Praktik Pembelajaran Berbasis Proyek: Students’ Movie Project

Murid lesu, tidak bersemangat dan termotivasi, sering membuat kegaduhan di kelas, atau prestasi terus menerus mengalami penurunan? Apakah bapak dan ibu guru pernah mendapati keadaan seperti ini? Bisa jadi ini adalah gejala-gejala ketika murid sedang merasa bosan dengan metode pembelajaran, dan mungkin juga ini adalah bentuk keluhan murid jika mereka sedang bosan dengan metode pembelajaran yang diterapkan. Jika iya jangan dibiarkan ya bapak dan ibu guru, karena ini tentunya akan menghambat murid dalam belajar. Namun tenang bapak dan ibu guru, kali ini bapak dan ibu guru akan dikenalkan dengan Praktik Pembelajaran Berbasis Proyek. Lantas, apa sih Praktik Pembelajaran Berbasis Proyek itu? Praktik Pembelajaran Berbasis Proyek adalah metode pengajaran di mana murid memperoleh pengetahuan dan keterampilan dengan secara aktif terlibat dalam dunia nyata dan proyek yang bermakna secara pribadi atau berkelompok. Dalam Praktik Pembelajaran Berbasis Proyek ini, murid akan memanfaatkan keterampilan membangun tim melalui kolaborasi. Murid dibebaskan memberikan pembagian tugas dalam tim dan merencanakan bagaimana mereka akan bekerja sama. Lalu, bagaimana contoh nyata dari Praktik Pembelajaran Proyek ini? Untuk lebih jelasnya, mari kita simak cerita dari Pak Madya Giri Aditama, yang merupakan anggota KGB Batang serta mengajar di STKIP Muhammadiyah Batang.  Menerapkan pembelajaran yang dapat membangun dan mengembangkan kompetensi serta kreativitas murid merupakan tujuan keberlanjutan yang ingin dicapai semua guru. Begitu juga dengan Pak Madya, dalam pembelajaran bahasa Inggris yang diampunya, murid dituntut menguasai empat kemampuan dasar, yaitu Berbicara (speaking), mendengar (listening), membaca (reading), serta menulis (writing). Menurut beliau, tentu saja ini membutuhkan waktu dan instrumen lebih banyak jika melakukan asesmen terhadap setiap kemampuan dasar secara terpisah. Pak Madya menerapkan kegiatan asesmen formatif yang dilakukan secara berkala dan bertahap sehingga dapat membantu murid untuk lebih memahami materi pembelajaran dengan lebih matang. Dikatakan oleh Pak Madya jika hambatan dan kendala yang sering dilakukan oleh murid dalam praktik bahasa Inggris diantaranya adalah keterbatasan kosa kata (vocabulary) yang dimiliki, tata bahasa (grammar), serta pelafalan (pronunciation). Faktor-faktor tersebut sangat penting dalam pembelajaran bahasa serta penerapannya dalam kehidupan nyata. Ditambah lagi jika durasi dan jumlah pertemuan yang terbatas juga mempengaruhi tingkat keberhasilan murid dalam memahami konteks isi pembelajaran dengan sempurna. Oleh karenanya, menurut beliau sangat penting bagi murid untuk menguasai keempat kemampuan dasar tersebut beserta faktor penunjang yang menjadi komponen dalam kemampuan dasar bahasa Inggris tersebut.  Baca juga: Kurikulum Pembelajaran Merdeka Belajar, Solusi Persoalan Guru Lantas, Pak Madya pun memikirkan untuk menerapkan metode pembelajaran berbasis proyek. Hal ini yang telah coba diterapkan oleh Pak Madya dalam pembelajaran bahasa Inggris untuk mahasiswa semester 2 di Universitas Muhammadiyah Surakarta program English for International Class (EIC) selama tiga tahun dan mahasiswa semester 2 di STKIP Muhammadiyah Batang selama dua tahun ini. Praktik Pembelajaran Berbasis Proyek berupa asesmen yang beliau terapkan dilakukan dengan menggunakan satu metode yang dapat melakukan asesmen terhadap semua kriteria penilaian yang ada dalam pembelajaran bahasa Inggris secara bertahap dan berkelanjutan. Ternyata prasangka tentang kesulitan belajar dan menggunakan bahasa Inggris masih menjadi momok serta kendala dalam pembelajaran bahasa Inggris, terutama bagi mahasiswa di luar program studi bahasa Inggris. Praktik Pembelajaran Berbasis Proyek yang melibatkan strategi, dan media yang variatif dirasa cocok oleh Pak Madya guna meningkatkan ketertarikan murid dapat mengembangkan rasa ingin tahu dan kesadaran akan kebutuhan bahasa Inggris. Walaupun sudah dewasa, tetap tidak mudah dalam memberikan pemahaman tentang pentingnya bahasa asing kepada mahasiswa. Kesadaran akan kebutuhan penguasaan bahasa Inggris perlu disampaikan di awal pembelajaran agar guru dapat memetakan tahap-tahap asesmen dan evaluasi. Praktik Pembelajaran Berbasis Proyek memudahkan guru dalam melakukan asesmen Bernama Students’ Movie Project, yang mana adalah kegiatan serta tugas yang Pak Madya berikan kepada mahasiswa untuk merancang, merekam suatu cerita dengan menggunakan bahasa Inggris, serta mengemasnya dalam suatu video yang menarik dan mendidik. Dengan memanfaatkan perkembangan teknologi dan kemampuan literasi digital, murid tidak mendapat beban berat dalam mengadakan alat untuk mengerjakan tugas karena semua bisa menggunakan gawai yang mereka miliki. Di sini ada beberapa tahap yang Pak Madya lakukan dalam penyusunan Students’ Movie Project, sekaligus sebagai asesmen formatif. Diawali dengan membentuk kelompok, kemudian dilanjutkan dengan merencanakan konsep cerita serta menulis naskah percakapan yang akan dibawakan oleh setiap anggota kelompok. Beliau memberikan kebebasan dalam menentukan topik (tema), sesuai dengan kesukaan dan ketertarikan murid, selama sesuai dengan pendidikan dan motivasi remaja, serta tidak mengandung unsur sara dan ditentukan secara berdiskusi. Pada proses penulisan cerita dan naskah, Pak Madya melakukan asesmen kemampuan menulis (writing), sekaligus memberikan revisi dan koreksi pada sesi konsultasi. Hasil tulisan dijadikan sebagai sumber latihan pembacaan naskah guna melancarkan serta menghafalkan pengucapan yang benar. Pada tahap ini, beliau sekaligus melakukan asesmen kemampuan membaca (reading), sembari memberikan umpan balik terhadap cara eksekusi membaca murid. Konsep cerita dan naskah yang telah dihafalkan dibawakan secara spontan dan dikembangkan sesuai dengan improvisasi masing-masing. Pada sesi ini beliau juga melakukan asesmen kemampuan berbicara (speaking) tahap awal sebelum asesmen pada hasil akhir nanti. Setelah tahap tersebut cukup, dilanjutkan tahap perekaman video. Proses ini tidak berlangsung secara cepat. Diperlukan waktu dan percobaan berulang-ulang guna menghasilkan cerita dan pengucapan yang tepat. Proses penyuntingan, pemilihan gambar, dan penyelesaian keseluruhan dilakukan secara berkelompok dan merupakan bentuk hasil karya buah kerja sama seluruh anggota kelompok. Video hasil akhir pembuatan tugas ini dikumpulkan dan diputar untuk dievaluasi bersama. Evaluasi dan tukar pendapat dilakukan dengan murid dari kelompok lain guna mendapatkan umpan balik variatif dan membangun. Dalam evaluasi bersama ini diterapkan asesmen kemampuan mendengar (listening), yaitu dengan meminta murid untuk menyimak, menuliskan ulang konsep cerita, serta menjawab pertanyaan mengenai video hasil karya kelompok lain. Dari hasil akhir evaluasi karya, dapat diketahui perbedaan dan perkembangan dalam memahami dan melakukan eksekusi terhadap perbaikan yang telah dilakukan pada setiap tahapan asesmen dalam proses pembuatan tugas tersebut. Hasil akhir dalam pembelajaran bahasa Inggris adalah praktik. Dengan menerapkan movie project ini, murid dapat melakukan praktik berbahasa Inggris dengan senang dan terkonsep. Guru dapat melakukan asesmen dalam setiap tahap proses. Setidaknya ada lima tahap pembuatan tugas. Pertama, tahap penyusunan dan penulisan cerita serta naskah. Kedua, proses berlatih membaca naskah. Ketiga, proses berlatih berbicara dan peran. Keempat, proses perekaman dan penyuntingan. Kelima, penyelesaian tugas dan evaluasi bersama. Seperti kata peribahasa: sekali merengkuh dayung, dua-tiga pulau terlampaui, dalam keseluruhan tahap tersebut Pak Madya melakukan … Read more

