuat Refleksi. Serta ucapan Terima Kasih kepada Narasumber & Peserta. Masih penasaran dengan penerapan Disiplin Positif? Yuk pelajari Surat Kabar Guru Belajar Edisi 16 Unduh Gratis Disiplin Positif PDFKlik

Petikan Pelajaran Kolaborasi Literasi Bermakna

Setahun sudah kami bersama menjalankan program Kolaborasi Bermakna. Ada banyak kegiatan, tapi lebih banyak lagi pelajaran. Setiap anggota tim dan peserta program mempunyai banyak pemaknaan personal yang beragam terhadap perjalanan ini. Kami mencoba merangkum petikan pelajaran yang didapatkan dari program Kolaborasi Literasi Bermakna. Pelajaran yang akan kami bawa dalam program yang lain, dan menurut kami penting juga dipelajari oleh penggiat pendidikan di seluruh penjuru negeri. Dari Sendiri Menuju Kolaborasi  Tantangan pertama dan utama dari Kolaborasi Literasi Bermakna adalah mengubah pola kerja dari yang biasanya asyik sendiri menjadi seru berkolaborasi. Kolaborasi itu indah diucapkan. Begitu mudah disampaikan dalam pidato-pidato, tapi kenyataannya begitu menantang.  Kolaborasi Literasi Bermakna digawangi empat organisasi yang mempunyai bidang fokus yang berbeda. Kampus Guru Cikal yang menangani guru. Keluarga Kita yang menangani orangtua. Pusat Studi Pendidikan dan Kebijakan yang menangani riset dan advokasi kebijakan. Inibudi yang menangani pembuatan konten belajar. Masing-masing organisasi mempunyai keahlian tersendiri. Setiap organisasi melayani segmen dengan agendanya sendiri. Melalui program Kolaborasi Literasi Bermakna, kami belajar mensinergikan agenda dan prioritas sekaligus membangun relasi saling percaya. Banyak gesekan dan perdebatan untuk menentukan pilihan yang bisa mengakomodasi semua. Pelajaran penting yang kami dapatkan adalah berpihak kepada anak. Menjadikan kepentingan anak sebagai kriteria untuk mengambil keputusan. Bila antar-organisasi sulit mengalah, tapi ketika berpihak kepada anak menjadi kriteria, maka organisasi bisa lebih melonggarkan agenda dan menerima kesepakatan.  Kolaborasi Literasi Bermakna bisa berjalan jauh dan mengerjakan banyak kegiatan semata-mata karena mengedepankan kepentingan anak. Cita-cita menyaksikan anak-anak Batu dan Probolinggo bisa belajar karena cinta, bukan karena terpaksa. Bila ada perbedaan, pemersatunya adalah anak.  Dari Penunjukan Menuju Partisipasi  Pada sebagian besar program, keterlibatan orangtua dan guru sering kali ditentukan melalui jalur penunjukan. Dinas Pendidikan menunjuk kepala sekolah. Kepala sekolah menunjuk guru dan orangtua untuk mengikuti program. Kebanyakan guru dan orangtua akan terlibat program karena takut melanggar penunjukan tersebut. Takut mendapat sanksi.  Kampus Guru Cikal dan Keluarga Kita punya pengalaman berbeda. Jalur penunjukan memang membuat orang terlibat program, tetapi bukan karena kesadaran sendiri, sering kali karena terpaksa. Oleh karena itu, kami mencoba jalur partisipasi dalam melibatkan guru dan orangtua dalam program pengembangan. Kami percaya bahwa guru dan orangtua yang berniat belajar pasti mencari cara agar bisa mendapat kesempatan belajar. Dalam lima tahun, kami membangun komunitas guru dan orangtua berdasarkan prinsip partisipasi dan kerelawanan dengan segala dinamikanya.  