Bupati Maryoto Terima Audiensi Yayasan Guru Belajar, Akui #TerusBelajar Tingkatkan Kompetensi Guru

Ketua Yayasan Guru Belajar (YGB), Bukik Setiawan, melakukan audiensi kepada Bupati Tulungagung, Maryoto Birowo, pada hari Rabu (23/02/2022). Maryoto didampingi oleh Kepala Dinas Pendidikan dan Kabid Pembinaan Guru dan Tenaga Kependidikan, Hariyo Dewanto dan M. Ardian Candra. Pertemuan tersebut merupakan upaya YGB untuk mempererat relasi pasca diadakannya program #TerusBelajar di Kabupaten Tulungagung  sejak Agustus 2021. #TerusBelajar merupakan program Kampus Pemimpin Merdeka sebagai salah satu unit kerja YGB,  di lima kabupaten di Jawa Timur. Program yang bertujuan memulihkan pembelajaran dari learning loss akibat pandemi ini diprakarsai bersama NusantaRun. “Total ada 400an pendidik yang diwisuda atau sudah berhasil menyelesaikan #TerusBelajar. Meskipun baru pertama kali dan bukan program dari pemerintah, Alhamdulillah, sudah ramai yang ikut,” ungkap Bukik. Baca Juga: Apakah Merdeka Belajar Itu? Ia berharap, YGB, Lintas Daerah Belajar, dan pemerintah daerah Tulungagung dapat menjajaki kemungkinan kerjasama yang lebih. Pasalnya, isu pendidikan di Indonesia saat ini tidak hanya berkaitan dengan learning loss, namun juga asesmen nasional dan penerapan kurikulum merdeka. Terlebih usai ujian nasional ditiadakan, ada perubahan indikator ketercapaian kinerja pendidikan. Bukik mengatakan pemerintah daerah merupakan pihak yang akan paling terdampak dengan perubahan tersebut.  Menanggapi ajakan Bukik, Maryoto menyambut apa yang dilakukan YGB di Tulungagung. #TerusBelajar selaras dengan poin pertama dari lima program utama pembangunan nasional yakni pembangunan manusia. Maryoto melihat program tersebut akan membantu pendidik di Tulungagung untuk dapat meningkatkan kompetensinya. Guru saat ini setidaknya harus dibekali oleh dua hal, yakni vaksin dan kompetensi untuk mengajar di masa pandemi. Sehingga saat daring maupun luring, pembelajaran tetap dapat diterima dengan baik oleh murid. “Berbicara pendidikan memang harus mengalami perubahan dan pembaruan. Terlebih saat ini ada COVID-19. Cluster sekolah adalah yang paling banyak. Kalau sistemnya tidak berubah ya susah,” tukasnya.Maryoto mengucapkan terima kasih pada YGB yang membawa program #TerusBelajar di daerahnya. Ia terbuka pada setiap program yang mendukung kemajuan pendidikan di Tulungagung. “Education is power. Jadi apa pun yang terbaik untuk pendidikan, saya welcome,” pungkasnya.

Personalisasi Belajar Merdeka Belajar

Sering pusing menghadapi murid beragam? Dalam pembelajaran melibatkan murid dengan segala keragamannya, guru terkadang bingung merancang pembelajaran yang memfasilitasi keunikan setiap murid. Alhasil beberapa guru cenderung menyeragamkan proses pembelajaran dan mengabaikan kebutuhan personal murid, sehingga tidak terjadi personalisasi belajar. Setiap murid memiliki keunikan dan karakteristik yang beragam. Ada murid yang hobi bernyanyi, menggambar bahkan menari. Guru tidak dapat menyamaratakan hobi dan minat murid yang beragam. Bagaimana cara memfasilitasi keunikan murid yang beragam dalam proses pembelajaran? Guru perlu memfasilitasi pembelajaran yang dapat mengembangkan potensi dan membuat murid berpetualang melalui personalisasi belajar. Pada 17 Agustus 2021 yang juga bertepatan dengan Hari Kemerdekaan Indonesia, Obrolan Guru Merdeka Belajar membahas petualangan murid dalam proses belajar dengan judul Personalisasi Petualangan Merdeka Belajar.  Pemandu membuka obrolan dengan menanyakan apa sih sebenarnya personalisasi belajar itu? Pak Mohammad Rizky Satria sebagai salah satu narasumber menjelaskan bahwa personalisasi belajar itu artinya proses penyesuaian aktivitas belajar dengan keunikan dan kebutuhan setiap individu. Tentu saja maknanya lebih dalam dari itu, dengan personalisasi belajar ini kita sebisa mungkin harus kembali pada hakikat belajar itu sendiri. Bahwa pada hakikatnya belajar itu adalah suatu yang alamiah, sesuatu yang melekat dalam diri setiap manusia, seperti anak-anak yang banyak bertanya, serta belajar banyak hal tanpa diminta. Paradigma belajar seperti ini yang perlu dibangun dalam personalisasi belajar. Namun selama ini terkadang karena belajar itu didominasi oleh sekolah atau guru kesannya belajar menjadi sesuatu yang formal & prosedural, padahal sebetulnya tidak demikian. Setelah memahami hakikat belajar sebagai proses alamiah, lalu muncul pertanyaan belajar seperti apa yang paling sesuai, paling tepat, serta dapat optimal? Jawabannya adalah belajar yang sesuai dengan karakteristik dan kebutuhan kita, disitulah muncul personalisasi belajar. Pak Rizky juga mengungkapkan dengan momen hari kemerdekaan ini menjadi waktu yang baik untuk kita mereflesikan kembali makna belajar, mengembalikan hakikat belajar dari keterkungkungan dan miskonsepsi belajar-belajar yang prosedural. Lebih luas dari itu kita bisa menyesuaikan aktivitas belajar seperti apa yang sesuai dengan diri kita, ini yang menjadi makna persoanalisasi belajar lebih jauh. Pa Rizky yang juga seorang guru dari SMP Cikal Serpong menyampaikan berkaitan dengan makna personaliasasi belajar secara umum, dalam konteks pembelajaran peran guru menjadi lebih krusial. Bahwa selain guru bisa mempersonalisasi belajar untuk dirinya sendiri, harus membantu murid juga untuk memfasilitasi aktivitas belajar sesuai dengan kebutuhan setiap murid. Guru perlu mengupayakan pembelajaran yang memberi ruang untuk murid sesuai gaya belajarnya sendiri, punya semangat belajar yang baik, punya pemikiran terhadap belajar yang tepat, dan kemudian bisa memahami dirinya sendiri. Menariknya dalam Obrolan Guru Merdeka Belajar berjudul Personalisasi Petualangan Merdeka Belajar juga menghadirkan murid sebagai narasumber yaitu Ayunda Damai Fatmarani. “Kalau dari aku mungkin mengajar dan memberikan tugas itu satu bagian sendiri tapi di sebelum itu biasanya aktivitas belajar dalam satu semester kali ya, itu dimulai dari menetapkan tujuan belajar (goal setting) masing-masing murid termasuk aku” ungkap Damai membuka cerita pengalaman personalisasi belajarnya.   Damai sebagai murid dari sekolah Cikal Surabaya juga menjelaskan setelah mengetahui ekspektasi masing-masing di awal yang sudah ditetapkan melalui tujuan belajar, selanjutnya bisa disesuaikan juga dalam proses pembelajarannya. Misal yang suka diskusi akan dibuat group diskusi, bagi yang lebih suka membaca akan dicarikan sumber bacaan untuk dibaca sebelum diskusi. Pemberian tugas juga sama bisa dipersonalisasikan dengan melihat dari tujuan belajar yang sudah ditetapkan. Selain itu Damai pun menceritakan pengalaman personalisasi belajar saat mengerjakan asesmen sumatif tahun lalu, untuk pembelajaran bahasa inggris materinya sendiri tentang literatur. “Jadi kami diminta untuk membaca salah satu buku, kebetulan bukunya sama, tetapi setelah itu diminta untuk menganalisa isi bukunya dengan topik yang sesuai minat murid-muridnya. Menganalisa apa sih yang paling menarik dari buku tersebut, untuk aku sendiri menganalisa bagaimana tata bahasa dan diskursus itu bisa digunakan untuk mengontrol masyarakat. Tapi teman-teman aku ada yang menganalisa tentang emosi karakternya dan bagaimana itu membentuk ceritanya, ada juga yang membahas sejarah dan menganalisa betapa pentingnya masa lalu, ada juga tentang relasi antar karakter dan itu benar-benar dipersonalisasi sih akhirnya per murid” cerita Damai terlihat semangat menikmati proses dan petualangan belajarnya.  Setelah mendengar cerita Damai Bu Fatrica sebagai pemandu obrolan bertanya apakah personalisasi belajar hanya akan menambah beban guru? Pak Rizky pun menegaskan “jika pertanyaannya apa menambah beban guru? Jawabannya iya, tapi apakah hanya menambah beban guru? Tentu saja tidak, karena upaya lebih yang dilakukan guru untuk memahami muridnya akan setimpal di akhir nanti ketika bisa melihat karya-karya murid seperti karya Damai dan teman-temannya tadi. Dengan personalisasi belajar potensi murid bisa muncul, murid bisa punya pilihan memanfaatkan ruang yang guru berikan dan memanfaatkan aktivitas belajar yang sudah disesuaikan dengan kebutuhan setiap murid. Namun saya lebih suka menyebutnya tantangan atau tanggung jawab bukan beban. Tantangannya meningkat yang tadinya hanya mengajar sesuai dengan yang saya inginkan menjadi sesuai dengan yang murid-murid inginkan, kompromi dengan apa yang sudah saya susun. Atau tanggung jawabnya lebih yang tadinya hanya menyampaikan materi saja sekarang tanggung jawabnya membantu mengoptimalkan potensi setiap individu, kalau seperti itu jadinya lebih positif” ungkapnya dengan lugas. Bagaimana Ibu dan Bapak guru, apakah Anda sudah siap memilih tantangan melakukan personalisasi belajar? Tenang, berikut ada dua tips dari Pak Rizky Satria untuk mempersiapkan personalisasi belajar, yaitu: Merancang strategi untuk bisa memahami karakteristik dan kebutuhan setiap murid Disini kita bisa melakukan berbagai cara seperti asesmen diagnostik di awal untuk bisa membuat pemetaan bagaimana komposisi murid-murid di kelas, selain itu diagnostiknya tidak hanya di awal tapi berlanjut seiring proses pembelajaran. Bisa juga melakukan observasi dengan menjadikan murid teman ngobrol. Dengan berteman dan sering ngobrol kita dapat memahami karakter murid lebih baik. Strategi menerapkan personalisasi dengan diferensiasi Bahwa dalam satu kali aktivitas belajar itu ada beragam cara yang dapat kita hadirkan. Ada yang dibedakan kontennya, ada yang prosesnya, dan ada juga dibedakan produknya. Memberikan beragam pilihan kepada murid, untuk itu pentingnya memahami murid di awal. Dengan memahami kita bisa mendesain pembelajaran yang memfasilitasi keberagaman murid.  Selanjutnya pemandu mengarahkan obrolan untuk menjawab pertanyaan peserta yang menyaksikan baik dari platform youtube Kampus Guru Cikal maupun dari sekolah.mu program Obrolan Guru Merdeka Belajar. Sebagian peserta bertanya kepada Damai mengenai pengalamannya mendapatkan dan melakukan personalisasi belajar. Damai pun menceritakan mulai dari pengalaman personalisasi belajar paling berkesan yaitu setiap proses diskusi dalam hal apapun bersama guru … Read more