Kurikulum Pembelajaran Merdeka Belajar, Solusi Persoalan Guru

Bapak dan Ibu guru masih memiliki persoalan dalam kegiatan pembelajaran? Apakah bapak dan ibu guru belum menemukan solusi yang pas dalam mengatasi hal tersebut? Apakah bapak dan ibu guru pernah mendengar Kurikulum Pembelajaran Merdeka Belajar? Tenang bapak dan ibu guru, melalui pembahasan di tulisan ini mungkin bapak dan ibu guru akan bisa menemukan solusi dari persoalan yang bapak dan ibu guru rasakan dengan Kurikulum Pembelajaran Merdeka Belajar. Ya, karena pada tulisan kali ini, kita akan membahas dan mengenalkan kepada bapak dan ibu guru tentang “Kurikulum Pembelajaran Merdeka Belajar, Solusi Persoalan Guru”, tanpa perlu berlama-lama, yuk mari kita simak tulisan di bawah ini Mengapa Kurikulum Pembelajaran Merdeka Belajar Menjadi Solusi atas Persoalan Guru? Kurikulum ini sendiri dirancang dengan pendekatan praktis, sehingga nantinya bapak dan ibu guru dapat berdaya dengan merancang dan mempraktikkan solusi berlandaskan teori dan dan menyesuaikannya dengan konteks kelas dan kondisi di daerahnya masing-masing.  Berikutnya, kurikulum ini juga dirancang secara modular agar fleksibel dalam memenuhi kebutuhan guru. Dengan pendekatan modular, bapak dan ibu guru dapat memilih dan mengikuti modul pembelajaran yang sesuai untuk mengatasi persoalan di kelasnya. Di sini setiap guru memiliki kemerdekaan untuk merancang dan mengalami personalisasi pengalaman belajar.  Kurikulum ini juga dirancang sebagai solusi terhadap kebutuhan guru yang telah teruji lebih dari 20 tahun. Kurikulum ini bukan saja telah digunakan untuk pendidikan guru pada satu sekolah, namun telah diterapkan di lebih dari 1000 sekolah di berbagai penjuru nusantara.  Baca juga: Memahami Merdeka Belajar Lalu, Apa itu Kurikulum Pembelajaran Merdeka Belajar? Kurikulum Pembelajaran Merdeka Belajar ialah kurikulum yang bertujuan mengembangkan kompetensi pedagogik guru melalui cara melalui 5 cara, yaitu; Memanusiakan Hubungan, Memahami Konsep, Membangun Keberlanjutan, Memilih Tantangan, dan Memberdayakan Konteks. Cara ini lebih dikenal dengan cara 5M,  sehingga nantinya mampu menumbuhkan murid yang Merdeka Belajar, yang mana murid yang belajar karena kemauan sendiri. Bapak dan ibu guru bisa mempelajari Kurikulum Pembelajaran Merdeka Belajar dengan mengunduh di https://pembelajaran.kampusgurucikal.com/ Kurikulum ini terdiri dari 1 pondasi, 3 blok modular dan 1 atap. Pondasinya ialah program Guru Merdeka Belajar. Dilanjut Blok Modular yang terdiri dari tiga blok yaitu:  A. Manajemen Kelas Merdeka Belajar  B. Strategi Pembelajaran Merdeka Belajar C. Asesmen Pembelajaran Merdeka Belajar Lalu, kurikulum ini dilengkapi dengan Atap yang mana kitab isa melihat program Karier Guru Merdeka Belajar Di setiap blok modular terdiri dari program yang disusun berdasarkan alur penguasaan kompetensi guru merdeka Belajar. Dimulai level 0, level 1, level 2 dan seterusnya. Lantas, Bagaimana Kurikulum Pembelajaran Merdeka Belajar Menjadi Solusi atas Persoalan Guru? Nah, Alur Belajar kurikulum ini, yang mana Langkah pertamanya adalah pijak pondasi, ikuti program Guru Merdeka Belajar. Setelah mendapat pijakan pondasi, langkah berikutnya adalah dengan mengikuti blok modular. Setiap blok modular dimulai pada level 1, namun bila bapak dan ibu guru masih kesulitan pada level 1, bapak dan ibu guru bisa coba ikuti level 0. Sementara, apabila bapak dan ibu guru sudah menguasai level 1, maka bapak dan ibu guru bisa melanjutkan ke level yang lebih tinggi sesuai persoalan pembelajaran dan kebutuhan belajar. Bila ingin mengembangkan karier, ikuti program yang termasuk pada kategori Atap, yang mana bapak dan ibu guru dapat mengembangkan Karier Guru Merdeka Belajar. Kemudian, Bagaimana Contoh Kurikulum Pembelajaran Merdeka Belajar Menjadi Solusi untuk Persoalan Guru? Mari kita gambarkan contohnya seperti ini. Awalnya di sebuah sekolah, ada seorang guru, sebut saja Guru Agus. Di sini guru Agus curhat jika muridnya ribut dan mencari perkara, dari ramai di kelas, tidak taat protokol kesehatan . Ia coba mengatasi persoalan tersebut dengan cara sederhana namun tetap saja tidak terjadi perubahan pada muridnya. Hal ini hingga membuat guru Agus pusing bagaimana mendisiplinkan muridnya tersebut. Lantas, bagaimana cara menertibkannya? dan kira-kira apa program yang bisa membantu guru Agus menyelesaikan persoalan tersebut? Akhirnya guru Agus mencoba untuk mulai mengikuti program Guru Merdeka Belajar. Yang mana pada program tersebut Guru Agus melihat-lihat pada blok modular. Lalu, apa ya blok modular yang cocok untuk guru Agus? Ternyata, setelah direnungkan beberapa saat, Guru Agus merasa bahwa persoalannya kali ini adalah terkait dengan kemampuannya dalam melakukan manajemen kelas. Ia pun fokus mempelajari blok modular Manajemen Kelas Merdeka Belajar tersebut. Dan kemudian ia pun memutuskan mengikuti program Kesepakatan Kelas Merdeka Belajar. Demikianlah cerita guru Agus dalam yang menemukan solusi atas persoalannya selama ini dengan mengikuti contoh Guru Merdeka Belajar, yang mana bersinergi dengan kurikulum ini. Nah, bagaimana bapak dan ibu guru, apakah pembahasan ini bisa memberikan insight baru dan menjawab persoalan bapak dan ibu guru saat ini? Jika bapak dan ibu guru masih penasaran, yuk bapak dan ibu guru pelajari lebih dalam lagi dan akses modul-modul di Kurikulum Pembelajaran Merdeka Belajar lainnya dengan mengikuti Temu Pendidik Nusantara VIII pada 20-21 November 2021 dengan tema merayakan asesmen, mendesain ekosistem merdeka belajar. Dapatkan inspirasi pembelajaran lainnya dari #1000 Pembicara. Ayo Jadi Guru Merdeka Belajar! Guru Penggerak Perubahan Pendidikan! Mari berjumpa rekan seperjuangan di Temu Pendidik Nusantara VIII, untuk #DukungGuruBelajar bergerak bersama demi Pendidikan. Perubahan pada diri Bapak dan Ibu Guru adalah awal perubahan untuk masa depan murid Indonesia! Klik: https://tpn.gurubelajar.org