Pada Kolaborasi Literasi Bermakna, keyakinan tersebut kami praktikkan dalam sebuah program yang terukur dan terencana secara ketat. Sebuah pilihan yang mengandung risiko tentunya. Apakah dengan kesibukan orangtua dan guru mau meluangkan waktu terlibat dalam program yang tanpa memberi imbalan apa-apa? Bagaimana kalau yang awalnya sukarela mengikuti program kemudian punya kesibukan lain? Apakah guru dan orangtua yang menjadi peserta program akan menjalankannya dengan sungguh-sungguh? Berdasarkan bukti dari pengalaman sebelumnya, kami memilih untuk mengambil risiko dari jalan partisipasi.  Setelah membereskan hati sendiri, langkah kami berikutnya adalah meyakinkan pemangku kepentingan dari program Kolaborasi Literasi Bermakna. Tidak mudah karena pemangku kepentingan punya pengalaman yang berbeda. Tidak percaya bahwa ada guru dan orangtua yang sukarela mau belajar. ‘Dipaksa saja susah, kok, diminta sukarela,’ mungkin itu pikiran yang terlintas. Namun, setelah dengan sejumlah argumentasi dan cerita pengalaman kami sebelumnya, jalur partisipasi diterima dengan sejumlah catatan. Di akhir program Kolaborasi Literasi Bermakna, kami sungguh bahagia bisa menunjukkan bahwa guru dan orangtua belajar banyak dengan semangat sukarela, bukan dipaksa. Dari Hadiah dan Hukuman Menuju Kesempatan dan Dukungan Keterlibatan dalam program yang berdurasi satu tahun tidaklah mudah. Menjaga konsentrasi dalam hitungan menit saja susah. Karena itu, pengelola program mempunyai sejumlah strategi untuk memotivasi peserta program terlibat secara penuh mulai dari awal hingga akhir. Meski ada banyak strategi, secara umum kesemuanya berdasarkan prinsip hadiah dan hukuman. Hadiah untuk yang menunjukkan perilaku baik, hukuman bagi yang menyimpang.  Tantangan bagi Kolaborasi Literasi Bermakna adalah menemukan strategi yang tidak menggunakan prinsip hadiah dan hukuman yang biasa dipakai. Pelibatan dalam program dimulai dari partisipasi, kesadaran dari dalam diri, tentu kami butuh mencari strategi memotivasi yang selaras.  Tantangan terbesar bukan mencari strategi memotivasi yang tepat, tetapi pengelolaan diri dari keseluruhan kami, seluruh anggota tim Kolaborasi Literasi Bermakna, baik yang bertugas di Jakarta maupun daerah. Sering kali yang terjadi adalah khawatir gagal yang berlebihan. Semua pengelola program pasti ingin berhasil mencapai target. Keinginan yang wajar, tetapi bila berlebihan akan menggoda kami menggunakan strategi memotivasi berdasarkan hadiah dan hukuman.  Bersikap empati terhadap orangtua dan guru yang menjadi peserta program membantu kami keluar dari tekanan menggunakan hadiah dan hukuman. Kami menempatkan diri menjadi peserta program dan berpikir apa yang kami butuhkan untuk berubah lebih baik. Lahir kesadaran bahwa peserta program lebih butuh kesempatan dan dukungan untuk berubah. Kesempatan berbagi praktik baik, kesempatan untuk unjuk diri, dukungan berupa umpan balik, pengakuan terhadap apa yang sudah baik dan koreksi mana yang perlu diperbaiki. Kesadaran yang membuat kami melakukan tambahan kegiatan berupa pendampingan sesuai kebutuhan guru dan orangtua. Dari Penyeragaman Menuju Berjenjang  Dalam program yang terukur dan direncanakan secara ketat, sering kali fokus pengelola program adalah pada pelaksanaan kegiatan dan pencapaian target. Program yang sudah direncanakan sejak awal dilaksanakan sebagaimana pakemnya. Persoalannya kemudian, apakah yang sudah direncanakan di awal sesuai dengan tantangan di lapangan dan kebutuhan peserta program?  