Asesmen Diagnosis adalah Langkah Agar Murid Gemar Belajar!

Sebal menghadapi murid yang malas belajar saat pandemi? Sudah menggunakan Asesmen Diagnosis? Asesmen Diagnosis adalah langkah menyelenggarakan pembelajaran yang berorientasi pada murid. Lalu bagaimana merancangnya di situasi pandemi? Pembelajaran berorientasi pada murid dalam situasi ruang kelas yang sama saja masih manjadi keresahan dan tantangan guru, apa lagi saat pandemi. Dimana keberagaman situasi setiap murid sangat mempengaruhi pembelajaran. Ketersedian sarana prasarana memadai, pendampingan orang dewasa untuk murid jenjang bawah, juga kondisi keluarga setiap murid menjadi tambahan pertimbangan guru merancang strategi pembelajaran berorientasi pada murid. Tentunya setelah guru memahami pribadi setiap murid, minatnya, modalitas belajarnya, juga tahapan perkembangan kognitifnya. Untuk itu hal yang penting bagi guru lakukan adalah asesmen diagnosis, untuk mengetahui dan memahami profil setiap murid. Dari hasil asesmen diagnosis tersebut menjadi acuan guru merancang strategi pembelajaran yang sesuai bagi murid. Kamis, 8 Juli 2021 rekan guru di Kabupaten Lamongan mempersiapkan melakukan asesmen diagnosis dengan mengadakan Temu Pendidikan Daerah (TPD) Kabupaten Lamongan dalam Webinar Asesmen Diagnosis bersama Ibu Elisabet Indah Susanti sebagai narasumber dari Kampus Guru Cikal Webinar dibuka dengan mendengar sambutan dari Bapak Chusnul Yuli Setyo selaku Kadisdikbud Kabupaten Lamongan yang menekankan soal upaya mempersiapkan PTM terbatas dengan aman. Menurut beliau ada tiga hal yang perlu diperhatikan, yaitu: 1) Persiapkan Lembaga; 2) Persiapan Guru; dan 3) Persiapan Strategi Pembelajaran. Bapak Setyo juga mengungkapkan bahwa persiapan yang dilakukan perlu didukung oleh literasi digital. Hal ini dikuatkan oleh Kepala Kemenag Kabupaten Lamongan Bapak Firdaus Markus dalam sambutannya yang mengungkapkan, “ajarilah anak sesuai zamannya”. Menurut beliau sesungguhnya murid mudah beradaptasi dengan literasi digital, namun guru juga harus berapatasi sehingga mampu menemukan formula dan strategi pengajaran tepat pada masa pandemi. Hal yang tidak kalah penting diungkapkan Pak Firdaus dalam sambutannya ialah semangat dan motivasi belajar murid-murid yang perlu dipertahankan dengan merancang strategi pembelajaran sesuai kondisi setiap murid.  Setelah melakukan refleksi mengenai kata belajar & asesmen, Bu Elisabet Indah Susanti sebagai narasumber menyampaikan “sayangnya dalam praktik pembelajaran masih terdapat miskonsepsi belajar”. Setidaknya terdapat dua kriteria miskonsepsi berlajar, yaitu:  strategi pembelajaran yang masih berorientasi pada target, dengan hanya mengacu pada kurikulum, penyampaian satu arah untuk mengejar ketuntasan konten dan  asesmen pembelajaran yang masih berorientasi pada asesmen sumatif sebagai nilai akhir tanpa membedakan dengan pengambilan nilai asesmen formatif.  Baca Juga: Jurus Jitu Lulus Asesmen Nasional Seharusnya guru dalam merancang strategi pembelajaran berorientasi pada murid, dengan memadukan kurikulum dan kebutuhan murid. Aktivitas yang dilakukan beragam untuk penguasaan kompetensi, serta tentunya dengan pertimbangan kemampuan awal murid. Dalam proses dari merancang, manjalankan, sampai mencapai tujuan belajar untuk kompetensi diperkuat dengan asesmen pebelajaran. Tentunya dengan prinsip asesmen yang ideal. Terdapat 3 prinsip asesmen, yaitu:  asesmen untuk belajar, melalui asesmen diagnosis untuk menggali & menganalisis kebutuhan setiap murid dalam merancang pembelajaran. asesmen sebagai proses belajar, melalui asesmen formatif salah satunya menggunakan beragam metode yang menggali strategi belajar dan cara berpikir murid. asesmen terhadap hasil belajar, untuk mendapatkan informasi yang dibutuhkan orangtua dan pihak lain terkait capaian kurikulum. Ini baru berbicara soal nilai akhir rekan guru belajar melalui asesmen sumatif. Selama ini kita salah kaprah terhadap proporsi dari ketiga prinsip asesmen tersebut. Kita lebih banyak fokus pada asesmen terhadap hasil belajar dengan mengejar nilai. Kurangnya asesmen sebagai proses belajar, bahkan tidak melakukan asesmen untuk belajar dengan mendiagnosis kebutuhan belajar murid. Ada beragam cara untuk melakukan asesmen diagnosis, salah satunya bisa dengan tes, wawancara, atau observasi.  Dengan demikian tujuan asesmen untuk mendapatkan informasi bagi guru dan murid mengenai proses belajar dan pencapaian belajar secara berkala akan tercapai. Jadi kalaupun melihat kurikulum hanya dijadikan acuan untuk meningkatkan kompetensi yang kontekstual. Sehingga diharapkan rekan guru dapat membangun keberlajutan dengan mengaitkan antara rancangan pengajaran, pembelajaran, dan juga asesmen menjadi satu kesatuan proses yang saling berhubungan.  Jika kita memperhatikan arah perubahan pendidikan dengan adanya penyederhanaan aturan administrasi, orientasi pada murid, serta perubahan sistem asesmen rasanya kita diberi ruang dan waktu lebih banyak untuk mengenali masing-masing murid melalui asesmen diagnosis. Dalam melakukan asesmen ini, guru dapat dianalogikan bagai dokter bagi murid-muridnya. Seorang dokter itu tugasnya melakukan asesmen, bentuknya pemeriksaan kalau dokter. Pemeriksaan terhadap gejala, kemudian mengevaluasi, lalu tindak lanjut dengan memberikan resep obat sebagai solusi. Ketika kita sebagai guru melakukan asesmen diagnosis, berarti kita melakukan medical check up kepada murid-murid kita. Dengan hasil asesmen diagnosis, kita punya indikator analisis untuk mendapatkan informasi tentang kebutuhkan murid masing-masing. Lalu apa yang harus dilakukan setelah itu? Maka sama seperti dokter akan melakukan tindak lanjut dari gejala yang didapatkan. Guru pun akan melakukan tindak lanjut dengan merancang strategi pembelajaran yang berorientasi pada murid. Setelah Bu Susan selesai menyampaikan materi, rekan guru yang tergabung dalam Webinar Asesmen Diagnosis antusias bertanya dan berdiskusi. Pertanyaan yang cukup penting  adalah yang ditanyakan moderator dalam akun zoom Anis Ceha, apakah asesmen diagnosis hanya dilakukan kepada murid saja atau orang tua juga? “Pertanyaan bagus Bu” ungkap Bu Susan memberikan apresiasi. Asesmen diagnosis selain dilakukan kepada murid juga perlu dilakukan pada orang tua, karena latar belakang orang tua akan mempengaruhi proses belajar murid. Pengaruhnya terhadap inisiatif murid dan juga dukungan orang tua selam proses belajar. Pertanyaan berikutnya dari Bu Fatma, kalau untuk murid baru pada tingkat SD/MI pendekatan seperti apa yang digunakan untuk mengenali karakter murid pada saat PJJ? Secara kan murid barunya dari TK. “Perlu interaksi personal pada setiap murid lebih banyak. Strateginya bisa dengan kelas dikelompokan kecil” jawab Bu Susan yang juga mengingatkan untuk memberi waktu lebih banyak mendengarkan murid bercerita. Diskusi dan tanya jawab yang tidak semua dapat dituliskan, ditutup oleh penyataan penutup dari Bu Susan, “Asesmen diagnosis hal yang mungkin tidak kita alami dulu sebagai murid, namun untuk pembelajaran yang berpihak pada murid hal ini sangat esensial dan perlu dilakukan. Apalagi pada situasi pandemi saat ini.” Bagaimana rekan guru belajar  metode apa yang akan dipilih untuk melakukan asesmen diagnosis? Metode apapun yang akan Anda pilih, pada intinya hasil dari asesmen diagnosis diperlukan untuk merancang pembelajaran berorientasi pada murid. Sehingga akhirnya akan tercipta pembelajaran yang merdeka belajar. Salam Merdeka Belajar Neneng Nurbaeti 