Motivasi Guru Penggerak Merdeka Belajar, Berani Berubah Meskipun Tertatih-Tatih

Ketika pandemi melanda beberapa waktu yang lalu, bapak dan ibu guru pasti merasakan dan mengalami untuk beradaptasi dengan perubahan kebiasaan tersebut tampak jelas terasa karena pada saat kondisi normal, belajar menggunakan sistem tatap muka (luring), lalu berubah menjadi pembelajaran jarak jauh (daring) yang dijalankan sekolah. Oleh karena itu, apakah bapak dan ibu guru pernah merasa bingung, galau, dan tidak mengetahui harus memulai dari mana saat pembelajaran secara daring dilakukan? Untuk lebih jelasnya, mari kita dengarkan cerita inspirasi guru penggerak merdeka belajar yaitu Ibu Theresia A. T. Astuti yang mengajar di TK Yos Sudarso Bandung, dan beliau juga merupakan anggota Komunitas Guru Belajar Bandung. Pandemi Covid-19 adalah awal cerita inspirasi Ibu Tere ini dimulai. Pada Tahun Pelajaran 2020/2021, Ibu Tere mendapat tugas baru, diberi kepercayaan untuk memimpin TK Yos Sudarso Bandung. Ini merupakan pengalaman pertama beliau untuk pindah tugas setelah selama 16 tahun menjadi guru di tempat yang sama, atau berada di zona nyaman beliau.  Tempat baru, suasana baru, rekan kerja baru, dan beban tugas baru yang belum pernah terbayang sebelumnya harus Ibu Tere hadapi. Banyak cerita negatif yang beliau dengar tentang sekolah ini. Seketika Ibu Tere merasa ciut, ragu, minder, dan tidak percaya diri. “Apakah saya sanggup melakukan perubahan?”, ujar Ibu Tere dalam hati. Lantas, beliau dan dua rekan guru pun memutuskan untuk melakukan perubahan. Awalnya beliau memiliki perasaan yang sama dengan bapak dan ibu guru kebanyakan, beliau merasa bingung, galau, dan tidak mengetahui harus memulai dari mana saat pembelajaran secara daring wajib dilaksanakan. Baca juga: Guru Penggerak dalam Peran Pendidikan Pembelajaran pun dimulai. Para guru melakukan tugasnya, melayani murid secara daring. Pembelajaran saat normal ditransfer menjadi daring. Tidak ada yang berbeda. Para guru melakukan pembelajaran dengan menggunakan aplikasi WhatsApp. Pembelajaran berfokus pada materi dan tema. Berbagai saran dan masukan coba Ibu Tere berikan agar pembelajaran tidak monoton. Namun, berbagai alasan dilontarkan para guru. Mereka berdalih adanya keterbatasan sarana, baik pihak guru maupun murid, serta keterbatasan penguasaan teknologi. Dan lebih kurang tiga bulan pembelajaran model ini dilakukan. Menurut Ibu Tere, pembelajaran terasa hambar, interaksi terbatas, satu arah, dan inisiatif serta instruksi selalu dari guru. Ibu Tere menyaksikan, setiap hari para guru melakukan komunikasi dengan orang tua murid melalui telepon atau video call untuk menjalin kedekatan. Namun, relasi yang harmonis belum tampak. Para guru mulai lelah dan mengeluh. Mereka merasa respons yang terlalu biasa, baik dari orang tua maupun murid. Ibu Tere mengungkapkan jika beliau dan mayoritas guru lainnya di sekolahan tersebut adalah guru senior. Tepatnya guru jadul yang belum terbuka dan paham banyak penggunaan teknologi, sehingga dalam melakukan pembelajaran hanya mengedepankan rasa, insting, dan pengalaman. Saat briefing pagi ataupun pertemuan, Ibu Tere berulang kali memberi masukan kepada rekan guru agar melakukan perubahan. Beliau mencoba mengajak mereka lebih terbuka, berani mencoba hal baru. Setelah sekian lama, akhirnya muncul juga keinginan salah satu guru untuk melakukan perbaikan pembelajaran. Dia mengajak guru lain mempelajari berbagai aplikasi pembelajaran berbasis teknologi sebagai variasi dalam pembelajaran daring. Tujuannya agar murid dapat lebih antusias. Awalnya, tampak gurat keraguan dalam diri guru yang diajak belajar. Mereka terpaksa saat belajar bersama. Lewat pendekatan secara pribadi, akhirnya terwujud juga kegiatan belajar bersama. Berbagai cara dan variasi pembelajaran mulai dipelajari. Ibu Tere mendukung dan mendampingi para guru, turut belajar dan mengembangkan diri. Beliau merasa jika belajar dari siapa pun dan dari mana pun. Terutama tentang penggunaan aplikasi yang dapat digunakan supaya pembelajaran lebih menarik. Para guru memerlukan waktu lama untuk memahami pengetahuan baru. Namun, di sini Ibu Tere melihat semangat mereka, keinginan kuat untuk terus belajar, mencoba, dan mempraktikkan pengetahuan maupun keterampilan baru yang berhubungan dengan teknologi. Guru saling belajar, berbagi pengetahuan dan praktik baik, menguatkan, dan membantu. Bahkan, persiapan pembelajaran dilakukan secara bersama-sama. Sedikit demi sedikit pembelajaran mulai bervariasi. Berbagai aplikasi dipraktikkan dalam pembelajaran. Namun, Ibu Tere merasa masih ada yang kurang dan masih terasa hambar. Peran guru masih sangat dominan di sini. Mereka belum konsisten melakukan perubahan pembelajaran, masih mengadopsi cara dan pola lama. Pada pertengahan Oktober 2020, melalui platform Sekolah.mu, Ibu Tere berkenalan dengan Merdeka Belajar. Kemudian, beliau sering mendengar istilah tersebut. Namun saat itu, Ibu Tere belum memahami maknanya. Akhirnya, beliau mengikuti program Sekolah Lawan Corona. Ibu Tere dan para guru pun belajar bersama. Dari program ini akhirnya beliau menyadari bahwa pembelajaran yang selama ini, pelayanan yang kami berikan, masih mengalami miskonsepsi. Bersama para guru, Ibu Tere belajar membuat persiapan pembelajaran dengan mengedepankan prinsip 5M, belajar membuat dan menggunakan kanvas RPP yang diawali dengan melakukan pemetaan profil murid. Pembelajaran di Sekolah Lawan Corona sudah beliau tuntaskan. Ibu Tere yakin, banyak hal, informasi, dan ilmu baru yang guru dapatkan. Namun, pengimbasan ataupun dampaknya dalam pembelajaran belum terasa. Belum tampak perubahan yang signifikan. Padahal, pengetahuan, keterampilan, dan semangat sudah ada dalam diri para guru. Lantas, Ibu Tere tertantang mencari akar masalahnya. Rasa penasaran dan keinginan kuat menuntun beliau mencari informasi, belajar dari berbagai sumber. Faktor ini menjadi pemicu beliau untuk mengikuti beberapa program di Sekolah.mu, beliau mengharapkan jika ini dapat membantunya melakukan tugas sebagai pemimpin. Ibu Tere mengikuti program Guru Merdeka Belajar dari Kampus Guru Cikal, berdampingan dengan program Menjadi Pemimpin Merdeka Belajar dari Sekolah Merdeka Belajar. Kemudian, teori dan tips sebagai pemimpin merdeka belajar sudah beliau dapatkan. Ternyata masih ada miskonsepsi yang beliau lakukan dalam melakukan percakapan dan pengamatan sebagai pemimpin merdeka belajar. Dalam melakukan percakapan, Ibu Tere merasa perlu fokus dan selalu mengarahkan kepada tujuan. Percakapan beliau lakukan dengan lebih santai. Ibu Tere duduk bersama sambil menyelesaikan pekerjaan atau membuat persiapan pembelajaran bersama. Setelah melakukan obrolan dan percakapan dengan guru, beliau merasa ada yang kurang, “Gregetnya belum ada”. Hal ini terutama bila mendengar keluhan atau curhatan guru tentang murid yang dinilai terlalu berinisiatif. Misalnya sudah mengerjakan pekerjaan atau tugas yang seharusnya belum dikerjakan atau belum diperintahkan. Sebagai pemimpin, Ibu Tere mengingatkan mereka melalui percakapan untuk melakukan pembelajaran yang berpihak kepada murid. Beliau mengajak mereka melihat sisi positifnya: murid itu kreatif. Dengan demikian, perlu kreativitas guru dalam merancang pembelajaran dengan memaksimalkan pemanfaatan fasilitas dan penugasan yang berdiferensiasi. Ibu Tere merasa saat ini rekan-rekan guru sudah memahami bahwa pembelajaran harus fokus kepada kebutuhan anak, memaksimalkan pemanfaatan fasilitas yang … Read more