Kolaborasi Literasi Bermakna sedari awal sebenarnya sudah melakukan sejumlah kegiatan untuk memahami tantangan di lapangan dan kebutuhan peserta program. Pemahaman yang kami gunakan untuk melakukan penyesuaian rancangan program agar lebih efektif. Namun, pemahaman awal pun ternyata masih belum cukup kaya dibandingkan dengan pemahaman yang didapatkan selama pelaksanaan program. Intensitas interaksi dan percakapan bermakna menghasilkan pemahaman baru yang lebih luas. Jangankan antar-personel, kemajuan program antar-daerah pun tidak sama. Pelaksanaan program Kolaborasi Literasi Bermakna yang berawal dari pendekatan yang seragam pada perjalanannya disesuaikan. Penyesuaian strategi menjadi lebih personalisasi pada tujuan, cara, dan alat bantu refleksi. Peserta program yang lebih dahulu menguasai sasaran program mendapat kesempatan lebih luas. Sementara, peserta program yang butuh waktu tambahan mendapat dukungan sesuai kebutuhan mereka untuk berkembang.  Dengan memfasilitasi proses refleksi, kami mengajak orangtua dan guru memahami kemampuan dan kecepatan belajarnya. Jadi, bukan kami yang menentukan kebutuhan belajar, tapi peserta program sendiri yang melakukan penilaian diri untuk menyusun agenda belajarnya. Partisipasi bukan hanya saat pelibatan awal, tapi juga hingga menentukan intensitas belajar. Dari Berbasis Sekolah Menuju Berbasis … Read more

Guru Merdeka Belajar adalah Pelajar Sepanjang Hayat

Siang terik tak menyulutkan semangat pada calon penggerak untuk melaksanakan kegiatan Nobar Merdeka Belajar, TPD III – Komunitas Guru Belajar Sidoarjo (KGB). Perubahan kondisi tempat, membuat ide-ide kreatif calon penggerak untuk tetap mempersiapkan acara Nobar tetap terlaksana, mulai dari mengkondisikan tempat, menyiapkan perlengkapan yang unik karena layar proyektor menggunakan kain polos kepunyaan pendidik yang tergabung dalam KGB yang kemudian disandarkan pada etalase Warung Barokah yang di atasnya diberi tumpukkan minuman supaya kain tidak bergeser tempat. Selain itu, tidak lupa menyiapkan camilan dan minuman sederhana yang nantinya akan menemani kegiatan sampai selesai, dan dibeli dari dana pribadi pak Zen penggerak KGB Sidoarjo.  Saya hanya berdecak kagum dalam hati, begitu berdaya teman-teman calon penggerak yang mau ikut berkontribusi agar acara bisa terlaksana. Agenda nonton bareng Film Merdeka Belajar hadir untuk memfasilitasi para pendidik merefleksikan diri dan berbagi solusi tentang keresahan yang dihadapi saat pembelajaran dikelas. “Agenda nonton bareng ini tidak hanya sekadar menjadi agenda nonton bareng, tapi punya aspek yang bermanfaat lainnya, yang berguna bagi para pendidik yang tergabung dalam KGB,” ungkap Zen Penggerak KGB Sidoarjo.  Ternyata kegiatan nonton bareng ini mampu menghidupkan forum, untuk bersama-sama sesama pendidik merefleksikan diri dan berbagi pengalaman bagaimana menjadi guru merdeka belajar. Satu persatu teman pendidik menyampaikan bahwa apa motivasi mereka mengikuti kegiatan nonton bareng yang difasilitasi KGB Sidoarjo, seperti halnya bu Ainun yang menjawab “Motivasi saya ikut kegiatan nonton bareng KGB Sidoarjo adalah agar bisa belajar dan mempunyai motivasi menjadi pembelajar”. “Belajar tidak memandang usia, karena usia bukan pembatas untuk berhenti belajar”, ujar Bu Nafisa guru dari sekolah AN-NAHL Sidoarjo.  “Jejaring komunitas seperti ini, ibarat lilin seketika lilin yang menyala salah satunya padam, maka masih ada lilin lainnya yang tetap menyala dan menyinari”, ungkap Bu Anggi calon penggerak KGB Sidoarjo. Kegiatan yang membawa manfaat ini sangat berdampak bagi kami yang siang itu datang mengikuti kegiatan nonton bareng video Merdeka Belajar sampai selesai. Guru Merdeka belajar mempunyai 3 makna yaitu komitmen, mandiri dan refleksi. Komitmen terkait pengakuan dalam diri untuk mampu dan mau menjadi guru pembelajar dengan ikhlas ingin memberikan ilmu yang bermanfaat, mandiri dalam arti bagaimana mencari solusi keresahan yang dialami pendidik, menggali kebutuhan dan minat belajar murid. Yang ketiga adalah refleksi, dan mempunyai makna bahwa setiap pendidik harus bercermin apakah model, media, cara pembelajaran yang sudah diterapkan sesuai atau tidak dengan kebutuhan peserta didik, sudah nyamankah mereka belajar bersama kita di dalam kelas.  Baca Juga: Merdeka Belajar Bukan Jargon Masuk pada sesi refleksi ada ungkapan yang mendalam diucapkan oleh beberapa pendidik terkait pertanyaan moderator yaitu “Apa perubahan di dalam kelas yang ingin dilakukan setelah mengikuti KGB?”.  “ Komitmen terkait menjaga dan menata niat kita, yang mengutip pernyataan KH. Maimoen Zubair, bahwa ketika kita menjadi guru jangan menuntut murid kita pintar, nanti yang ada malah kita marah-marah, cukup doakan saja agar kelak dia bermanfaat”, ungkap Bu Ainun.  Rangkaian kegiatan hari ini yang begitu membawa banyak manfaat bagi teman-teman pendidik maupun diri saya pribadi, bahwa dengan bersama-sama merefleksikan diri secara tidak langsung kita bergegas dan bergerak menjadi Guru Merdeka Belajar. Dan mulai sekarang kami bersepakat bahwa menjadi guru merdeka belajar adalah mengawali diri untuk mau menjadi guru pembelajar sepanjang hayat bukan hanya memenuhi kewajiban tetapi berkomitmen menjalankan kewajiban untuk ikut berperan dalam tujuan pendidikan nasional. Terima Kasih KGB Sidoarjo, terima kasih teman-teman pendidik, terima kasih Kampus Guru Cikal yang telah mempertemukan dan memfasilitasi kami para pendidik dengan kegiatan yang sangat bermanfaat. Salam Guru Merdeka Belajar Ingin Tahu Bagaimana Praktik Merdeka Belajar di Kelas? Klik link di bawah ini

Harapan Menuju Merdeka Belajar

Keberhasilan pendidikan tidak mutlak berada di tangan guru. Tetapi membutuhkan dukungan dari berbagai pihak. Namun tidak dapat dipungkiri bahwa guru memegang peranan penting. Keberhasilan pendidikan akan mudah dicapai apabila tercipta Merdeka Belajar. Untuk menciptakan kondisi tersebut, maka perlu pemahaman tentang Merdeka Belajar. Setelah aktif mengikuti akun media sosial  Kampus Cikal Guru, saya tergerak untuk bergabung membuat perubahan menuju Merdeka Belajar. Khususnya di daerah tempat tinggal saya, yaitu di Kabupaten Langkat, Provinsi Sumatera Utara. Sebagai langkah awal, saya mengajak guru-guru di Langkat untuk nonton bareng video motivasi dari Kampus Cikal Guru. Ajakan saya tujukan kepada guru-guru yang mengajar di sekolah tempat saya mengajar. Undangan untuk nonton bareng juga saya sebarkan melalui grup MGMP IPS Langkat, sesuai mapel yang saya ampu. Guru-guru di sekolah kami sangat antusias untuk nonton bareng. Hal tersebut menjadi cambukan semangat buat saya. Sementara guru-guru yang tergabung dalam MGMP IPS Langkat, tidak hadir. Karena keterbatasan jarak dan waktu. Acara nonton bareng diadakan pada hari Sabtu tanggal 24 Agustus 2019. Saya sebagai tuan rumah menjadi moderator pada Temu Pendidik ini.  