Diferensiasi Pembelajaran yang Disukai Murid

Diferensiasi pembelajaran itu apa sih? Lalu bagaimana menerapkannya? Apa dampaknya bagi murid? Temu pendidik daerah Makassar berjalan dengan penuh semangat saat pemandu acara membuka dan memperkenalkan narasumber ibu Dina Marta Aulia Ningrum seorang guru SMK Negeri 1 Kedungwuni Pekalongan. Ibu Dina membagi pengalaman mengajarnya dalam menghadapi beragam karakter murid. Saat ibu Dina memaparkan presentasinya yang membahas tentang deferensiasi. Inilah yang membuat saya dan beberapa teman KGBN Makassar turut ambisius untuk menyimak isi materi tentang pengalaman ibu Dina mampu membuat murid merasa nyaman dan semangat dalam belajar. Sekalipun pelajaran sulit, namun ibu Dina berhasil mengambil hati para muridnya dengan ide kreatifnya. Berikut ulasan terkait pengalaman ibu Dina dalam menerapkan diferensiasi pembelajaran. Berawal dari pembelajaran anekdot yang diberikan ibu Dina Marta Aulia Ningrum kepada muridnya, ia mendapat beberapa pengalaman sebagai bahan refleksi terhadap proses pembelajaran yang diterapkan. Dengan pembelajaran yang berfokus pada satu arah yaitu sekadar instruksi kepada murid mengerjakan “tugas” membuat anekdot menggunakan video. Namun, Ibu Dina belum memahami bahwa tidak semua murid bisa menggunakan video atau cenderung kurang berminat dalam menggunakan video. Serta ketidakpahaman murid terhadap pelajaran tentang anekdot.  Saat tiba hari pengumpulan tugas, hanya sebagian murid menyetor tugasnya dengan alasan sulit membuat anekdot dan video. Melihat hasil kerja murid yang jauh dari harapan, ibu Dina mulai berpikir langkah strategis untuk mencapai pembelajaran yang menyenangkan dan dapat mendorong semangat murid dalam belajar dan mengerjakan tugas anekdot yang diberikan. Ibu Dina mencari tahu kesukaan, kemamapuan, serta keahlian para muridnya. Jawaban murid beragam dengan berbagai pendapat. Ada yang suka menggambar, puisi, dan membuat pantun. Ibu Dina sontak melihat keberagaman bakat minat muridnya, namun dari situlah ibu Dina memberi kesempatan murid untuk memilih tantangan belajarnya sendiri sesuai potensi yang dimiliki.  Baca Juga: Jurus Jitu Lulus Asesmen Nasional Tantangan terbesar ibu Dina dalam menerapkan diferensiasi yaitu murid merasa aneh, karena penerapan murid berbeda dalam mengerjakan tugasnya. Namun Ibu Dina telah menjelaskan manfaat dari model deferensiasi ini. Deferensiasi dapat memaksimalkan potensi masing-masing murid dengan mambawa kedalam ranah pembelajaran agar bakat, minat murid dapat berkembang dan pembelajaran juga bisa menyenangkan.  Sebagai guru kita mengetahui bahwa setiap murid memiliki latar belakang bakat dan minat yang berbeda. Dan hal itulah yang membuat ibu Dina menyadari bahwa dalam menerapkan pembelajaran di kelas kita perlu melakukan diferensiasi/memahami kebutuhan murid. Maka dari itu, ibu Dina mengemas pembelajaran tentang anekdot dengan kolaborasi kemampuan murid. Artinya, murid mengerjakan tugas sesuai dengan hobi/passion masing-masing.  Sebagai contoh, murid yang suka musik bisa menyusun lagu menggunakan kata-kata anekdot. murid yang suka menggambar bisa menuangkan ide gambarnya ditambahkan kata anekdot di dalamnya. murid yang suka puisi, bisa menyusun puisi  menggunakan kalimat-kalimat anekdot. Bahkan ibu Dina memiliki murid yang bisa mendesain, maka ia membuat sebuah desain baju dengan kata-kata anekdot. Setelah selesai murid tersebut mencoba untuk mengirim ke sosial media. Alhasil baju yang ia desain dengan kata-kata anekdot yang dibuatnya menjadi laris. Ini adalah salah satu pencapaian yang sangat menakjubkan baik kepada guru maupun murid. Dalam hal ini bisa meningkatkan motivasi murid, semangat belajarnya, dan dapat juga memberi sumbangsih yang positif terhadap hasil belajar mereka. Tentu hal tersebut juga menjadi motivasi terhadap murid lainnya. Dan langkah yang inovatif ini bisa menjadi cerminan bagi guru-guru lain dimanapun berada. Bahwa kita perlu mengembangkan pelajaran menjadi menyenangkan dan bermakna.  Selain dari model pembelajaran yang diterapkan ibu Dina terkait diferensiasi/pembelajaran sesuai kebutuhan murid. Ibu Dina juga menerapkan sistem pengumpulan tugas sesuai keputusan bersama murid. Dengan melakukan musyawarah seperti ini, membuat murid juga ikut terlibat menyumbangkan ide mereka, dan murid merasa keberadaan mereka dihargai oleh guru. Bukan hanya perintah satu arah dari guru. Tapi kita mencoba mendiskusikan setiap kegiatan kelas dengan murid. Bahkan dalam menentukan durasi pengerjaan tugas. Meskipun mereka sudah sepakat mengumpulkan dalam waktu sepekan, namun beberapa murid telah menyelesaikan tugas sebelum deadline. Sebagai salah satu alasan murid bisa mengerjakan tugas sebelum deadline adalah mereka menganggap bahwa tugas yang diberika ibu Dina menyenangkan, karena mereka bebas membuat anekdot sambal memadukan passion mereka.  Dari sinilah kita mengerti, bahwa pembelajaran yang inovatif, kreatif menyenangkan bagi murid akan mendorong murid semangat dalam belajar. Untuk menjadikan murid kita paham dan berminat untuk belajar tentu yang pertama kita lakukan adalah menjamah hati mereka, mencari hal-hal yang mereka suka seperti hobi dan minat mereka. Dari minat itulah kita padukan dengan pelajaran. Dengan penuh yakin, point pelajaran yang hendak kita sampaikan dapat diterima dengan baik disebabkan pengemasannya juga bagus dan menarik perhatian murid. Ibu Dina berpesan sebagai seorang guru kita harus sering merefleksi diri dengan memberikan pertanyaan yang memantik agar dapat memacu semangat kita dalam mengajar dan mendidik yaitu “Apa upaya saya sebagai guru membantu murid dalam memahamkan pembelajaran dengan menciptakan beberapa inovasi selain pemberian teks saja yang kadang membuat anak-anak jenuh”.  Langkah yang diterapkan ibu Dina dalam hal diferensiasi ini lebih kepada empati kepada murid, memanusiakan hubungan dengan menjalin hubungan yang komunikatif dengan murid. Empatinya adalah berusaha memahami kebutuhan belajar murid yang memadukan pembelajaran sesuai dengan passion/hobi murid. Dan langkah memanusiakan hubungan yaitu kita dapat mengajak murid ikut terlibat dalam menentukan kesepakatan kelas, kesepkatan deadline pengumpulan tugas dan kegiatan-kegiatan belajar. Dipenghujung acara temu pendidik daerah komunitas guru belajar Makassar, beberapa peserta memberi apresiasi melalui kolom komentar di youtube dan termotivasi untuk menerapkan model pembelajaran yang diterapkan Ibu Dina. Selain dari itu, beberapa peserta juga melakukan sharing dengan bertanya apa yang menjadi kelebihan serta kekurangan dari model diferensiasi ini. Yang menjadi kelebihan serta kekurangannya telah dipaparkan pada paragraph sebelumnya bahwa diferensiasi pembelajaran tentu membuat murid senang dalam mengerjakan tugaas karena mereka bebas berkreasi tanpa mengurangi makna dari inti pembelajaran tentang anekdot misalnya. Kita juga bisa merasakan bahwa murid yang mengerjakan tugas dengan persaan senang dan semangat tentu berpengaruh pada kecepatan mereka mengerjakan tugas, serta pembelajaran akan mudah berkesan dalam hati dan ingatan mereka. Adapun kekurangannya kami merasa tidak begitu nampak, karena murid mengerjakan dengan senang hati, hanya saja dikembaalikaan pada murid terkait biaya dalam mengerjakan tugas tersebut seperti membuat desain baju menggunakan kata-kata anekdot tentu itu membutuhkan biaya untuk mendesain. Berbeda jika murid menulis anekdot di buku tulis tentu biayanya berbeda jauh dan lebih murah. Namun kembali lagi pada kualitas kerja. Tentu dengan pekerjaan yang berkualitas juga akan … Read more