Guru Penggerak dalam Peran Pendidikan

“Memaknai Guru Penggerak dalam Peran Pendidikan, oleh karena itu sebagai seorang guru, maka akan menghadapi banyak sekali tuntutan yang saling bersaing, tetapi untuk setiap tantangan yang bapak dan ibu guru hadapi, ada imbalan yang setara atau lebih besar. Saat bapak dan ibu guru memasuki profesi yang memiliki kemampuan untuk mempengaruhi kehidupan orang lain, bapak dan ibu guru juga mengambil bagian dalam karier yang penuh makna.” Profesi sebagai seorang guru bisa dikatakan adalah garda paling penting dari kehidupan masyarakat kita. Guru mendukung murid menentukan tujuan, memfasilitasi murid memperoleh kompetensi untuk sukses sebagai warga dunia kita, dan mengilhami mereka dorongan untuk berbuat baik dan sukses dalam hidup. Murid-murid hari ini adalah pemimpin masa depan, dan peran guru adalah titik kritis yang membuat murid siap untuk masa depan mereka.  “Menjadi seorang guru tidak akan membuat siapapun menjadi kaya—namun ini adalah salah satu karier paling berharga di dunia ini. Seorang guru dapat memiliki dampak besar pada kehidupan seorang murid, dan melihat seorang murid berkembang dan tumbuh adalah sesuatu yang membawa sukacita besar bagi seorang guru.” Ketika berbicara dengan semua guru yang ada, maka hanya sedikit yang akan memberi tahu  bahwa menjadi guru adalah sesuatu yang mereka sesali lakukan, bahkan hampir tidak ada. Alasan umum dari semua itu adalah bahwa mereka menemukan kepuasan menjadi seorang guru dalam mempengaruhi murid dan membantu mereka dalam membentuk masa depan. Meskipun mungkin tidak sama untuk setiap pendidik, akan selalu ada alasan bagus untuk menjadi satu. Oleh karena itu dalam tulisan kali ini kita akan membahas tentang “Guru Penggerak dalam Peran Pendidikan”. Baca Juga: Guru Merdeka Belajar, Cukupkah Jadi Pendidik? Atau Perlu Jadi Penggerak? Menjadi Guru itu Penting Murid-murid membawa apa yang dipelajari kepada mereka di usia muda ke sepanjang hidup mereka. Mereka akan menggunakan apa yang telah mereka pelajari untuk mempengaruhi masyarakat. Bapak dan ibu guru mungkin mengetahui juga bahwa generasi muda hari ini akan menjadi pemimpin masa depan, dan para guru memiliki akses untuk mendidik generasi muda di tahun-tahun mereka yang paling berkesan — baik itu dalam mengajar prasekolah, mengajar ekstrakurikuler, olahraga, atau kelas konvensional. Guru memiliki kemampuan untuk membentuk pemimpin masa depan dengan cara terbaik bagi masyarakat untuk membangun generasi masa depan yang positif dan menginspirasi dan oleh karena itu merancang masyarakat, baik dalam skala lokal maupun global. Dan faktanya, guru memiliki pekerjaan paling penting di dunia. Peran bapak dan ibu guru saat ini yang berdampak pada anak-anak masyarakat memiliki kekuatan untuk mengubah kehidupan. Bukan hanya untuk anak-anak itu sendiri, tetapi untuk kehidupan banyak orang. Peran Seorang Guru Membawa Perubahan dalam Kehidupan Murid Percayalah peran seorang guru ternyata memberi perubahan dalam kehidupan murid. Peran guru menjadi berpengaruh dalam kehidupan murid, menginspirasi dan memotivasi mereka untuk mencapai potensi mereka. Suatu hari nanti mungkin murid bapak dan ibu akan menjadi pemenang penghargaan Nobel, pebisnis terkemuka, pemimpin hebat, perdana menteri dan seniman terkenal atau individu yang berpengetahuan luas dengan cinta untuk belajar. Bukan hanya karena itu adalah profesi yang mulia, tetapi menjadi seorang guru juga memungkinkan bapak dan ibu untuk terus berkreasi dan menjadi lebih baik secara profesional. Peran guru saat ini memiliki banyak kesempatan di tangan mereka untuk menjadi kreatif dan menggunakan semua metode yang mungkin untuk membuat lingkungan belajar yang optimal bagi murid. Lalu, guru dapat bertindak sebagai sistem pendukung yang kurang di tempat lain dalam kehidupan murid. Dan menjadi seorang guru pasti akan menjadi panutan dan inspirasi murid untuk melangkah lebih jauh dan bermimpi lebih besar. Dengan menjadi seorang guru dan penggerak di bidang pendidikan, maka bapak dan ibu akan memberi manfaat bagi murid terlebih masyarakat secara keseluruhan. Kesan yang bapak dan ibu buat pada murid di kelas akan terus berlanjut ke generasi berikutnya. Ini adalah keistimewaan karir menjadi seorang guru, yang mana bapak dan ibu memiliki kesempatan untuk membawa sebuah perubahan bagi generasi kehidupan. Peran Seorang Guru sebagai Pembelajar Sepanjang Hayat Pendidikan telah banyak berubah mengikuti perkembangan zaman ini. Saat ini pendidikan lebih interaktif dengan intrusi media digital. Penerapan teknologi kini seperti kecerdasan buatan, augmented reality membuka dimensi baru dalam pendidikan. Namun, ada peran besar bapak dan ibu guru yang tetap berjalan hingga saat ini dan tidak bisa tergantikan. Sebagai seorang guru, bapak dan ibu harus mengeluarkan yang terbaik dalam diri murid dan menginspirasi mereka untuk berjuang demi kebesaran. Murid dianggap sebagai masa depan bangsa dan umat manusia, dan peran bapak dan ibu guru diyakini sebagai pemandu yang kredibel untuk kemajuan mereka.. Guru dapat melihat kekuatan dan kelemahan setiap murid dan dapat memberikan bantuan dan bimbingan untuk mempercepat atau mendorong mereka lebih tinggi. Sebagai seorang guru tidak hanya membimbing murid dalam bidang akademik atau kegiatan ekstrakurikuler, tetapi guru juga bertanggung jawab untuk mendukung masa depan murid, menjadikannya manusia yang lebih baik. Seorang guru menanamkan pengetahuan, nilai-nilai baik, tradisi, tantangan zaman modern dan cara-cara untuk menyelesaikannya dalam diri murid.  Bapak dan ibu guru juga menjadi sumber inspirasi dan motivasi. Guru menginspirasi murid untuk melakukannya dengan baik, dan memotivasi mereka untuk bekerja keras dan menjaga tujuan akademik mereka tetap pada jalurnya. Menjadi seorang guru sebagai pembelajar sepanjang hayat memungkinkan bapak dan ibu guru untuk terus belajar dan berkembang dalam pengetahuan. Perang Seorang Guru sebagai Penggerak Pendidikan Pengetahuan dan pendidikan merupakan dasar dari segala sesuatu yang dapat dicapai dalam kehidupan. Guru memberikan kekuatan pendidikan kepada generasi muda saat ini, sehingga memberi mereka kemungkinan untuk masa depan yang lebih baik. Pola pikir guru sebagai penggerak pendidikan ialah memperlakukan kesalahan dan tantangan sebagai bagian dari proses belajar. Bapak dan ibu guru diminta untuk tidak melihat kesalahan sebagai kegagalan. Kesalahan memberi murid sebuah pengalaman atau informasi baru yang dapat mereka gunakan saat mereka terus menemukan cara untuk memecahkan masalah atau tantangan. Guru juga tidak pernah tahu jenis pertanyaan apa yang akan diajukan oleh murid. Sebagai penggerak Pendidikan, guru menjadikan belajar sebagai kebiasaan rutin untuk beradaptasi dengan perubahan dan tindakan murid. Dedikasi dalam Peran Seorang Guru Salah satu bagian terpenting dalam peran seorang guru adalah memiliki dedikasi. Bapak dan ibu guru mungkin merasakan jika peran guru tidak hanya mendengarkan, tetapi juga melatih dan membimbing murid. Guru mampu membantu membentuk tujuan akademik dan berdedikasi untuk membuat murid  mencapainya. Bapak dan ibu guru memiliki … Read more