Untuk bantuan teknis dukungan diberikan oleh operator sekolah. Kegiatan nonton bareng ini diadakan di aula kantor guru di SMP Negeri 2 Tanjung Pura. Setelah banyak guru yang sudah berkumpul, acara langsung saya mulai. Sebagai kata-kata pembuka, saya menggugah rasa ingin tahu peserta nonton bareng. Sebagian besar peserta tergelitik mendengar judul Merdeka Belajar. Mereka menduga, kegiatan ini terkait dengan HUT RI ke 74. Karena kegiatan ini diadakan bertepatan dengan momen peringatan Hari Kemerdekaan Republik Indonesia. Sebagian besar peserta berpendapat bahwa “Merdeka” berarti bebas dari penderitaan.  Dan “Merdeka Belajar” mereka tafsirkan sebagai kebebasan dalam belajar yang tanpa aturan. Ibu Umi Hidayah, Guru mapel Matematika, mengatakan : “Merdeka Belajar berarti libur, tidak ada pembelajaran.” Dan hal tersebut mengundang gelak tawa peserta yang lain. Pemutaran video pun segera dimulai. Saya ajak peserta untuk menyaksikan video dengan seksama dan meresapi setiap kata-kata ibu Najelaa Shihab selaku pembicara dalam video tersebut.  Setelah video selesai diputar, sebagian besar peserta mengungkapkan sedikit kekecewaan. Karena video yang ditayangkan terasa sangat singkat. Mereka butuh lebih banyak penjelasan. Mereka butuh contoh konkrit untuk mewujudkan “Merdeka Belajar”. Mereka menyadari banyak miskonsepsi yang mereka lakukan selama ini. Terlihat dari gerak mulut dan sedikit suara “Oo…” pada saat mereka menonton bagian miskonsepsi. Pada sesi refleksi, saya mengajak peserta untuk kembali mengingat miskonsepsi  yang dijelaskan dalam video. Lalu saya bertanya kepada mereka :” Di antara semua miskonsepsi tadi, mana yang paling menggambarkan diri Anda?”. Beberapa peserta mempunyai jawaban yang sama yaitu belajar perlu insentif eksternal. Sebagai pembelajar Andragogi, guru perlu motivasi yang dianggap menguntungkan secara ekonomi agar mau belajar. Dan melalui forum nonton bareng ini, mereka menyadari bahwa belajar sebagai kebutuhan alamiah. Mereka bersedia hadir mengikuti kegiatan nonton bareng tanpa imbalan insentif ataupun sertifikat. Mereka aktif mengikuti sesi refleksi dan tanya jawab. Tanpa mereka sadar bahwa kegiatan ini juga merupakan suatu pembelajaran. Pak Gunawan, wakil kepala sekolah berkata: “Miskonsepsi yang paling menggambarkan diri saya yaitu beranggapan bahwa kompetensi bersifat individual. Karena karakteristik manusia itu berbeda-beda. Dan pastinya tingkat kompetensinya juga berbeda.” Pernyataan Pak Gunawan ditanggapi oleh Pak Syufri Effendi, guru mapel Bahasa Inggris, “ Saya juga sependapat dengan Pak Gunawan. Apalagi dengan pernyataan bahwa Guru adalah kunci. Saya rasa hal itu  benar. Tanpa guru, maka pendidikan tidak akan berhasil, maka guru adalah kuncinya”. Saya memberi tanggapan terhadap pernyataan mereka. Jika guru adalah kunci, berarti output pendidikan yang dihasilkan menjadi tanggung jawab guru. Jika baik hasilnya, berarti kuncinya baik. Jika buruk hasilnya, maukah guru dikatakan tidak baik? Mereka serempak menjawab.”Tidak!!”