Observasi Kelas Merdeka Belajar

Pusing menghadapi murid yang acuh dalam belajar khususnya saat PJJ? Ragu akan pentingnya observasi dalam pembelajaran di kelas? Bingung cara apalagi yang bisa dilakukan untuk melakukan asesmen selain asesmen kognitif? Yuk ikuti Obrolan Guru Merdeka Belajar (OGMB)! Deretan pertanyaan di atas terjawab tuntas pada Obrolan Guru Merdeka Belajar pada hari Selasa tanggal 31 Agustus 2021 secara live streaming di youtube. Obrolan berupa bincang seru ini dihadiri oleh dua narasumber keren. Ada ibu Cornelia Amita atau yang akrab disapa bu Mita yang juga berprofesi sebagai konselor middle school di Sekolah Cikal Serpong. Selain itu hadir juga ibu Anik Puspowati seorang guru PAUD di Fatif Edu. Bincang seru ini digawangi oleh moderator keren ibu Ira Ari Nuraini dari Kampus Guru Cikal. Perbincangan yang berlangsung secara santai selama tapi sarat makna dan kaya pengetahuan serta berdasarkan pengalaman empiris dua nara sumber yang mumpuni di bidangnya ini benar-benar mencerahkan. Peserta yang berasal dari guru-guru pembelajar seluruh Indonesia, dosen dan praktisi pendidikan ini membahas tentang pentingnya melakukan observasi yang dapat berfungsi sebagai asesmen di kelas-kelas merdeka belajar. Waktu 90 menit berlalu tak terasa karena diskusi mengalir dengan lugas dan berkualitas. Ketika membahas tentang pentingnya observasi bagi murid, bu Anik  memaparkan agar guru bisa memahami muridnya. Kenapa murid A begini. Guru bisa mengidentifikasi kemampuan dan aspek perkembangannya. Saat ditanya tentang caranya agar bisa mengenal murid lebih baik secara kognitif maupun nonkognitif, kedua narasumber sepakat melakukannya melalui observasi di kelas merdeka belajar. Menurut bu Mita, observasi adalah melakukan pengamatan dengan tujuan. Apalagi saat PJJ dimana kita hanya ketemu murid melalui tatap maya. Sebagian murid remaja menurut bu Mita cenderung untuk off cam karena sebagian murid usia remaja ini feeling insecure dengan penampilan fisiknya di layar. “Sebaiknya kita buat suatu kesepakatan bersama atau essential agreement dimana 10 menit pertama mereka harus buka kamera”, saran bu Mita. Beliau juga menjelaskan bahwa dari penampilan fisik murid, chatnya di WAG kelas dan memfollow IG nya, kita bisa mendapatkan data primer tentang murid. Selain itu, kita bisa mendapatkan dokumen sekunder dari rekaman, video bersama orang tuanya dan informasi dari guru sebelumnya. Baca juga: Jurus Jitu Lulus Asesmen Nasional Sementara itu, bu Anik yang merupakan seorang pendidik di tingkat PAUD justru menemukan kalau murid-muridnya lebih senang, kalau wajahnya kelihatan di kamera, karena usia seperti memang lebih suka melakukan eksplorasi dengan memencet tombol yang ada di piranti gawai atau laptop saat PJJ daring. Setelah itu, para murid akan berlari-lari terang bu Anik. Sama dengan bu Mita, bu Anik juga setuju, kalau dengan mengamati rekaman sesi zoomnya dan obrolan di WAG wali murid, data tentang murid akan didapatkan. Mengenai hal apa yang perlu disiapkan sebelum melakukan asesmen observasi di kelas merdeka belajar, kedua narasumber sepakat mengenai perlunya persiapan khusus. Menurut bu Anik, kita perlu mempersiapkan apa, kapan, bagaimana cara serta metodenya. Persiapan menyangkut format check list, anecdote, foto, HP , kertas dan sticky note. Sementara bu Mita lebih melihat ke tujuan asesmennya dan evaluasi kegiatan sebelumnya. Disamping itu, menurut beliau hendaknya ada semacam guidelines, check list, dan template untuk memasukkan foto dan video. Sasaran observasi menyangkut murid, orang tua atau teman-temannya juga perlu dipersiapkan agar bisa lebih fokus. Bu Ira sebagai pemandu diskusi juga menanyakan tentang sasaran yang tepat untuk observasi. Bu Anik menegaskan bahwa semua anak bisa diobservasi. Murid dilihat tumbuh kembangnya, orang tua diobservasi kondisi keluarganya serta bagaimana mereka berinteraksi dengan anaknya. Warga sekolah berupa orang dewasa sekitar anakpun tak luput menjadi sasaran observasi. Bu Mita menyatakan hal yang sama bahwa semua anak berhak, dan harus diobservasi. Observasi bisa berupa semacam personal treatment dan preferences yang hanya dimiliki anak. Atau dengan kata lain ada benchmark bagi setiap anak. Kita biasanya cenderung mengingat anak yang paling pintar atau paling sulit belajar. Ketika ditanya adakah cerita menarik selama melakukan observasi, keduanya kompak menjawab. Menurut bu Mita, di awal tahun ajaran baru selalu ada kejutan seperti murid kelihatan lebih cantik atau ganteng. Terkadang kita kaget dengan respon murid yang out of the box secara akademik. Makanya kita janganlah membatasi informasi yang masuk karena kita punya standar sendiri. Sering terjadi kejutan saat asesmen atau saat belajar. Menurut bu Anik, beliau kadang terkejut dengan anak yang bertambah tinggi badannya pas saat masuk sekolah lagi. Hal yang mengagetkan menurut beliau, kadang saat daring mereka berlarian, tapi saat luring bisa lebih fokus belajarnya. Bahkan murid yang hanya merepon dengan mengangguk atau menggeleng saat daring , bisa memberikan respon lebih saat luring. Berbicara soal tindak lanjut yang tepat setelah mendapatkan data observasi primer dan sekunder, kedua narasumber menyampaikan kalau mereka amat paham dengan beban administrasi guru yang banyak. Bu Mita mengingatkan para guru agar lebih teliti dalam menyeleksi data dan bukti pembelajaran, lalu melakukan kompilasi sehingga lebih paham akan tujuan observasi. Disamping itu, disarankan untuk sharing dengan guru kelas dalam rangka pengerucutan data serta mendiskusikan hasilnya dengan orang tua murid. Sedangkan bu Anik juga mengungkapkan hal yang senada. Data yang didapat disimpulkan, diinterpretasi dan hasilnya dibawa untuk bahan diskusi dengan orang tua. Hasil observasi disusun dalam google drive. Setelah sebulan, data tersebut diidentifikasi tindak lanjutnya sehingga didapat informasi aktual misalnya masih ada anak yang belum bisa mewarnai di usianya dan menggambar tidak sesuai dengan kemauannya. Pertanyaan terakhir dari bu Ira sebagai pemandu jalannya diskusi menyangkut bagaimana mengaitkan berbagai asesmen seperti proyek, observasi, wawancara, tugas dan tes tertulis. Hal ini dijawab secara lugas oleh bu Mita bahwa keseluruhan asesmen di atas saling terkait dan dapat dijadikan bahan untuk saling memperkaya pemahaman terhadap anak sehingga kita memiliki pemahaman yang utuh terhadap seorang anak. Bu Anik menambahkan perlu adanya penekanan pada aspek mana yang akan disasar dan tujuan pembelajarannya. Intinya menurut beliau, sebagai guru kita harus cerdas dalam memilih asesmen. Sementara itu, peserta terlihat sangat antusias dengan mengajukan berbagai pertanyaan di kolom chat. Diantaranya ada Ibu Supadmi yang meminta contoh observasi di tingkat SD dan kapan pelaksanaanya. Ada lagi ibu Anggun Dwi Lestari yang menanyakan bagaimana bentuk asesmen murid dengan tingkat kognitif rendah saat PJJ. Ibu Ayu Ade Irene ingin tahu adakah bentuk asesmen khusus untuk observasi. Berikutnya ada ibu Carla Adi Pramono yang bertanya tentang pengalaman empiris terkait asesmen observasi  yang digunakan … Read more