Kecerdasan Buatan akan Menggantikan Guru

Apakah judul tulisan tentang kecerdasan buatan ini mengada-ada?Apakah Bapak Ibu guru sudah merasakan “ancaman” kecerdasan buatan? Kecerdasan buatan atau istilah kerennya Artificial Intellegence (AI) semakin mudah ditemui. Sebut saja Google Asisten di Android, Siri di perangkat Apple, Cortana di Microsoft Windows dan Alexa di Amazon. Betapa mudahnya kita meminta bantuan pada kecerdasan buatan ini, dari aktivitas sebagai mesin pencari, pemandu jalan, melakukan panggilan, bahkan menyalakan perangkat listrik di rumah yang sudah tersambung.“Ah itu kan aktivitas sederhana”Oke, coba lihat betapa “mengerikannya” kecerdasan buatan. Di media sosial kita bisa disuguhkan informasi yang didasarkan apa yang kita suka. Iklan-iklan yang muncul berdasarkan kebiasaan kita, dengan memanfaatkan kecerdasan buatan yang mampu mengenali karakteristik jenis foto/gambar yang kita sukai, juga notifikasi/pemberitahuan yang disesuaikan sehingga kita betah berlama-lama. Bahkan ada kecerdasan buatan yang dapat “berkembang kecerdasannya” seperti yang ditanam pada game sepak bola. Pemain yang dijalankan komputer bisa memahami kondisi lapangan, berhati-hati agar melakukan tackle tanpa melanggar aturan. Sadar akan waktu pertandingan dan bahkan menyesuaikan cara bermain lawan. Terdapat pula fitur yang dapat menganalisis hingga memberikan gelar man of the match pada pemain terbaik di pertandingan. Kecanggihan kecerdasan buatan juga sudah dihadirkan di berbagai film baik dokumenter maupun fiksi ilmiah. Mulai dari The Social Dilemma di Netflix, film terkenal Terminator, tayangan anak Kamen Rider Zero-One, hingga AI yang bisa menyembuhkan orang sakit di Transcendence. Bayangkan, bagaimana jika anak bisa difasilitasi belajarnya oleh kecerdasan buatan?Kecerdasan buatan yang akan memberikan informasi baik teks, gambar, video hingga simulasi digital sesuai topik yang sedang dipelajari.Kecerdasan buatan yang akan memberi notifikasi agar murid tenang saat belajar. Kecerdasan buatan yang akan menunjukkan warna merah, suara mengerikan, saat murid melanggar aturan. Kecerdasan buatan yang akan memberikan banyak bintang saat murid berbuat baik. “Kan kecerdasan buatan tidak ada sentuhan personal yang memanusiakan?”Lho, justru teknologi bisa melakukan diagnosis perilaku, dan memberikan personalisasi yang dapat disesuaikan dengan pengguna secara cepat. Bukankah personalisasi yang memanusiakan itu malah jadi tantangan berat jika kita melakukan pembelajaran sekadar dengan cara ceramah? Lalu bagaimana agar guru tidak digantikan kecerdasan buatan? Semangat menghadirkan teknologi masa depan, di pembelajaran masa kini dilakukan oleh #1000Pembicara beserta 3460 peserta saat #BelajarDiTPN7 (Temu Pendidik Nusantara). Terdapat lebih dari 380 kelas di acara yang diselenggarakan Komunitas Guru Belajar Nusantara dan Kampus Guru Cikal ini. Pada 12 – 13 Desember 2020 para guru saling belajar dan berbagi praktik baik pembelajaran. Alih-alih menyalahkan teknologi, para guru justru mengombinasikannya dengan pedagogi. Para guru yang tidak sekadar menggunakan teknologi untuk mempermudah pembelajaran direpetisi. Tidak sekadar menjadikan teknologi sebagai alat mengalirkan informasi. Bukti bahwa kecerdasan buatan tidak bisa menggantikan para guru ini. Baca Juga: Pasar Praktik Baik itu Bernama Kelas Kemerdekaan Seperti apa pembelajaran yang dibagikan dan dipelajari di Temu Pendidik Nusantara ke-7?Seperti apa guru yang sulit digantikan kecerdasan buatan?Yaitu guru yang menerapkan pembelajaran 5M (Memanusiakan Hubungan, Memahami Konsep, Membangun Keberlanjutan, Memilih Tantangan, Memberdayakan Konteks). 1. Pembelajaran dengan Teknologi untuk Memanusiakan HubunganPara guru memanfaatkan teknologi untuk membangun relasi dengan murid dan orangtua. Sehingga pembelajaran yang dirancang menyesuaikan kondisi mereka. Seperti apa penerapannya?Pembuatan media pembelajaran yang diawali dengan proses empati. Memanfaatkan media untuk memahami emosi murid. Penggunaan formulir asesmen diagnostik untuk menentukkan cara yang akan digunakan dalam pembelajaran. Juga pemanfaatan teknologi untuk menghadirkan belajar dengan kegembiraan. Sehingga guru mampu mengajak murid belajar tanpa iming-iming reward seperti bintang, maupun hukuman. Apakah hal serupa sudah Bapak Ibu lakukan? 2. Pembelajaran dengan Teknologi untuk Memahami Konsep“Kalau hanya memberi informasi, google lebih jago.”Saat ini jika orang penasaran, maka google di genggaman tangan akan menjadi jawaban. Para guru belajar di Temu Pendidik Nusantara ke-7 tidak ingin menjadi guru yang sekadar memberi informasi. Para guru ini melawan miskonsepsi, tidak mau jika hanya memindahkan ceramah ke media virtual. Alih-alih demikian, guru memodifikasi permainan, lagu, video, dan bahkan strategi pembelajaran dengan mengangkat konteks lingkungan untuk membantu murid membangun pemahaman. 3. Pembelajaran dengan Teknologi untuk Membangun KeberlanjutanJika sekadar memberikan tanda benar dan salah pada jawaban murid, serta memberi nilai berupa angka pada lembar soal, tentu beragam tools sudah tersedia. Nah, saat #BelajarDiTPN7 para guru membahas cara memberikan umpan balik, proses refleksi, hingga memperluas manfaat pembelajaran dengan memanfaatkan teknologi. Dari proses memberi umpan balik melalui permainan, hingga menyebarkan praktik baik pembelajaran ke lebih banyak jangkauan. 4. Pembelajaran dengan Teknologi untuk Memilih Tantangan“Mengapa banyak orang kecanduan gawai, tapi sedikit yang kecanduan belajar?”Tahukah Bapak Ibu apa yang membuat game bikin ketagihan? Dan mengapa pembelajaran membuat bosan?Game memberikan berbagai pilihan dan jenjang tantangan. Karena jika hanya ada satu pilihan yang terlalu sulit, maupun satu pilihan saja yang terlalu mudah, sama-sama membuat bosan dan bahkan stres.Apakah pembelajaran di kelas kita juga demikian? #BelajarDiTPN7 menghadirkan para guru yang sudah memberikan pilihan jenis dan cara mengerjakan tugas. Karena para guru ini sadar, bahwa tidak mungkin semua murid diminta membuat tugas berupa video, atau bahkan hanya boleh menulis di kertas folio. Apalagi di saat pandemi mewabah, fasilitas belajar di rumah tidak seperti di sekolah. 5. Pembelajaran dengan Teknologi untuk Memberdayakan Konteks Bapak Ibu bisa melihat beragam kelas kolaborasi di TPN ke-7, silakan klik di sini. Para guru berbagi bagaimana tetap berdaya di tengah pandemi. Tidak hanya sendiri, namun menggerakkan orang lain dan batas jarak pun dilampaui. Gerakan membagikan praktik baik selama pandemi dengan komik digital, media sosial, hingga berbagi panggung virtual. Banyak sekolah yang saling belajar bersama, meskipun berasal dari daerah yang berbeda. Panduan Pembelajaran 5M bisa diunduh di sini Jadi, apakah Bapak Ibu siap digantikan kecerdasan buatan?Atau pembelajaran 5M akan Bapak Ibu terapkan?Poin mana yang akan Bapak Ibu lakukan?Yuk tulis di komentar, dan juga sebarluaskan!