. Oleh karena itu, saya ajak peserta untuk bersama memahami miskonsepsi yang selama ini terjadi. Dan berusaha untuk merubah miskonsepsi tersebut. Dalam video dijelaskan bahwa ciri Guru Merdeka Belajar adalah Komitmen pada tujuan, Mandiri terhadap cara belajar, dan Melakukan refleksi. Sebagian besar peserta setuju dengan pernyataan tersebut. Karena ketiga hal tersebut merupakan kunci menjadi guru yang baik bagi sebagian besar peserta.  Namun ada tantangan di balik pernyataan mereka. Tantangan yang sedikit menciutkan semangat saya untuk melakukan perubahan. Mereka beranggapan bahwa usia merupakan hambatan menuju Guru Merdeka Belajar. Sebagian peserta adalah guru yang sudah mengabdi puluhan tahun di sekolah kami. Mereka mendukung gerakan Guru Merdeka Belajar. Tetapi mereka pesimis dengan kemampuan mereka. Karena usia yang sudah tidak muda lagi. Dan tidak cakap dalam penguasaan IT. Mereka sudah beberapa kali mengikuti pelatihan untuk mengasah kompetensi pedagogik maupun profesional. Hasilnya hanya beberapa yang mereka terapkan dalam proses pembelajaran. Dan akhirnya kembali ke metode pengajaran konvensional. Karena rasa pesimis yang begitu besar. Walau kadar semangat menurun, saya berusaha bangkit. Kembali menyampaikan motivasi bagi mereka. Saya kaitkan dengan pernyataan pembicara dalam video.  Saya harus yakin bahwa ada setitik asa untuk mewujudkan perubahan dalam pola pikir mereka. Salah satu nya yaitu kesediaan mereka untuk hadir dalam forum ini. Dan juga dukungan dari beberapa orang guru baru di sekolah kami. Kehadiran 4 orang guru baru di sekolah kami, membawa angin segar dalam mewujudkan gerakan Guru Merdeka Belajar. Selain karena usia yang masih muda, semangat mereka juga masih menyala. Mereka menyatakan ingin menjadi Guru Merdeka Belajar. Bu Risma Muntia dan Pak Surya Aldi menyatakan kesiapan mereka menjadi Guru Merdeka Belajar. Alasan Bu Risma adalah karena dirinya belum memiliki banyak pengalaman dalam dunia pendidikan, sehingga ingin sekali belajar lebih banyak lagi. Sementara alasan Pak Surya ingin menjadi Guru Merdeka Belajar adalah karena dia ingin siswanya merasakan Merdeka Belajar. Belajar tanpa paksaan. Bu Wahyuni Hasibuan berkata: ”Saya sangat ingin menjadi Guru Merdeka Belajar. Saya akan berusaha membuat teknik mengajar yang menyenangkan. Dan menyelipkan ice breaking di sela-sela pembelajaran. Sehingga siswa tidak jenuh.” Sementara Pak Edy Hermawan menyatakan akan menciptakan suasana kelas yang nyaman, bersih dan indah. Sehingga siswa betah belajar dalam ruangan. Dia juga akan membuat pojok baca di dalam kelas, yang didesain unik dan menarik. Sehingga memotivasi siswa untuk tertarik berliterasi. Mendengar pernyataan dari beberapa guru baru tersebut, sedikit mengubah mindset guru yang lain. Terlihat dari pernyataan Bu Debbie Sukraini yang bertanya  tentang kelanjutan kegiatan ini. Apabila ada forum lanjutan ataupun komunitas penggerak Guru Merdeka Belajar, ia bersedia untuk bergabung. Bu Zulfah Riza juga menyatakan kesediaannya untuk mengikuti forum lanjutan. Dan akan menyebarkan informasi … Read more