Membahas Asesmen Kompetensi Minimum

Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) Nadiem Anwar Makarim memastikan Ujian Nasional (UN) ditiadakan. Kemudian diluncurkan Asesmen Kompetensi Minimum dan survey karakter. Asesmen Kompetensi Minimum dan survey karakter bukanlah pengganti UN, karena memiliki tujuan yang berbeda dari UN. Asesmen ini akan menilai kompetensi literasi dan numerasi. Selain asesmen kompetensi, juga akan memberlakukan konsep survei karakter. Survei karakter ini digunakan untuk mengetahui karakter anak di sekolah. Untuk mengetahui ekosistem di sekolahnya bagaimana implementasi gotong-royong. Serta Survei itu, digunakan untuk menjadi tolok ukur supaya sekolah-sekolah memberikan umpan balik bagi kegiatan pembelajarannya. Selama ini  murid selalu dikejar-kejar dengan tuntutan prestasi dengan berbagai tekanan untuk mencapai nilai tinggi, selalu dibayangin keresahan dan  rasa takut untuk tidak lulus pada hasil ujian sehingga berbagai cara dilakukan untuk mendapatkannya. Tekanan itu bukan hanya dirasakan oleh murid saja tetapi juga guru karena menginginkan agar muridnya memperoleh nilai yang tinggi dan dinyatakan lulus. Hal senada disampaikan oleh Pak Ari Wibowo dari Cerita Guru Belajar yang menjadi Narasumber pada TPD KGBN Jeneponto dengan topik NGOPI (Ngobrol Pintar) Asesmen Kompetensi Minimum yang dipandu oleh Bu Ninik Angraeni penggerak KGBN Jeneponto. Pak Ari mengawali materinya dengan menyampaikan pertanyaan Apa yang Sebenarnya Terjadi pada Pendidikan Kita? Dari pertanyaan tersebut tergambar bahwa yang banyak terjadi adalah masih banyaknya miskonsepsi belajar mulai dari miskonsepsi di ruang belajar, strategi pembelajaran yang berdasar target, asesmen pembelajaran yang berorientasi sumatif. Pada kesempatan ini Pak Ari mengupas habis mengenai konsep merdeka belajar di ruang kelas, pembelajaran berorientasi pada murid dan asesmen berorientasi diagnosis dan formatif. Lanjut Pak Ari, pada kesempatan ini juga menyampaikan perbandingan antara UN dan AN baik dari segi tujuan, aspek yang dinilai, jenis responden, penentuan responden, level responden, penentuan butir soal serta bentuk laporan. Pada UN bertujuan menjadi Penentuan kelulusan murid dan menjadi Pemetaan kualitas satuan pendidikan dan daerah. Aspek yang dinilai berfokus pada Penguasaan konten dari mata pelajaran yang diajarkan, murid menjadi responden tunggal yang ditentukan melalui sensus sekolah dan murid, yang pelaksanaannya pada murid tingkat akhir di setiap tingkatan, semua murid memperoleh bobot soal yang sama,bentuk laporan berdasar capaian murid. Sedangkan pada AN bertujuan Pemetaan kualitas satuan pendidikan dan daerah, Aspek yang dinilai Penguasaan kompetensi literasi dan numerasi, Penguasaan kompetensi sosial emosional yang tercakup pada Profil Pelajar. Baca Juga: Siap AN, Siap Berubah? Pancasila melalui survey karakter, Kualitas proses belajar di sekolah melalui survey lingkungan belajar, respondennya murid, guru dan kepala sekolah yang ditentukan melalui Sensus sekolah, sensus guru dan kepala sekolah, serta survei murid (sampling) level responden yakni murid Kelas 5, 8, 11, penentuan butir soal Murid mendapat butir soal yang disesuaikan atau bersifat adaptif (khusus AKM) serta bentuk laporannya tidak ada capaian murid dimana Capaian sekolah dibandingkan tahun sebelumnya. Pada sesi diskusi dan tanya jawab, salah satu peserta yakni Pak Syam menyampaikan kaitannya dengan penerapan asesmen nasional di kalangan teman-teman guru di Jeneponto masih banyak ditemukan miskonsepsi mengenai asesmen nasional dimana masih banyak guru yang beranggapan bahwa AN masih sama dengan UN yang akan menjadi penentu kelulusan murid, Bagaimana mengubah pemikiran guru yang selama ini sudah menjadikan kebiasaan mendrilling murid dengan soal-soal yang dibuku? Jawab Pak Ari, Untuk berubah memang butuh tantangan yang cukup berat dimana kita akan melalui jalan terjal dan berliku, tetapi itu bukan sebuah halangan untuk guru berubah. Pemerintah saja melakukan transformasi besar-besaran untuk sebuah perubahan. Olehnya itu Sekolah dalam hal ini Kepala Sekolah dan Guru didorong untuk melakukan kolaborasi untuk berubah. Dengan asesmen nasional miskonsepsi yang ada kita harus tinggalkan secara menyeluruh karena hasil AN bukan menjadi penentu kelulusan tetapi dikembalikan ke sekolah sebagai potret kualitas hasil pembelajaran murid di Sekolah, olehnya itu Sekolah dituntut  untuk terus melakukan terobosan berupa inovasi untuk capain mutu pembelajaran. View this post on Instagram A post shared by Kampus Guru Cikal (@kampusgurucikal) Pertanyaan berikutnya dari Pak Murdin Guru SMK. Mengapa AN diterapkan?. Lanjut Pak Ari Menjawab, Kenapa AN diterapkan karena kita ingin terhubung dengan sistem pendidikan global dengan model asesemen yang diterapkan. Pada kesempatan ini hadir pula membersamai teman guru Jeneponto ketua KGBN Pak Usman dengan memberi semangat belajar, Apakah Sekolah untuk hidup atau hidup untuk sekolah. Serta pada kesempatan ini peserta membangun komitmen bersama untuk SIAP AN, SIAP Berubah serta komitmen untuk terus belajar dan sesi ditutup dengan foto bersama. Ingin mengikuti program Siap AN, Siap Berubah?Klik tombol di bawah ini