Pasar Praktik Baik itu Bernama Kelas Kemerdekaan

Mana yang lebih seru? Belanja di pasar tradisional atau di supermarket modern? Anda termasuk tim mana? Kalau tim pasar tradisional dan tim supermarket modern berjumpa, bisa berdebat berhari-hari membahas mana yang lebih seru. Pasar tradisional maupun supermarket modern mempunyai kelebihannya sendiri. Pasar tradisional lebih kaya dengan interaksi, bisa bercakap-cakap dengan beragam orang, ada beragam barang termasuk yang tidak diduga, kualitas barang tidak terstandar dan kondisi pasar biasanya becek atau tidak terlalu nyaman. Supermarket modern lebih nyaman dikunjungi, bersih dan dingin, persediaan barang terencana, kualitas barang terstandar, suasanya lebih tenang, dan tanpa atau sedikit percakapan yang terjadi. Bila sudah jelas barang yang dibutuhkan, dan waktunya terbatas, bisa jadi supermarket modern adalah pilihan terbaik. Bila ada waktu, butuh interaksi dan mencari barang yang otentik, bisa jadi pasar tradisional adalah pilihan terbaik. Apa hubungannya dengan kelas kemerdekaan? Sabar 🙂 Dalam ekosistem guru lebih dikenal kegiatan pengembangan guru yang karakteristiknya mirip supermarket modern. Topik direncanakan, kualitas terstandar, pelaksanaan di ruang yang nyaman, dan suasananya cenderung tenang. Karakteristik yang penting untuk proses pengembangan kompetensi guru yang terstruktur. Kita butuh tapi tidak boleh tergantung pada pembelajaran kompetensi yang terstruktur sebagai satu-satunya mode pengembangan kompetensi guru. Karena proses yang mirip pasar modern tersebut tidak memadai untuk menjawab dinamika kebutuhan di lapangan. Semakin banyak tantangan, semakin butuh beragam solusi yang praktis. Moda pengembangan kompetensi guru yang mirip dengan karakteristik pasar tradisional menawarkan sudut pandang baru. Lebih banyak percakapan reflektif, berjumpa lebih banyak orang, dan lebih besar kemungkinan menemukan praktik yang otentik. Pada Temu Pendidik Nusantara, moda pertama disebut sebagai Kelas Kompetensi dan moda kedua disebut Kelas Kemerdekaan. Mana yang lebih seru? Keduanya 🙂 Baca Juga: Merdeka Belajar Bukan Jargon Kelas Kemerdekaan diisi beragam pembicara mulai dari guru yang baru mengajar dua tahun hingga guru dan ahli yang sudah berpengalaman. Seperti pasar tradisional, Kelas Kemerdekaan lebih chaos, beragam dan lebih banyak diwarnai antusiasme para pembicara baru. Dalam hal antusiasme, tidak ada yang mengalahkan amatir. Kelas Kemerdekaan menjadi langkah pertama bagi guru mana pun melakukan rintisan. Bisa rintisan dalam berkarier, bisa rintisan mengenalkan praktik baik pembelajaran atau kepemimpinan yang baru diterapkan. Pengembangan praktik baik tidak bisa langsung lengkap dan sempurna tapi melalui upaya mencoba, membagikan, mendapatkan umpan balik dan melakukan perbaikan penerapan selanjutnya. Siapa yang bisa mengisi Kelas Kemerdekaan? Semua guru yang telah mengajar setidaknya 1 tahun. Mengapa? Dalam 1 tahun, semua guru pasti mengalami banyak tantangan. Dari sejumlah tantangan tersebut, pasti ada tantangan yang berhasil diselesaikan. Pengalaman mengatasi tantangan tersebut layak dibagikan di kelas kemerdekaan. Apa manfaat Kelas Kemerdekaan? Pada kelas konversi kemerdekaan sebenarnya sedang terjadi proses konversi dari pengetahuan tacit (tacit knowledge) yang dipraktikkan sehari-hari menjadi pengetahuan eksplisit yang dibagikan pada guru yang lain. Dengan melakukan konversi tersebut, guru yang menjadi narasumber Kelas Kemerdekaan menjadi berkembang kompetensinya pada level yang lebih kompleksi dibandingkan pengembangan kompetensi sebagai peserta pelatihan. Apa pentingnya pemimpin sekolah/madrasah memotivasi gurunya mengisi Kelas Kemerdekaan? Riset yang dilakukan oleh Pusat Studi Pendidikan dan Kebijakan (PSPK) menunjukkan bahwa kompetensi literasi murid yang diajar oleh guru yang berbagi praktik baik pembelajaran di Kelas Kemerdekaan hingga level Temu Pendidik Nusantara LEBIH TINGGI dibandingkan murid yang gurunya tidak berbagi praktik baik pembelajaran. Kesimpulan tersebut terjadi baik di Kota Batu yang perkotaan maupun Kabupaten Probolinggo yang pedesaan. (Baca di Kilas 22 dan Kilas 23) Jadi, bila Anda seorang pemimpin sekolah/madrasah yang ingin meningkatkan kompetensi literasi murid, maka salah satu langkah yang bisa dilakukan adalah memfasilitasi guru berbagi praktik baik pembelajaran dengan format Kelas Kemerdekaan di level sekolah, level kecamatan, level daerah hingga level Temu Pendidik Nusantara. Lebih optimal lagi, bila mekanismenya diintegrasikan dengan manajemen kinerja sekolah. (Mari kita diskusikan lebih lanjut) Kembali ke pasar tradisional 🙂 Kelas Kemerdekaan prosesnya lebih egaliter sebagaimana di pasar tradisional. Di Kelas Kemerdekaan, tidak ada ahli yang super bisa. Semuanya dianggap setara karena itu dihindarkan tanya jawab ke narasumber. Pertanyaan yang ada adalah pertanyaan reflektif yang dijawab oleh semua orang, pembicara maupun peserta. Tapi sebagaimana pasar tradisional, proses di Kelas Kemerdekaan lebih chaos, setidaknya jauh dari tertata. Ada pembicara yang mungkin masih mengalami kebingungan sehingga kurang fokus dan bahkan melenceng pembahasannya. Ada pembicara yang belum bisa memahami pentingnya kenyamanan peserta dalam belajar. Dua keluhan yang disampaikan seorang guru kepada saya mengenai proses Kelas Kemerdekaan di Temu Pendidik Nusantara ke-7. Tapi begitulah pasar tradisional, meski ramai, meski becek, meski chaos, tapi orang tetap berkunjung. Begitu pula di Kelas Kemerdekaan, peserta hadir untuk untuk berjumpa rekan seperjuangan, untuk melakukan percakapan bermakna, dan untuk menemukan solusi-solusi yang di luar dugaan. Apabila pada sebuah Kelas Kemerdekaan tidak menemukan solusi yang dicari, bergeser lah pada Kelas Kemerdekaan yang lain. Ada ratusan pilihan Kelas Kemerdekaan, sebagaimana ratusan lapak di pasar tradisional. Ayo merdeka belajar mulai dari Kelas Kemerdekaan 🙂 Tulisan ini adalah refleksi dari pelaksanaan Temu Pendidik Nusantara ke-7.

Petikan Pelajaran Kolaborasi Literasi Bermakna

Setahun sudah kami bersama menjalankan program Kolaborasi Bermakna. Ada banyak kegiatan, tapi lebih banyak lagi pelajaran. Setiap anggota tim dan peserta program mempunyai banyak pemaknaan personal yang beragam terhadap perjalanan ini. Kami mencoba merangkum petikan pelajaran yang didapatkan dari program Kolaborasi Literasi Bermakna. Pelajaran yang akan kami bawa dalam program yang lain, dan menurut kami penting juga dipelajari oleh penggiat pendidikan di seluruh penjuru negeri. Dari Sendiri Menuju Kolaborasi  Tantangan pertama dan utama dari Kolaborasi Literasi Bermakna adalah mengubah pola kerja dari yang biasanya asyik sendiri menjadi seru berkolaborasi. Kolaborasi itu indah diucapkan. Begitu mudah disampaikan dalam pidato-pidato, tapi kenyataannya begitu menantang.  Kolaborasi Literasi Bermakna digawangi empat organisasi yang mempunyai bidang fokus yang berbeda. Kampus Guru Cikal yang menangani guru. Keluarga Kita yang menangani orangtua. Pusat Studi Pendidikan dan Kebijakan yang menangani riset dan advokasi kebijakan. Inibudi yang menangani pembuatan konten belajar. Masing-masing organisasi mempunyai keahlian tersendiri. Setiap organisasi melayani segmen dengan agendanya sendiri. Melalui program Kolaborasi Literasi Bermakna, kami belajar mensinergikan agenda dan prioritas sekaligus membangun relasi saling percaya. Banyak gesekan dan perdebatan untuk menentukan pilihan yang bisa mengakomodasi semua. Pelajaran penting yang kami dapatkan adalah berpihak kepada anak. Menjadikan kepentingan anak sebagai kriteria untuk mengambil keputusan. Bila antar-organisasi sulit mengalah, tapi ketika berpihak kepada anak menjadi kriteria, maka organisasi bisa lebih melonggarkan agenda dan menerima kesepakatan.  Kolaborasi Literasi Bermakna bisa berjalan jauh dan mengerjakan banyak kegiatan semata-mata karena mengedepankan kepentingan anak. Cita-cita menyaksikan anak-anak Batu dan Probolinggo bisa belajar karena cinta, bukan karena terpaksa. Bila ada perbedaan, pemersatunya adalah anak.  Dari Penunjukan Menuju Partisipasi  Pada sebagian besar program, keterlibatan orangtua dan guru sering kali ditentukan melalui jalur penunjukan. Dinas Pendidikan menunjuk kepala sekolah. Kepala sekolah menunjuk guru dan orangtua untuk mengikuti program. Kebanyakan guru dan orangtua akan terlibat program karena takut melanggar penunjukan tersebut. Takut mendapat sanksi.  Kampus Guru Cikal dan Keluarga Kita punya pengalaman berbeda. Jalur penunjukan memang membuat orang terlibat program, tetapi bukan karena kesadaran sendiri, sering kali karena terpaksa. Oleh karena itu, kami mencoba jalur partisipasi dalam melibatkan guru dan orangtua dalam program pengembangan. Kami percaya bahwa guru dan orangtua yang berniat belajar pasti mencari cara agar bisa mendapat kesempatan belajar. Dalam lima tahun, kami membangun komunitas guru dan orangtua berdasarkan prinsip partisipasi dan kerelawanan dengan segala dinamikanya.  Pada Kolaborasi Literasi Bermakna, keyakinan tersebut kami praktikkan dalam sebuah program yang terukur dan terencana secara ketat. Sebuah pilihan yang mengandung risiko tentunya. Apakah dengan kesibukan orangtua dan guru mau meluangkan waktu terlibat dalam program yang tanpa memberi imbalan apa-apa? Bagaimana kalau yang awalnya sukarela mengikuti program kemudian punya kesibukan lain? Apakah guru dan orangtua yang menjadi peserta program akan menjalankannya dengan sungguh-sungguh? Berdasarkan bukti dari pengalaman sebelumnya, kami memilih untuk mengambil risiko dari jalan partisipasi.  Setelah membereskan hati sendiri, langkah kami berikutnya adalah meyakinkan pemangku kepentingan dari program Kolaborasi Literasi Bermakna. Tidak mudah karena pemangku kepentingan punya pengalaman yang berbeda. Tidak percaya bahwa ada guru dan orangtua yang sukarela mau belajar. ‘Dipaksa saja susah, kok, diminta sukarela,’ mungkin itu pikiran yang terlintas. Namun, setelah dengan sejumlah argumentasi dan cerita pengalaman kami sebelumnya, jalur partisipasi diterima dengan sejumlah catatan. Di akhir program Kolaborasi Literasi Bermakna, kami sungguh bahagia bisa menunjukkan bahwa guru dan orangtua belajar banyak dengan semangat sukarela, bukan dipaksa. Dari Hadiah dan Hukuman Menuju Kesempatan dan Dukungan Keterlibatan dalam program yang berdurasi satu tahun tidaklah mudah. Menjaga konsentrasi dalam hitungan menit saja susah. Karena itu, pengelola program mempunyai sejumlah strategi untuk memotivasi peserta program terlibat secara penuh mulai dari awal hingga akhir. Meski ada banyak strategi, secara umum kesemuanya berdasarkan prinsip hadiah dan hukuman. Hadiah untuk yang menunjukkan perilaku baik, hukuman bagi yang menyimpang.  Tantangan bagi Kolaborasi Literasi Bermakna adalah menemukan strategi yang tidak menggunakan prinsip hadiah dan hukuman yang biasa dipakai. Pelibatan dalam program dimulai dari partisipasi, kesadaran dari dalam diri, tentu kami butuh mencari strategi memotivasi yang selaras.  Tantangan terbesar bukan mencari strategi memotivasi yang tepat, tetapi pengelolaan diri dari keseluruhan kami, seluruh anggota tim Kolaborasi Literasi Bermakna, baik yang bertugas di Jakarta maupun daerah. Sering kali yang terjadi adalah khawatir gagal yang berlebihan. Semua pengelola program pasti ingin berhasil mencapai target. Keinginan yang wajar, tetapi bila berlebihan akan menggoda kami menggunakan strategi memotivasi berdasarkan hadiah dan hukuman.  Bersikap empati terhadap orangtua dan guru yang menjadi peserta program membantu kami keluar dari tekanan menggunakan hadiah dan hukuman. Kami menempatkan diri menjadi peserta program dan berpikir apa yang kami butuhkan untuk berubah lebih baik. Lahir kesadaran bahwa peserta program lebih butuh kesempatan dan dukungan untuk berubah. Kesempatan berbagi praktik baik, kesempatan untuk unjuk diri, dukungan berupa umpan balik, pengakuan terhadap apa yang sudah baik dan koreksi mana yang perlu diperbaiki. Kesadaran yang membuat kami melakukan tambahan kegiatan berupa pendampingan sesuai kebutuhan guru dan orangtua. Dari Penyeragaman Menuju Berjenjang  Dalam program yang terukur dan direncanakan secara ketat, sering kali fokus pengelola program adalah pada pelaksanaan kegiatan dan pencapaian target. Program yang sudah direncanakan sejak awal dilaksanakan sebagaimana pakemnya. Persoalannya kemudian, apakah yang sudah direncanakan di awal sesuai dengan tantangan di lapangan dan kebutuhan peserta program?  Kolaborasi Literasi Bermakna sedari awal sebenarnya sudah melakukan sejumlah kegiatan untuk memahami tantangan di lapangan dan kebutuhan peserta program. Pemahaman yang kami gunakan untuk melakukan penyesuaian rancangan program agar lebih efektif. Namun, pemahaman awal pun ternyata masih belum cukup kaya dibandingkan dengan pemahaman yang didapatkan selama pelaksanaan program. Intensitas interaksi dan percakapan bermakna menghasilkan pemahaman baru yang lebih luas. Jangankan antar-personel, kemajuan program antar-daerah pun tidak sama. Pelaksanaan program Kolaborasi Literasi Bermakna yang berawal dari pendekatan yang seragam pada perjalanannya disesuaikan. Penyesuaian strategi menjadi lebih personalisasi pada tujuan, cara, dan alat bantu refleksi. Peserta program yang lebih dahulu menguasai sasaran program mendapat kesempatan lebih luas. Sementara, peserta program yang butuh waktu tambahan mendapat dukungan sesuai kebutuhan mereka untuk berkembang.  Dengan memfasilitasi proses refleksi, kami mengajak orangtua dan guru memahami kemampuan dan kecepatan belajarnya. Jadi, bukan kami yang menentukan kebutuhan belajar, tapi peserta program sendiri yang melakukan penilaian diri untuk menyusun agenda belajarnya. Partisipasi bukan hanya saat pelibatan awal, tapi juga hingga menentukan intensitas belajar. Dari Berbasis Sekolah Menuju Berbasis … Read more