Gaya Belajar Murid & Merdeka Belajar

Rabu 10 Maret 2021 pukul 10.00 WIB, adalah hari dimana Komunitas Guru Belajar (KGB) Pesisir Selatan  khususnya di Kecamatan Ranah Pesisir yang bertempat d UPT SDN 19 Padang Sirih. Kegiatan ini memiliki aktivitas berupa nonton bareng Guru Merdeka Belajar dan belajar mengenai “Memahami Gaya Belajar Murid”. Kegiatan nobar ini dimoderatori oleh kepala sekolah saya Rosmaini dan alhamdulilah di koordinatori oleh pengawas ibu Hafni Zahara dan di akhir nanti ada pemaparan dari penggerak KBG Pessel  Nofri Mayasril. Perkenalkan saya Eka Putri Rosdiani salah satu calon penggerak KGB, dan saya salah satu penerima beasiswa Guru Merdeka Belajar angkatan 1, dalam acara nobar kali ini saya sebagai pemandu acara nobar mengenai guru merdeka belajar dan sesi belajar mengenai memahami gaya belajar murid di akhir acara nobar ini. Kegiatan ini sebenarnya direncanakan diadakan tahun 2020, tapi karena berhubung keadaan dan situasi yang tidak memungkinkan karena adanya Covid 19 makanya kegiatan ini tertunda selama setahun. Alhamdulillah kegiatan ini dapat dilaksanakan hari ini dengan tetap memperhatikan protocol kesehatan dan dengan peserta yang hanya 14 orang saja untuk menghindari kerumunan. Acara ini yang semula dijadwalkan jam 10.00 WIB tertunda sekitar 15 menit karena ada kesalahan beberapa peralatan yang tidak pada semestinya. Akhirnya acara ini dimulai dengan dibuka oleh moderator kepala sekolah saya sendiri kemudian beliau mempersilakan kepada saya untuk memulai acaranya. Di awal acara saya memberikan kata sambutan dan menjelaskan sedikit tentang kegiatan yang akan dilaksanakan hari ini. Kemudian saya memaparkan bahwa acara hari ini pengambilan absen secara online dan linknya dibagikan oleh bapak Nofril Mayasril. Para peserta merasa terkejut dan banyak yang bilang tidak bisa. Kemudian bapak Nofril Mayasril membantu saya memberikan penjelasan kepada peserta bagaimana caranya pengambilan absen secara online. Dalam pengambilan absen sedikit mengalami kesulitan karena ada beberapa faktor salah satunya karena jaringan di tempat pelaksanaan kurang lancar. Tapi alhamdulillah akhirnya dengan kerjasama dan penjelasan serta bimbingan dari saya dan Bapak Nofril Mayasril akhirnya peserta bisa mengisi absen online. Kegiatan dilanjutkan dengan nobar video dari Najelaa Shihab. Sebelum pemutaran video bapak Nofri memberikan pertanyaan kepada peserta “apa yang bapak ibu ketahui tentang merdeka belajar?” Para peserta hanya diam dan tidak ada tanggapan. Akhirnya bapak Nofri memberikan penjelasan bahwa untuk menjawab pertanyaan tersebut terdapat dalam video berikut.  Peserta mengikuti dengan tenang dan mendengarkan dengan seksama video tersebut dan ada beberapa guru peserta yang saya perhatikan mencatat hal hal penting yang terdapat dalam penyampaian video tersebut. Kegiatan nonton bareng pun selesai, kemudian bapak Nofril Mayasril langsung memberikan  penjelasan bahwa peserta diminta untuk menuliskan refleksi dari video yang telah ditonton dengan menjawab beberapa pertanyaan berikut pada kertas yang telah dibagikan.  Para peserta menjawab pertanyaan tersebut sambil dipandu oleh Nofri dan dijawab pada kertas yang telah diberikan. Kemudian peserta menjawab pertanyaan tersebut sambil ada beberapa guru mengajukan pertanyaan dan meminta penjelasan dari pertanyaan tersebut. Seperti salah seorang peserta bertanya ”Apakah semua pertanyaan tersebut harus dijawab? Dan apa kami perlu ikut KGB untuk pengembangan diri? Pertanyaan tersebut dijawab oleh bapak Nofri dengan senyum dan santai. Bahwa dalam menjawab pertanyaan dipersilakan semuanya, tapi kalau bapak ibu tidak sanggup boleh semampunya saja. Dan untuk pengembangan diri sebenarnya boleh dimana dan bagaimananya. Tapi KGB merupakan sarana untuk berbagi dan bekerjasama untuk memberikan praktik baik dan pembelajaran yang bermakna bagi murid. Akhirnya refleksi pun selesai dan peserta diminta untuk menempelkan hasil refleksi yang ditulis ke papan tulis. Baca Juga: Merdeka Belajar Bukan Jargon Acara refleksi pun selesai kemudian pak Nofri memberikan sedikit penjelasan mengenai KGB terutama KGB Pesisir selatan. Kemudian Pak Nofri mempersilakan kepada pengawas sebagai koordiantor acara untuk memberikan sedikit motivasi kepada para peserta nobar kali ini. Dalam penjelasannya beliau menyampaikan merasa bangga dan senang dengan adanya acara ini dapat menambah ilmu dan motivasi kepada guru guru peserta dan beliau memberikan motivasi yang bagus kepada para peserta. Setelah acara Nobar merdeka belajar dan refleksi selesai acara dilanjutkan dengan pemaparan materi “Memahami gaya belajar murid”. Sesi dibawakan dengan cukup menarik oleh bapak Nofri. Hal ini terlihat dari antusiasnya para peserta mendengarkan materi yang disampaikan dan sesekali dalam penyampaian materi ada tanya jawab antara peserta dan bapak Nofri. Dan dalam penyampaian materi ini ada beberapa kali antara bapak Nofri dan peserta bercanda dan tertawa membahas banyaknya macam gaya dan tabiat murid yang dialami di lapangan.  Acara diakhiri dengan beberapa kesimpulan, komitmen dan kesepakatan bahwa kita para guru akan berusaha memberikan yang terbaik kepada murid, memberikan pembelajaran yang merdeka dan bermakna bagi murid. Para peserta bisa bergabung di KGB khususnya KGB Pesisir Selatan untuk saling berbagi ilmu, sama sama belajar dan berbagi praktik baik untuk kemajuan pendidikan dimasa yang akan datang. Acara perdana saya di KGB ini sangat menantang bagi saya, dan sangat besar manfaatnya bagi saya. Sangat memotivasi saya dalam menambah ilmu, saling berbagi dengan teman, dan juga sebagai wadah dan tempat komunikasi antar guru dalam berbagi ilmu dan permasalahan yang kita temui sebagai guru di lapangan tempat kita mengajar di sekolah masing masing. Tidak ada yang tidak mungkin dilakukan jika kita punya komitmen dan niat yang tulus terhadap tujuan. Ayo kita sebagai guru benahi diri kita, jadilah guru yang merdeka, berilmu dan melahirkan penerus bangsa yang bermartabat dan madani dan tetap fokus pada tujuan memajukan kehidupan bangsa. Semua yang dilaksanakan harus dengan komitmen dengan tujuan dan niatkan hati untuk mencapai tujuan. Semua tahap yang dilalui adalah proses tidak instan untuk mencapai tujuan.

Lebih Penting Pameran Karya atau Memajang Nilai Murid?

Pernahkah kita berpikir, apa esensi sekolah? Mengapa sekolah harus menerbitkan rapor murid dan menyerahkannya kepada orangtua? Pentingkah nilai-nilai itu? Atau, sebenarnya sekolah harusnya punya visi misi lain yang lebih bermakna? Mengapa nilai murid lebih sering dipajang, namun jarang ada pameran karya? Dalam obrolan #PemimpinMerdekaBelajar yang digelar 13 Februari 2021, hal itulah yang jadi topik pembahasan. Dipandu oleh bu Puti Almirsha, obrolan kali ini berfokus pada bagaimana sebenarnya esensi sekolah. Mengapa sekolah didirikan dan menjadi bagian belajar murid? Termasuk hubungannya dengan pameran karya sebagai instrumen pembelajaran.  Pak Bukik Setiawan, Ketua Yayasan Guru Belajar (YGB) sebagai narasumber menyatakan pemahaman yang tepat atas sekolah ini sangat penting. Apalagi, ketika dihadapkan dengan realita saat ini. Di mana, dunia sudah begitu terbuka. Sekat-sekat karir yang sebelumnya terbatasi dalam segmentasi tertentu, kini menjadi lebih cair dan beragam. “Di zaman ini, siapa yang menduga, menjadi youtuber bisa menjadi karir,” ujar Bukik.  Menurutnya, realitas yang berkembang ini harus diimbangi dengan kesadaran bahwa sekolah harus kembali mencari tujuan yang tepat. “Bagaimana sebenarnya sekolah itu?” sambungnya dalam obrolan #PemimpinMerdekaBelajar yang ditayangkan channel You Tube Sekolah Merdeka Belajar ini.  Pak Bukik mengatakan, pemahaman tentang sekolah atau madrasah ini, akan menentukan mau seperti apa output yang dicapai. Jika misalnya, sekolah dimaknai sebagai lembaga birokrasi, maka tentu saja output yang dihasilkan adalah laporan pertanggungjawaban keuangan dan program. Laporan yang disampaikan kepada lembaga birokrasi yang lebih tinggi. Begitu seterusnya.  Demikian halnya, ketika sekolah dipandang sebagai lembaga penyuplai sumber daya manusia (SDM). Maka output yang dihasilkan adalah daftar panjang tentang sejauh mana SDM dalam hal ini murid berkembang. Sebatas keterangan tentang penilaian (scoring) dan rangking.   Apakah kedua konsepsi ini tepat? Pak Bukik mengatakan realitas itu terjadi. Tapi menurutnya, sekolah seharusnya menjadi tempat pendidikan anak. Tempat anak belajar. “Pertanggungjawaban sekolah itu adalah menunjukkan bukti bahwa anak di sekolah/madrasah itu telah belajar,” ujarnya.  Dengan cara apa? Di sinilah, lanjut Pak Bukik, pameran karya bisa menjadi solusi. Di mana, pameran karya siswa akan menjadi semacam etalase sekolah untuk menunjukkan proses belajar yang telah dilakukan. Sehingga, tidak perlu menunggu sampai lulus dan menunjukkan profil lulusan mereka, sekolah/madrasah bisa memulainya dengan membuat pameran karya anak, yang bisa dikerjakan dalam rentang yang lebih pendek.  Misalnya, lanjut Pak Bukik, sekolah/madrasah bisa mendorong para guru untuk membuat check point asesmen formatif dalam bentuk karya. Waktunya bisa 1 – 3 bulan sekali. “Dan, karena ini formatif, tidak perlu di-grading atau digunakan untuk menentukan nilai akhir,” ujarnya. Yang penting, lanjutnya, pemeran karya ini diharapkan bisa menjadi bahan percakapan antar murid  maupun murid dengan gurunya. “Sekaligus bukti anak belajar di sekolah/madrasah,” bebernya.    Baca Juga: Jurus Jitu Lulus Asesmen Nasional Membuka Mata Stakeholder Pendidikan  Tentu, selain mempunyai fungsi idealis, yakni menjadi bukti belajar murid di sekolah, pameran karya juga memiliki fungsi pragmatis. Pak Bukik mengatakan, dalam kenyataan di lapangan, tak bisa dipungkiri sekolah/madrasah membutuhkan murid. Keberlanjutan sebuah sekolah/madrasah bergantung dari banyak sedikitnya murid. Jika banyak, maka akan lebih lama bertahan, karena dana bantuan operasional sekolah (BOS) yang terkucur semakin banyak. Jika sedikit, maka akan sempoyongan berdiri karena BOS yang diterima juga sedikit.   Maka dari itu, sekolah memerlukan sebuah ‘pertunjukkan’ yang bisa dilihat oleh banyak orang. Sehingga, hasil pembelajaran di sekolah terlihat secara masif oleh para stakeholder pendidikan. Jika rapor hanya menghubungkan hasil pendidikan murid, dari guru ke orangtua masing-masing, maka pameran karya menjadi solusi agar sekolah/madrasah bisa dikenal lebih luas.  Banyak yang akan melihat, jika misalnya satu sekolah berhasil menampilkan karya murid-muridnya yang punya karakter. Daya tarik itulah yang diharapkan bisa membuat sekolah mendapatkan banyak murid. “Ini sisi pragmatisnya,” ujar Pak  Bukik.   Lihat Potensi, lalu Kolaborasi  “Jangan melihat yang tidak ada,” kata pak Bukik menjawab pertanyaan dari seorang guru yang bertanya soal hambatan penyelenggaraan pameran karya di sekolah/madrasah kampung. Dengan kondisi anggaran terbatas dan fasilitas seadanya, apalagi mungkin jaringan internet yang sulit, menyelenggarakan pameran karya memang butuh upaya ekstra. Tapi pak Bukik mengatakan yang paling penting, bukan soal itu. Tetapi bagaimana sekolah/madrasah bisa membaca apa saja yang ada dan menarik untuk menjadi karya. “Lihat potensinya,” tandasnya.  Menurut pak Bukik, misalnya di sebuah desa, orangtua murid mencari nafkah dengan menjual tempe, maka tugas anak/murid harus berkaitan dengan itu. Mulai dari proses produksi misalnya, hingga ke pemasaran dan inovasi produk. “Pekerjaan orangtua dikolaborasikan dengan tugas murid,” bebernya.  Tentang pandemi dan kegiatan yang serba virtual? Pak Bukik mengatakan, bahkan jika pameran karya dilakukan secara luar jaringan (luring/offline), maka ia menyarankan agar ada upaya untuk memvirtualisasikan atau mengunggahnya ke media-media sosial. Baik guru, orangtua, atau murid sendiri.  Karena hal itu, lanjutnya, akan berdampak pada proses mengenalkan sekolah dalam cakupan yang lebih luas. “Keterbatasan adalah kesempatan untuk kreativitas kita,” tegas pak Bukik.  Karya yang Jadi Bahan Percakapan Dalam pameran karya ini, pak Bukik menyampaikan sekolah sebaiknya memamerkan karya yang otentik. Dalam artian, merupakan karya asli murid, dengan beraneka imajinasi dan kreativitasnya.  Menukil Alfie Kohn, dalam bukunya Memilih Sekolah Terbaik Untuk Anak: Mendobrak cara ajar Tradisional (2010), pak Bukik menyatakan bahwa secara umum, yang ditampilkan sekolah/madrasah biasanya adalah artifisial. Bukan hanya saat pameran karya, tetapi juga ornamen di dinding-dinding kelas. “Biasanya buatan guru atau barang-barang pabrikan,” ungkapnya. Jika yang sajikan dalam pemeran karya demikian, maka tidak akan ketemu tujuannya. Karena buat apa menyajikan karya yang biasa. Tidak unik karena sudah diproduksi pabrik. Karena jangankan dilirik, hal itu justru tidak sehat dan memicu pandangan miring bagi pendidikan di sekolah/madrasah. “Semakin otentik, maka akan semakin jadi bahan percakapan,” ujar pak Bukik. (*) 