Merdeka Belajar Bukan Jargon

Merdeka Belajar tiba-tiba jadi populer setelah disebutkan oleh Menteri Nadiem Makarim. Apa sebenarnya merdeka belajar itu? Apakah jargon baru dari Mas Menteri? Kisah Guru Merdeka Belajar Lima tahun yang lalu, saya mendapat tanggung jawab menginisiasi dan mendampingi #KomunitasGuruBelajar. Ada banyak kisah guru penggerak di berbagai daerah. Kisah Bu Wanti salah satunya. Kami dipertemukan oleh media sosial dalam sebuah kesempatan diskusi daring. Bu Wanti adalah guru PNS yang mengajar di SDN 34 Borang, Sanggau, 6 jam perjalanan dari Pontianak. Pada obrolan grup Guru Belajar, beliau mengaku sebagai guru kampung. Guru di sekolah kampung yang fasilitasnya tidak memadai untuk menciptakan proses belajar yang berkualitas. Ada benarnya karena Bu Wanti mengajar di kampung yang pada saat itu belum ada akses listrik dan jaringan telepon, tapi tidak sepenuhnya benar. Setidaknya demikian pendapat anggota grup Guru Belajar pada saat mendengar kisah Bu Wanti. Rekan guru yang lain menunjukkan praktik baik pengajaran berkualitas di daerah lain yang tidak mensyaratkan fasilitas. Praktik baik yang saya ingat adalah ruang kelas raksasa yang ditulis Guru Hesti di Sorowako. Bu Hesti memanfaatkan lingkungan sekolah buat memandu muridnya belajar bahasa sekaligus matematika. Kisah guru belajar yang menginspirasi Bu Wanti untuk melakukan perubahan praktik pengajaran di ruang kelasnya. Hari ini ia masih mengajar di sekolah yang sama, tapi praktik pengajaran yang dilakukan jauh berbeda. Tulisan praktik baiknya diterbitkan di Surat Kabar Guru Belajar, buku Memanusiakan Hubungan dan dipresentasikan di Temu Pendidik Nusantara. Belum ada perubahan fasilitas, belum ada perubahan tempat mengajar, belum ada perubahan beban administrasi guru. Lalu apa yang berubah? Spirit Bu Wanti yang kami sebut sebagai merdeka belajar! Bu Wanti bersama ribuan guru yang lain memilih berpihak pada anak dengan mengusung paradigma merdeka belajar. Mengenal Merdeka Belajar Perhatian publik tertuju pada merdeka belajar ketika konsep tersebut ditulis sebagai tagar di naskah pidato Menteri Pendidikan dan Kebudayaan pada Hari Guru Nasional tahun 2019. Beberapa sebaran di media sosial mengubahnya menjadi merdeka bergerak atau istilah lain, seolah hanya sebuah jargon. Apa sebenarnya merdeka belajar? Spirit kemerdekaan dalam pendidikan Indonesia dicetuskan pertama kali oleh Ki Hadjar Dewantara. “…kemerdekaan hendaknya dikenakan terhadap caranya anak-anak berpikir, yaitu jangan selalu “dipelopori”, atau disuruh mengakui buah pikiran orang lain (1952). Konsep merdeka belajar sebenarnya konsep lama, sudah dikaji baik di luar negeri maupun di Indonesia. Pada waktu lampau, dunia pendidikan termasuk kami di Kampus Guru Cikal mengenalnya sebagai pembelajaran mandiri sebagai terjemahan dari konsep self regulated learning. Namun refleksi kami menemukan bahwa istilah pembelajaran mandiri tidak tepat secara konsep dan diplesetkan secara praktik. Secara konsep, mandiri hanyalah satu dimensi dari 3 dimensi self regulated learning, yang berarti istilah yang menggambarkan secara parsial, tidak utuh. Pada sisi praktik, pembelajaran mandiri yang tidak memadai secara konsep menghasilkan praktik yang tidak berpihak pada anak. Anak dituntut belajar secara mandiri tapi untuk melayani tujuan belajar yang ditetapkan semena-mena oleh guru, sekolah maupun kurikulum nasional. Proses dan hasil belajarnya pun dinilai tanpa melibatkan murid. Jauh dari konsep self regulated learning. Miskonsepsi self regulated learning tersebut harus dipatahkan, baik secara konsep maupun secara praktik. Secara konsep, kami mengkaji ulang konsep Self Regulated Learning dengan mempelajari 3 dimensinya yaitu yaitu komitmen pada tujuan, mandiri pada cara dan refleksi. Pada titik ini, kami bersepakat untuk menggunakan istilah merdeka belajar, sebagai pengganti istilah pembalajaran mandiri. Merdeka belajar menggambarkan 3 hal, (1) menetapkan tujuan belajar sesuai kebutuhan, minat dan aspirasinya, bukan karena didikte pihak lain, (2) menentukan prioritas, cara dan ritme belajar, termasuk beradaptasi dengan cara baru yang lebih efektif; (3) melakukan evaluasi diri untuk menentukan mana tujuan dan cara belajar yang sudah efektif dan mana yang perlu diperbaiki. Merdeka bukan berarti bebas (freedom), tapi kemerdekaan (independence) mengarahkan tujuan, cara dan penilaian belajar. Sebagaimana negara merdeka, guru merdeka belajar berarti menentukan dan mengarahkan nasib dan masa depannya, dalam suatu konteks kehidupan bersama. Penerapan di Ruang Kelas Merdeka belajar di ruang kelas diawali dari diri guru yang merdeka belajar, sadar dan memprioritaskan esensi tujuan pendidikan, fleksibel dalam menentukan strategi belajar dan menjadikan respon murid sebagai bahan untuk berefleksi. Guru yang merdeka belajar akan menjadi penggerak kelas merdeka belajar. Dari lingkup diri disebarkan menjadi lingkup kelas. Murid dilibatkan dalam mengelola kelas, seperti penggunaan kesepakatan kelas, komunikasi positif dan menghindari sogokan dan hukuman untuk memotivasi murid. Pada proses pengajaran, guru merdeka belajar melibatkan murid dalam menentukan tujuan belajar. Guru menjadi penghubung antara tujuan belajar pada kurikulum dengan kebutuhan murid. Pemahaman terhadap kebutuhan dan potensi murid dijadikan pertimbangan bagi guru untuk menyusun pilihan cara belajar di kelas. Guru melibatkan murid dalam merancang penilaian terhadap proses dan hasil belajar. Pada akhir pelajaran, guru meminta masukan dari murid untuk melakukan perbaikan. Ketika pertama mensosialisasikan merdeka belajar, baik melalui media sosial, diskusi grup daring, maupun seri pelatihan merdeka belajar, kami mendapatkan banyak respon terkejut dari kebanyakan guru yang bisa dikategorikan menjadi 2 kategori: otonomi dan orientasi pada anak. Kategori otonomi menggambarkan kekhawatiran dan keraguan guru mempunyai otonomi dalam mengajar. Isinya kekhawatiran guru terhadap tuntutan kepala sekolah dan pengawas, meski mereka jarang berkunjung ke kelas. Keraguan apakah guru mempunyai kewenangan dalam merancang proses belajar di kelas. Kategori orientasi pada anak menggambarkan ketidakpercayaan guru dalam melibatkan murid. Isinya pandangan yang meragukan atau merendahkan kemampuan dan kemauan murid untuk terlibat dalam proses belajar. Mereka khawatir murid jadi besar kepala dan menjadi berlagak di kelas. Namun sejumlah guru tetap meyakini merdeka belajar dan mempraktikkannya di ruang kelas. Dari mereka lahir praktik baik pengajaran merdeka belajar yang disebarkan dalam Komunitas Guru Belajar. Banyak guru yang tertular dan akhirnya terbit buku Merdeka Belajar di Ruang Kelas, yang berisi praktik pengajaran merdeka belajar di berbagai daerah dari jenjang menengah, dasar hingga anak usia dini. Bukti praktik pengajaran merdeka belajar selaras dengan temuan risetnya. Sejumlah riset (semisal oleh Moos & Ringdal, 2012) menunjukkan bahwa pengajaran merdeka belajar berkorelasi positif pada capaian belajar murid baik pada pendidikan dasar maupun menengah. Lebih jauh lagi, merupakan prediktor terbaik untuk memprediksi kinerja guru (Kamyabi Gol, Atiyeh & Royaei, Nahid, 2013). Riset di Indonesia pun menunjukkan korelasi positif antara merdeka belajar dengan penurunan prokrastinasi dan peningkatan capaian belajar. Gebrakan Merdeka Belajar Bagaimanapun, dibandingkan istilah sebelumnya, merdeka belajar lebih renyah diucapkan dan terdengar lebih keren. Namun lebih … Read more

Perayaan Kerja Barengan: Pesta Pendidikan Kota Batu 2019

Hampir satu tahun Kampus Guru Cikal bersama dengan Keluarga Kita, Pusat Studi Pendidikan dan Kebijakan dan Inibudi sepakat untuk melakukan kerja barengan melalui Kolaborasi Literasi Bermakna di Kota Batu. Hari Sabtu, 16 November 2019 kami merayakan kerja barengan melalui Pesta Pendidikan Batu 2019, perayaan kerja barengan Kolaborasi Literasi Bermakna-INOVASI, Sekolah Mitra, Dinas Pendidikan Kota Batu serta pemangku kepentingan yang mendukung ekosistem pendidikan yang lebih baik. Peserta yang hadir pun bervariasi dari sekolah mitra dan sekolah non mitra, juga berasal dari Batu, Malang, Lamongan dan Probolinggo.

photo6278447094272469572

Read more