Asesmen Nasional : Memperpanjang Derita atau Sebaliknya?

Senin lalu, 01 Februari 2021, lepas tengah hari, saat orang-orang bergegas pulang dari aktivitas  kerja, tepatnya pukul 16.00 Wita, Komunitas Guru Belajar Nusantara Makassar kembali menggelar Temu Pendidik Daerah di awal tahun dengan topik Asesmen Nasional sebagai  Pemetaan Pendidikan. Apa yang Harus Dilakukan Sekolah, Guru, dan Murid?  Topik ini sedang hangat-hangatnya jadi buah bibir dan akan digadang-gadang sebagai tema besar  Temu Pendidik Nusantara VIII nantinya. Lewat kanal Youtube KGB Makassar, Pak Ari Wibowo,  Pelatih Kampus Guru Cikal, sebagai pembicara, praktis dengan tegas dan terukur memulai webinar dengan pernyataan penolakan Ujian Nasional yang dulu telah lama dicetuskan oleh  Menteri Pendidikan Nasional era Kabinet Indonesia Bersatu, Bambang Sudibyo,sejak tahun 2005.  “Ujian Nasional sudah tidak relevan menjadi alat ukur dalam menentukan kompetensi murid.”  terang Pak Ari.  Sederet Menteri pun ikut menggaungkan wacana tersebut. Mulai dari M. Nuh, Anies Baswedan,  dan Muhadjir Effendy. Bahkan, saya dulu menganggap bahwa penghapusan Ujian Nasional merupakan hal utopis.  Tapi siapa sangka, di bawah Nadiem Makarim, hal itu terwujud. Kegaduhan terjadi dibanyak  tempat. Sekolah dan guru akhir-akhir ini sibuk tak karuan setelah Menteri Pendidikan dan  Kebudayaan mengeluarkan kebijakan yang tak terduga: Menghapus Ujian Nasional dan  menghadrikan Asesmen Nasional yang meliputi, Asesmen Kompetensi Minimum, Survei  Karakter, dan Survei Lingkungan Belajar.  Di tengah jalannya webinar, salah satu peserta, Emi Hardyanti, tiba-tiba mencurahkan  kegelisahannya di kolom live chat, “Bagaimana, Pak? Di luar sana banyak agen yang menawarkan  buku latihan untuk Asesmen Nasional, nyaris dipahami bahwa Asesmen Nasional merupakan  pengganti Ujian Nasional.”   Lalu disusul juga oleh Ibu Permata Hati, seperti namanya, komentarnya di kolom live chat ia  sampaikan dengan penuh emosional, “Sekarang banyak pelatihan pembuatan soal Asesmen  Kompetensi Minimum, bahkan buku pembahasannya juga ada. Apakah ini tidak berdampak pada  persaingan nilai? Jadinya, tujuan Asesmen Kompetensi Minimum malah tersamarkan.”  Dua celetukan dari peserta webinar membuat pembicara dan pemandu, Pak Multazam, Guru  MTsN 2 Maluku Tenggara yang baru saja hijrah dari Makassar, menahan tawa dengan sedikit rasa  heran. “Iya, Bu. Masih ada oknum-oknum yang memanfaatkan momen-momen seperti ini,” kata  Pak Ari.  Kedua komentar dari peserta menggambarkan bahwa selama ini tercipta miskonsepsi. Apa yang  diresahkan oleh peserta Temu Pendidik Daerah, mungkin itu juga yang dirasakan sebagian  teman-teman guru yang lain. Jadinya, guru kembali lagi terjebak pada konsep yang lama dan  menyamarkan tujuan cita-cita Asesmen Nasional.  Pembicara lanjut menyampaikan materinya, ia mengutip pernyataan dari Mas Bukik Setiawan,  “Ada perbedaan yang nyata pada konsep baru, tapi tidak akan bermakna bila pemahaman lama  yang digunakan untuk memahami konsep baru.”  Pada Temu Pendidik Daerah kali ini, pembicara berusaha mendobrak gap tersebut. Ia  menerangkan tiga dasar tujuan Asesmen Nasional. Pertama, ingin melihat kualitas pembelajaran  di sekolah. Kedua, mendapatkan umpan balik peningkatan kualitas pembelajaran di sekolah.  Ketiga, menjadi dasar untuk penyusunan program-program dalam meningkatkan proses  pembelajaran di sekolah.  “Pak, kenapa siswa yang menjadi target Asesmen Kompetensi Minimum hanya diperuntukkan  bagi siswa yang berada di kelas 5, 8, dan 11?” tanya peserta lagi.  Pertanyaan dari peserta langsung direspon oleh pembicara dengan menampilkan tabel  perbandingan Asesmen Nasional dan Ujian Nasional. Tabel itu menggambarkan tujuh perbedaan  dari masing-masing program.  Lanjut, pembicara mulai menjelaskan tiap-tiap perbandingan. Ia menegaskan sekali lagi bahwa  dalam Asesmen Kompetensi Minimum, tujuannya bukan untuk menilai hasil akhir, tapi keinginan  perbaikan yang diharapkan oleh pemangku kebijakan. Dengan menjadikan siswa kelas 5, 8, dan  11 sebagai sasaran, tujuannya tentu agar tahun depan siswa yang sudah naik tingkat ke kelas 6,  9, dan 12 ikut merasakan perubahan iklim yang berada di sekolah.  Jika Ujian Nasional mendapat bobot butir soal yang sama untuk mengukur kompetensi, Asesmen  Kompetensi Minimum malah bersifat adaptif yang menekankan pada kompetensi Literasi dan  Numerasi. Semuanya ini, bertolak pada hasil PISA beberapa tahun belakangan ini.  Bahkan, sasaran juga tidak hanya ditujukan kepada siswa, melainkan guru dan kepala sekolah  dalam ranah survei karakter yang termaktub dalam profil pelajar Pancasila dan survei lingkungan  belajar untuk melihat kualitas proses belajar mengajar di sekolah.  Baca Juga: Jurus Jitu Lulus Asesmen Nasional Jadi sudah menjadi barang yang jelas, bahwa Asesmen Nasional tidak berpacu pada target  seberapa banyak siswa yang berhasil lulus, tetapi berpacu pada target capaian sekolah tahun tahun sebelumnya agar tercipta peradaban dalam lingkungan sekolah.  Untuk mencapai itu, pembicara memaparkan lima strategi yang harus dilakukan sekolah, terlebih  pemimpin sekolah dalam hal ini kepala sekolah. Langkah pertama, kepala sekolah tidak  mengambil jalan pintas, misalnya menghimbau guru dan siswa untuk melakukan latihan  pengerjaan soal, tapi melihat kesemua sisi.   Kedua, kepala sekolah harus memprioritaskan waktu dan energi lebih banyak untuk memandu  perencanaan, pendampingan, dan refleksi proses pembelajaran dan melibatkan seluruh elemen,  termasuk orang tua murid. Ketiga, melakukan pembelajaran yang kolaboratif. Maksudnya, kepala  sekolah memastikan semua mata pelajaran harus terintegrasi pada kompetensi literasi, numerasi  dan karakter.  Keempat, mengembangkan kebiasaan berbagi praktik baik di lingkungan sekolah sebagai wadah  bertukar pikiran, karena belajar yang nyata itu ialah belajar dengan sesama rekan seperjuangan.  Terakhir, hapus program-program yang sudah tidak relevan, apalagi memakan anggaran yang  cukup banyak dan segera memulai menyusun program-program jangka panjang yang lebih relevan.  Nah, pilihan itu bergantung pada kita semua. Saya harap, setelah ini, ajaklah murid belajar untuk  hidup, bukan sekadar belajar untuk ujian. Sebab kata Einstein, “Seni tertinggi guru adalah  membangun kegembiraan dalam ekspresi kreatif dan pengetahuan.”

Belajar tentang Merdeka Belajar

Awal tahun ajaran baru 2020/2021 di masa pandemi keadaan pendidikan masih belum stabil seperti hari-hari biasanya. Guru-guru masih berkutat dengan kegiatan anak di rumah yang semakin hari semakin bosan dan tertekan karena kurangnya inovasi. Belajar untuk menuju Merdeka Belajar semakin terasa dibutuhkan Pada bulan juli ada ajakan dari ibu KASI Paud kabupaten Lamongan untuk menghadiri acara TPD (Temu Pendidik Daerah) yang dikemas dalam kegiatan Mudik KGB Spesial PAUD yang diadakan oleh teman-teman guru dari KGBN Lamongan. Saya tertarik dengan judul yang sangat spesial ini, seperti berjodoh saya menerima tantangan dari teman-teman KGB untuk menjadi moderator di kegiatan tersebut meski awalnya saya tidak pernah tahu tentang kegiatan KGB. Dari sana saya bertemu dengan orang-orang yang seperjuangan memimpikan merdeka belajar bagi murid, guru dan juga orang tua. Di kegiatan MUDIK ini saya mendapat sekali banyak ilmu dan pengalaman dalam mengolah pembelajaran di masa pandemi ini. Satu hal yang saya ingat dan terapkan sampai saat ini, bahwa dalam masa PJJ ini kita harus bisa menjadi guru yang paham dan mengerti akan kebutuhan anak dan juga orang tua di rumah. Ditemu pendidik daerah ini narasumber memberikan materi yang sangat berharga yaitu Mengenal Strategi 5M  saat masa PJJ. Dijelaskan oleh guru Andri dari KGB Depok juga Guru Rosa dari KGB Semarang pentingnya kita memanusiakan hubungan dengan orang tua, anak dan juga masyarakat agar tercapai tujuan pembelajaran yang merdeka belajar. Dari sana, berlanjut saya bergabung dengan KGB Lamongan dan mengadakan nobar guru merdeka belajar di sekolah saya. Meski antusias teman-teman tidak begitu banyak karena masih dalam masa pandemi, tapi semangat teman-teman dari KGB sangat luar biasa. Dilanjutkan dengan nonton bareng video penjelasan tentang merdeka belajar oleh ibu Najelaa Shihab. Banyak cerita-cerita menarik dan inspiratif dari teman-teman ketika selesai menonton video yang mana bu Najelaa Shihab memberikan semangat yang luar biasa untuk teman-teman dalam mewujudkan merdeka belajar. Setelah menonton video tersebut saya jadi tersadar, bahwa selama ini saya jauh sekali dari kata guru merdeka belajar. Seperti hal nya yang disampaikan ibu Najelaa Shihab “Guru merdeka belajar adalah guru yang mempunyai komitmen, guru yang mandiri dan guru yang selalu berefleksi”. Dan inilah yang menjadi tantangan untuk kita semua.  Baca Juga: Apa Itu Merdeka Belajar? Pada sesi selanjutnya diisi dengan sesi diskusi tentang pengalaman selama menjadi guru, yang dipandu langsung oleh teman-teman guru dari  KGB N Lamongan. Menurut Ibu Suweni dari TK Dharma Wanita Desa Brumbun beliau menyampaikan keinginannya untuk totalitas meluangkan waktu pada pembelajaran anak-anak, beliau juga berpendapat selama ini terbebani oleh tugas-tugas administrasi, UPK, UKG dll, ini juga selaras dengan apa yang disampaikan oleh Ibu Najelaa Shihab tentang komitmen bahwa tantangan kita saat ini adalah bagaimana membedakan cara dan juga tujuan, kita sering terjebak dalam tugas-tugas administratif, kita terjebak dalam ketentuan-ketentuan birokratis hingga ujian, akreditasi, seleksi, dan nilai yang sebetulnya semua hanya cara kemudian menjadi  tujuan dan prioritas utama, bahkan lebih tinggi dari prioritas tujuan utama pendidikan itu sendiri.  Menurut ibu Ma’rufah dari TK Muslimat Maduran menyatakan bahwa menjadi guru merdeka belajar sangat mudah mengucapkan, namun kesulitan dalam memulainya. Ini juga sama seperti yang disampaikan oleh ibu Najelaa Shihab bahwa guru merdeka belajar harus bisa komitmen, mandiri dan refleksi, tapi susahnya sangat minta ampun. Padahal tujuannya untuk anak-anak bisa lebih percaya akan dirinya sendiri, memiliki cita-cita melampaui batas ruang kelas menembus tingginya gedung sekolah. Dilanjut oleh ibu Astutik dari TK PGRI dengan adanya merdeka belajar dapat memberikan tingkat eksplorasi yang luas untuk pembelajaran anak-anak.  Kita seringkali terjebak dalam miskonsepsi belajar, sebagian dari kita hanya membuat alasan untuk berubah, seringkali kita tidak mau bergerak dengan alasan murid tidak mengerti, orang tua akan menentang dan masyarakat belum paham padahal sebenarnya itu adalah ketakutan dari diri kita sendiri untuk menuju perubahan. Banyak guru yang masih beranggapan bahwa menimba ilmu itu harus dari pakar atau ahli pendidikan. Disini saya mengajak teman-teman guru untuk menjadi guru belajar dimana kita bisa belajar dari siapa saja dan kapan saja karena kita belajar untuk kebutuhan alamiah kita. Seperti yang disampaikan oleh teman-teman bahwa mereka bangga ketika belajar dari pakar atau ahli pendidikan. Dengan ini mereka menyadari sebenarnya narasumber yang lebih baik adalah guru-guru lain yang belajar dan mempraktikan serta guru yang belajar dari banyak kesalahan kegagalan sebelum mereka berhasil. Saya sangat bersyukur bertemu dengan Komunitas Guru Belajar Nusantara ini, dimana saya dipertemukan dengan guru-guru yang ingin bergerak bersama untuk memprioritaskan pendidikan bukan hanya menjadi kepenting saja. KGB ini adalah wadah yang tepat untuk mewujudkan hal tersebut. Saya bertekad untuk menjadi guru merdeka belajar dan mematahkan miskonsepsi selama ini yang saya lakukan. Saya juga akan turut berkontribusi dalam komunitas ini karena kompetensi tidak harus dimiliki sendiri tapi kita sama-sama belajar berbagi ilmu, berbagi praktik baik dan berbagi pengalaman dari siapa saja dan untuk siapa saja selama dalam peningkatan mutu pendidikan.